Friday, January 30, 2009

Teluk Kendari Riwayatmu Kini
















Degradasi lingkungan menyebabkan Teluk Kendari kian memprihatinkan. Proses pendangkalan terus saja terjadi setiap tahunnya. Beberapa faktor penyebab pendangkalan diantaranya; 1. Aktifitas penebangan liar di Bukit Tahura Nipa-nipa oleh warga yang menyebabkan lumpur terbawa banjir dan bermuara ke ke teluk, 2. Aktifitas pembuangan sampah rumah tangga oleh masyarakat yang tinggal dibantaran kali, 3. Pembuangan limbah pabrik, 4. Banyaknya bangkai perahu yang tidak diangkut oleh nelayan, minimnya perhatian pemerintah. Tampal dalam gambar kondisi teluk yang mengalami pendangkalan. Kapal nelayan kian jauh berlabuh. Seorang nelayang terpaksa bersusah payah mendorong perahu mencari air laut. Foto: mARWAN aZIZ

Konflik Tanah Tak Kunjung Padam
















Konflik tanah menjadi potret buram bangsa ini. Tak sedikit kasus tanah yang menyebabkan terjadinya pertikaian antara masyarakat. Salah satu penyebab utamanya adalah karena penegakan hukum yang tidak adil. Tampak dalam gambar salah satu konflik tanah yang melibatkan antara masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. foto: Yoshasrul

Bencana Alam Hantui Masyarakat
















Bencana alam berupa tanah longsor di Sulawesi Tenggara kerap terjadi setiap tahun. Bahkan telah menyebabkan korban jiwa. Tampak salah satu bencana tanah longsor di Kabupaten Kolaka. Tanah yang labil, ditambah aktifitas perusakan lingkungan menjadi penyebab utama. foto: Yoshasrul

Thursday, January 29, 2009

Wakil Bupati Buton Tersandung Kasus Ilegal Logging
















By Line: Yoshasrul










Wakil Bupati Buton, Ali La Opa SH tersandung kasus ilegal logging. Ribuan massa pun turun ke jalan meminta Ali La Opa dinonaktifkan. Massa kemudian bergerak dan mendatangi Gedung DPRD setempat dengan menggunakan puluhan kendaraan roda empat dan ratusan kendaraan roda dua. Saat tiba massa terlibat kericuhan dengan aparat. Massa yang marah kemudian merubuhkan pintu pagar dan melempar kaca kantor DPRD Buton di Kota Baubau hingga pecah.

Masa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL) dan Gerakan Buton Raya Semesta menilai kinerja DPRD Buton dalam menanggapi tuntutan masyarakat belum maksimal. Meskipun DPRD Buton sudah mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Wakil Bupati Buton, Ali La Opa SH saat sidang paripurna beberapa waktu lalu.

Koordinator AMPEL, La Atiri SAg, mengatakan, kedatangan mereka di kantor DPRD Buton pada hari itu untuk mempertanyakan sejauh mana kinerja DPRD Buton pasca pengeluaran rekomendasi penonaktifan Ali La Opa dari jabatannya sebagai Wakil Bupati Buton. " Sudah sejauh mana kinerja DPRD Buton saat ini yang sudah mengeluarkan rekomendasi penonaktifan Ali La Opa," teriak La Atiri kemarin.

Mereka juga meminta agar DPRD Buton serius menanggapi dan memperjuangkan aspirasi yang sudah lama mereka sampaikan. Bahkan mereka meminta agar supremasi hukum benar-benar ditegakan. " Tapi mengapa, kasus yang melibatkan Ali La Opa belum diproses. Padahal kasus itu sudah satu tahun," tambahnya.

Menurut mereka, tidak ada alasan yang kuat untuk mempertahankan Ali La Opa terus menduduki jabatan Wakil Bupati Buton. Sehingga Ali La Opa harus diberhentikan. " Kasian saudara-saudara kita di Lapandewa, di Kapontori, di Mawasangka, sudah ditahan," ungkap La Atiri.

Bukan hanya itu, ribuan masa itu juga mengancam akan membubarkan DPRD Buton bila tuntutan penonaktifan Ali La Opa tidak segera diperjuangkan. Pasalnya, kinerja DPRD Buton yang akan menonaktifkan Ali La Opa belum terwujud. " Kalau tidak mampu, tidak perlu ada DPR. Sampai hari ini dia belum mampu nonaktifkan Ali La Opa," teriak masa lagi.

