Monday, January 19, 2009

Nestapa Warga Kampung Baru di Bukit Tahura


By Line: Yos Hasrul
Ketenangan La Abo, tiba-tiba terusik dengan kehadiran sejumlah aparat pemerintah daerah Sulawesi Tenggara di lokasi tempatnya bermukim, Kamis lalu. Sorot matanya tajam menatap curiga satu persatu orang siang itu.
Sikapnya pun terkesan dingin. Ia menjawab apa adanya, saat beberapa aparat pemerintah mengajukan pertanyaan seputar kepemilikan tanah oleh warga. Beberapa pertanyaan menyudutkan, sempat memancing emosi La Abo.
Bahkan suaranya yang keras, sempat membuat puluhan warga yang hadir terkaget-kaget. "Kami tak akan pergi dari tanah ini, sebelum ada tanah pengganti buat kami," teriak La Abo kepada aparat pemerintah yang siang itu mendampingi tim Kementerian Lingkungan Hidup berapa waktu silam.
Dimata pria yang sejak Tahun 2000 bermukim di kawasan lindung Taman Hutan Rakyat Murhum, pemerintah hanya tahu mengusir masyarakatnya, tanpa mau memberi solusi. "Kami ini juga manusia, kami punya hak untuk hidup di negara ini,"ujarnya, berapi-api.
Wajar jika kemudian La Abo marah. Sebab, walau telah bermukim lama di situ, mereka tetap tidak diakui oleh pemerintah. Mereka tidak dilayani mengurus KTP dengan alasan bukan warga resmi. Ia mengungkapkan Lurah Punggaloba, Drs Mukadas tidak mau melayani warga Kampung Baru. "Katanya dilarang walikota," kata La Abo.
Ironisnya saat menjelang pemilihan kepala daerah Kota Kendari yang akan digelar 18 Juni 2007 mendatang sangat banyak oknum baik dari pengurus partai politik hingga oknum pemerintah yang datang menebar janji pada warga. Termasuk menjanjikan akan membantu warga Tahura memperjelas status kepemilikan lahan mereka. "Kami tidak lagi mau percaya janji mereka," ujar La Abo.
Wajar warga taruma sebab janji yang sama juga pernah diucapkan sebagian oknum politisi baik saat pemilihan wakil akyat maupun Pemilu presiden lalu. Warga Tahura bahkan terdaftar sebagai wajib pilih dan melakukan pencoblosan di TPS-TPS bentukan pemerintah.
La Abo sendiri saat ini dipercaya warga sebagai sekretaris lingkungan Kampung Baru. Ia bercerita, Ia dan warga telah bermukim sejak tahun 2000. Awalnya hanya 30 KK. Kini jumlahnya bertambah menjadi 98 KK. Dengan bergotong royong, mereka lalu membuka pemukiman dan sarana jalan yang dananya dikumpul secara swadaya.
Jalan menuju lokasi kampung baru hanya berupa pengerasan selebar 2 meter. Akses menuju kampung ini cukup dekat. Mobil bisa masuk hingga 50 meter dari jalan raya. Namun pada musim hujan jalan ini amat sulit dilalui karena licin dan penuh lumpur. Nama Kampung Baru baru sendiri disebut atas dasar kesepakatan. Tak ada RT maupun RW. Pemerintahan dijalankan bersama melalui musyawarah. Rumah warga hanya terbuat dari papan. Jarak rumah satu dengan lainnya kira-kira 20 meter. Sedikitnya 100 rumah telah dibangun di kampung ini. Tak ada listrik. Air bersih diperoleh warga dari mata air yang dialirkan lewat pipa ke rumah-rumah.
Saat warga tidak memilih lokasi sesuai kehendaknya melainkan dengan cara lot nama. Bila nama yang jatuh dapat lokasi terjal dia harus rela menerimanya.