Setelah melakukan orasi diluar kantor DPRD Buton sekitar 30 menit, masa kemudian diperbolehkan masuk halaman kantor setelah sempat merubuhkan pintu pagar. Masa diterima langsung Ketua DPRD Buton, Samsu Umar Abdul Samiun SH. Dihadapan ribuan masa, Umar Samiun sapaan Samsu Umar Abdul Samiun menjelaskan, terkait penonaktifan Ali La Opa, pihak DPRD Buton sudah mengeluarkan rekomendasi sesuai tuntutan masyarakat. Bahkan, rekomendasi itu telah disampaikan kepada Presiden RI cq Mendagri.

" Kita juga sudah sampaikan kepada Gubernur Sultra, Kapolda, dan Kajati juga. Kami sadari, Undang-undang nomor 41 tahun 2003 sudah banyak menelan korban masyarakat kita yang hanya mencari sesuap nasi. Mulai dari Lapandewa, Kapontori, dan Mawasangka," tegas Umar Samiun menjawab tuntutan masyarakat.

Bahkan dengan tegas, bila izin pemeriksaan dari Presiden RI sudah ada, Umar Samiun berjanji akan menonaktifkan Ali La Opa. " Kalau izin sudah ada, saya akan pecat Ali La Opa," tegas Umar Samiun lagi. Ketua DPC PAN Buton itu juga berjanji, aspirasi yang disampaikan masyarakat kabupaten Buton pada hari itu akan disampaikan langsung ke Jakarta. " Saya akan bawa aspirasi ini ke Jakarta. Tapi tolong, jaga Kamtibmas," cetusnya.





Ali La Opa sendiri menuding jika aksi ribuan warga tersebut tidak murni. Bahkan Ali berani menuding Umar Samiun berada dibelakang massa itu. "Mereka telah sengaja memobilisir massa. Karena masyarakat tau mau demo pemekaran buton raya, tapi ternyata isunya dibelokan untuk isu ilegal logging,"kata Ali La Opa. Soal tuduhan yang dialamatkan apdanya, Ali La Opa mengaku tidak benar dan sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan dirinyasebagai wakil bupati . "Semua itu hanya akal-akalan dan sengaja dipolitisir. Dan kalau memang benar maka biarlah hukum yang bicara,"katanya.










Sementara Kajari Buton Telly Tumundo mengaku berkas perkara kasus dugaan ilegal loging yang menyeret Wakil Bupati Buton, Ali La Opa SH sebagai tersangka masuk ke kejaksaan, pihaknya akan mengusut hingga tuntas. Namun saat ini, pihak Kejari masih menunggu berkas perkara tersebut dari Polres Buton. " Yang melibatkan masyarakat, ada 3 tersangka dalam kasus itu," ungkap Telly Tumundo.

Kasi Intel Kejari Baubau, LD Amili SH menambahkan, dalam kasus itu, sesuai surat perintah dilakukan penyidikan (SPDP), Ali La Opa sudah dijadikan tersangka. " Ali La Opa juga tersangka," kata Amili. Atas kasus itu, kejaksaan akan menjerat tersangka dengan Undang-undang nomor 41 tahun 2003 pasal 51 dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Gambar Petugas Gagalkan Penyeludupan Kerang Cassis Commuta
















Aparat dari Kepolisian KPPP Kendari bersama aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara memperlihatkan barang bukti kerang Cassis Commuta yang berhasil digagalkan dalam sebuah upaya penyeludupan oleh seorang pengusaha asal surabaya melalui pelabuhan kendari, Kamis (29/01/09).

Wednesday, January 28, 2009

Nasib Kerang Cassis Commuta

By Line: Yoshasrul
Perairan laut Sulawesi Tenggara ibara 'surga' bagi para penyeludup. Hampir setiap tahun aktifitas ilegal fishing terus meningkat bahkan kian marak saja.
Kamis pagi (29/1/09) gabungan aparat dari Kepolisian KPPP Kendari bersama aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara dalam sebuah razia berhasil menggagalkan upaya penyeludupan dua belas ton biota laut lindungi.
Biota laut berjenis kerang Cassis Commuta atau dalam bahasa Indonesia disebut kerang kepala kambing karena bentuknya yang mirip dengan kepala kamping sangat dilindungi kelestariannya oleh negara. Biota laut tersebut diselundupkan melalui pelabuhan laut dan disimpan dalam sebuah kontainer dan dicampur dengan rumput laut. Rrencannya para pelaku akan menyeludupkan Cassis Commuta tersebut ke Surabaya melalui pelabuhan laut Kendari.
Sayang pemilik barang bernama Haji Fajrin tidak berada ditempat dan diduga telah melarikan diri. Sesuai dokumen yang dilaporkan ke pihak perusahaan kontainer Meratus (perusahaan penyedia jasa layanan pengiriman barang lewat kontainer) /isi barang seharusnya rumput laut. Tetapi saat dibongkar ternyata pelaku mengirim barang berupa kerang cassis commuta yang nota bene dilindungi negara ini.
“Barang-barang haram ini kami temukan tersimpan rapi dalam kontainer. Dan sengaja dicampur dengan rumput laut,”kata Thamrin, petugas BKSDA Kendari, Kamis (29/1/09). Rencananya pelaku akan menyeludupkan cassis commuta tersebut ke surabaya untuk dijual ke restoran dan hotel sebagai makanan bernilai gizi tinggi.
Terbongkarnya kasus penyelundupan ini berkat informasi masyarakat yang memberitahukan pada petugas BKSDA adanya aktifitas ilegal fishing berupa pengumpulan kerang kepala kambing oleh seorang pengusaha asal Surabaya. Petugas kemudian melakukan razia ke sejumlah tempat termasuk pelabuhan kontainer dan menemukan barang tersebut dalam kontainer yang siap dikirim.
Aksi membongkar jaringan ilegal fishing bukan kali ini saja tetapi telah berkali-kali dilakukan petugas. Terakhir September 2008 silam BKSDA juga berhasil menggagalkan penyelundupan biota laut berupa penyu hijau yang akan diselundupkan ke Provinsi Bali.
Kerang jenis Cassis Commuta sendiri merupakan biota laut dilindungi undang-undang nomor 5 tahun 1990 dan surat keputusan menteri kehutanan nomor 12 tahun 1997 tetang biota laut yang dilindungi. Bagi para pelaku yang melakukan penyeludupan terancam hukuman lima tahun penjara dan denda seratusa juta rupiah.

Ironi Negeri Penghasil Aspal

By Line: Yoshasrul
Akses menuju Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara tidaklah senyaman kita berjalan di daerah lain di provinsi Sulawesi Tenggara. Sepanjang dua jam perjalanan menuju Pasarwajo (Ibukota Kabupaten Buton) kita akan disuguhi jalan rusak dan berdebu. Kondisi ini berlangsung hampir 10 tahun belakangan. Tak ada upaya perbaikan dari pihak pemerintah. Pemerintah kabupaten menyerahkan tanggung jawab tersebut pada pemerintah provinsi, sebab status pemeliharaan jalan tersebut berada dalam wewenang provinsi. "Perbaikan dan pemeliharaan jalan Itu tanggung jawab pemerintah provinsi,"kata Drs Lutfi Hasmar Kepala Badan Informasi Komunikasi Kabupaten Buton.

Sejauh 58 KM dari Kota Baubau menuju daerah Pasarwajo yang terlihat hanya kondisi jalan rusak. Ada sebagian badan jalan yang beraspal, tapi telah ditambal sulam. "Orang di sini menyebut aspal sinetron, artinya sedikit bagusnya, lebih banyak rusaknya,"kata Isman, warga Kota Baubau mengomentari jalan rusak di Buton. Kerusakan jalan terparah berada di kilometer 10 dari Kota Baubau hingga 40 KM menuju Kabupaten Buton di Pasarwajo.
Meski tudingan miring diarahkan ke pemerintah provinsi, namun yang jelas kondisi jalan yang rusak parah tersebut sungguh kontras dengan julukan Buton sebagai penghasil aspal. Ya, dalam perut bumi Buton mengandung beribu-ribu ton aspal mentah. Berpuluh tahun predikat ini disadang Pulau Buton sebagai penghasil aspal alam. Bahkan dalam mata pelajaran sekolah, siswa akan dengan mudah mengingat nama Buton sebagai daerah penghasil aspal. "Sejak semasa sekolah dasar dulu, saya sudah mendengar naman Buton sebagai penghasil aspal, tapi faktanya tak seperti itu,"kata Tamrin, salah satu jurnalis lokal di Kendari mengeluhkan kondisi jalan di Buton.
Saat menginjakkan kaki di Pasar wajo, sebuah tambang aspal yang dikelola PT Sarana Karya berdiri kokoh dan hanya berjarak 5 KM dari pusat ibukota Buton. Nasib tambang aspal buton sejak 2000 lalu hingga kini terus terkatung-katung akibat menipisnya modal investor PT Sarana Karya. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara ini dikabarkan tengah sekarat. Kondisi keuangan perusahaan yang kembang kempis kian menambah beban perusahaan. Ratusan tenaga kerja terpaksa menganggur sejak perusahaan ini mulai mengalami bangkrut pada tahun 1997 lalu. Krisis moneter telah menyeret PT Sarana Karya diambang pailit.
Untuk mengembalikan citra Buton sebagai penghasil aspal pemerintah setempat nampaknya tak patah arang. Pada medio Mei 2006 lalu Pemda telah melakukan penandatangan MoU dengan sejumlah investor diantaranya PT Karya Megah Buton. Bahkan Bupati Buton Drs Sjafei Kahar, Sabtu pekan lalu, telah meletakkan batu pertama tanda dimulainya pembangunan pabrik pengolahan aspal modifier PT Karya Megah Buton di Desa Suandala, Kecamatan Lasalimu, Buton. Rencananya tahun 2007 pabrik tersebut sudah bisa berproduksi.
"Alhamdulillah setelah PT Karya Megah Buton melakukan penelitian di Kabungka, mereka menemukan tambang baru aspal dan akan dibangun pabrik yang lebih besar di sana,"katanya. Tentang tambahan PAD, Sjafei belum memastikan berapa nilainya. "Itu tergantung dari berapa besar produksi yang dipasarkan dan pemerintah menarik retribusi sekitar enam persen dan setiap ton yang dipasarkan,"kata Sjafei seperti ditulis dalam artikel majalah milik Pemda Buton.
Sekitar 17 tahun sejak 1986-2003, pemerintah tidak pernah memperoleh pendapatan dari aspal. Sjafei mengatakan, potensi aspal buton begitu besar dan dikenal di dunia. Tapi apa yang terjadi selama puluhan tahun PT Sarana Karya selaku investor tunggal hanya memasarkan aspal alam, tanpa memperbaiki mutu pengolahan, akibatnya nama aspal buton semakin merosot di mata dunia. "Ini merupakan perjuangan panjang agar mutu aspal bisa diterima di pasaran dalam dan luar negeri,"katanya.
"Tahun 2005 lalu, mulai ada pemasukan kurang lebih 400 juta dari aspal yang dipasarkan termasuk PT Buton Aspal Indonesia dan PT Sarana Karya. Dan saya optimis tahun 2006 ini akan lebih banyak lagi melalui investasi PT PT Karya Megah Buton,"tambahnya.

Sementara itu, Dirut PT KMB Robin Setiono dalam wawancara dengan wartawan koran lokal Kendari, bahwa tahap pertama melalui aspal modifier pihaknya akan mengurangi kadar air aspal buton melalui proses pemanasan dan penghalusan. dan kta pastikan kualitasnya sama, homogen. sekarang yang sering jadi masalah aspal buton dikirim mentah-mentah, tanpa orang itu tahu, kan sifat aspal buton berbeda,"katanya.

Bila diubah menjadi aspal modifier robin mengaku harga jual aspal buton sekitar 100 dolar per ton dengan kandungan 20 persen kadar aspal. berart otomatis dari kandungan aspalnya 500 dolar per ton, lebih mahal dibanding harga jual aspal alam.
Investasi tahap pertama sekitar 20 miliar rupiah, tahap ke dua pembangunan pabrik pemurnian aspal lebih besar lagi dan dibutuhkan dana sebesar 200 miliar rupiah. Tahap pertama pengolahan relatif lebih sederhana, dan telah berhasil diuji di kabungka. "Aspal buton ini unik, di dunia hanya satu. Kita coba teknologi dari kanada ternyata aspalnya beda,"katanya.

Monday, January 19, 2009

Nestapa Warga Kampung Baru di Bukit Tahura


By Line: Yos Hasrul
Ketenangan La Abo, tiba-tiba terusik dengan kehadiran sejumlah aparat pemerintah daerah Sulawesi Tenggara di lokasi tempatnya bermukim, Kamis lalu. Sorot matanya tajam menatap curiga satu persatu orang siang itu.
Sikapnya pun terkesan dingin. Ia menjawab apa adanya, saat beberapa aparat pemerintah mengajukan pertanyaan seputar kepemilikan tanah oleh warga. Beberapa pertanyaan menyudutkan, sempat memancing emosi La Abo.
Bahkan suaranya yang keras, sempat membuat puluhan warga yang hadir terkaget-kaget. "Kami tak akan pergi dari tanah ini, sebelum ada tanah pengganti buat kami," teriak La Abo kepada aparat pemerintah yang siang itu mendampingi tim Kementerian Lingkungan Hidup berapa waktu silam.
Dimata pria yang sejak Tahun 2000 bermukim di kawasan lindung Taman Hutan Rakyat Murhum, pemerintah hanya tahu mengusir masyarakatnya