Menurut Abo, selama bermukim di kampung, pemerintah tidak pernah mendesak meninggalkan kawasan Tahura. Malah sebaliknya, tahun 2000, Dinas Kehutanan Sultra menemui mereka namun tidak memerintahkan keluar, melainkan meminta menghijaukan lahan di sekitar pemukiman. "Jadi kami hijaukan dengan tanaman jangka panjang," kata Abo.
Satu harapan Abo, ingin diakui pemerintah sebagai warga resmi.
Namun keinginan La Abo itu tak akan begitu saja dilayani pemerintah. Apalagi status kawasan Tahura Murhum adalah kawasan hutan lindung. Bagi pemerintah, keberadaan pemukiman penduduk di kawasan itu mengancam kehidupan warga Kota Kendari yang bermukim di bawah kaki bukit Tahura Murhum. "Tak dibayangkan kelak, 10 tahun mendatang, warga kota bakal panik ketika debit air mulai berkurang dan banjir mengancam setiap saat,"kata Ir La Ode Zakariah, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, bisa jadi dampaknya tidak terasa hari ini. Namun tanda-tandanya sudah terlihat. "Dua tahun terakhir, kerawanan air mulai terjadi, air keruh di daerah Benubenua. Erosi dan banjir setiap saat mengancam," paparnya.
Tahura Murhum memang tidak perawan lagi. Tangan-tangan manusia telah menjamahnya. Perambahan di wilayah ini sejak tahun 1998-1999 telah menjadi masalah yang kompleks. Padahal kawasan dengan luas sekitar 7.877,5 hektar ini diharapkan tetap menjadi paru-paru penyangga kota.
Tak bisa ditawar lagi, Tahura Murhum harus dijaga kelestariannya demi menjaga denyut kehidupan warga Kota Kendari. Namun di sisi lain, warga yang terlanjur mendiami lokasi tersebut tak bisa disingkirkan begitu saja seperti hewan. Seperti kata Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (Lepmil) Mastri Susilo bahwa, "Ini simalakama."
Menurutnya, menjaga kelestarian hutan tidak berarti harus menginjak hak asasi manusia. Keduanya harus sejalan. Caranya, warga tetap bermukim di Tahura dan dijadikan penjaga (guard) bagi kawasan itu. "Tapi ini memerlukan payung hukum dari gubernur," tandasnya.
Data Lepmil, lahan Tahura Murhum yang kini jadi area berkebunan sekitar 440,67 hektar dan perambahan baru sekitar 126,17 hektar. Lepmil yang sejak tahun 2002 melakukan pendampingan di Tahura Murhum mencatat, lahan yang sudah dijadikan lokasi pemukiman sekitar 50 hektar. Termasuk Kampung Baru berada di areal 50 hektar itu. Tepatnya masuk wilayah Kelurahan Punggaloba, Kecamatan Kendari Barat. Tahun 2003 jumlah populasi penduduk mencapai 704 jiwa (data Dishut Kota Kendari).
Mereka berdiam di bukit Tahura Murhum dan bukit Tahura Nipa-Nipa (hutan lindung Nanga-Nanga Popalia) penyangga kota ini. Fungsi tata air, erosi dan sedimentasi teluk Kendari sangat ditentukan kelestarian hutan kawasan bukit tersebut.
Kawasan hutan Gunung Nipa-Nipa (Tahura Murhum) sejak penjajahan Jepang telah ada perkampungan, yakni Kampung Meraka, Benggaila, Lahundape, Kapontori, Tipulu, Gunung Jati, dan Mangga dua. Mengingat fungsi kawasan hutan ini sebagai sumber air bersih, tahun 1958 Pemerintah Swapraja Laiwoi Kendari menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan terpelihara.
Di kawasan ini terdapat keanekaragaman hayati, seperi kayu besi (metresideros petiolata), eha (castanopsis burruana), bolo-bolo (adenandera celebica), bolo-bolo putih (thea lanceolata), puta (baringtonia recemosa), pandan tikar (pandanus aurantiacus), jenis palem (nengelia sp pinaraga caesia dan licuala sp), rotan (daemenoporos sp), rotan batang (calamus zollingeri), rotan lambing (calamus ornatus var celebicus), kayu damar, kayu lawang, anoa, rusa, ular sawa, kus-kus, musang Sulawesi, burung rangkong, kasturi, elang laut dan beberapa jenis kupu-kupu serta lebah alam. Di beberapa lokasi terdapat sumber air yang mengalir menjadi air terjun. Sumber mata air ini sampai sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan untuk kebutuhan sehari-hari.
Almarhum H Naim salah seorang pewaris tanah Waworaha di Kampung Lahundape dalam berbagai forum pernah mengatakan, karena alasan reboisasi, tahun 1970-1974, aparat keamanan pernah mengeluarkan warga secara paksa, rumah-rumah dirobohkan, tanaman perkebunan dibakar. Penghuni kampung sebagian dipindahkan ke wilayah Kemaraya, Tipulu, dan Benubenua. Sisanya dipindahkan ke Anduonohu, Kecamatan Poasia, melalui program resettlement --lahan yang disiapkan pemerintah.
Seluruh areal kampung yang telah kosong kemudian dihijaukan melalui program reboisasi. Kegiatan penanaman ini dilakukan oleh aparat keamanan dan para tapol. Reboisasi dilakukan secara bertahap hingga tahun 1982.
Setelah itu, melalui Keputusan Menteri Pertanian, kawasan hutan Nipa-Nipa ditingkatkan statusnya sebagai hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Penetapan tersebut semakin menutup akses warga terhadap sumberdaya hutannya. Tiga belas tahun kemudian tepatnya tahun 1995, kawasan hutan Nipa-Nipa ditetapkan sebagai Tahura.
Kewenangan pengelolaan kawasan Tahura Murhum secara teknis dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara. Namun tahun 1998 berdasarkan PP No.62 tentang Pengalihan Sebagian Urusan Kehutanan pada Pemerintah Daerah, pengelolaan Tahura Murhum diserahkan pada Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara. Proses serah terima secara formal dilakukan tahun 2002.
Kawasan Murhum dijadikan Tahura dengan pertimbangan, fungsi tata air, pencegahan erosi dan sedimentasi teluk Kendari, potensi sumber daya alam (keragaman flora & fauna), tipe ekosistem, objek wisata, serta wahana penelitian dan pendidikan.

Cita-cita tersebut kini tak mudah diwujudkan. Kawasan hutan Tahura Murhum sebagai hutan tetap dengan fungsi konservasi berlahan mulai bergeser. Menurut Direktur Lepmil Mastri Susilo, sebagian hutan telah berubah fungsi dari fungsi ekologi menjadi tiga fungsi, yakni fungsi ekonomi, sosial serta ekologi, akibat adanya warga yang secara turun temurun bermukim dan mengolah hutan. "Efek negatif yang ditimbulkan adalah rusaknya kawasan Tahura Murhum seluas 490,67 hektar," katanya.***

No comments: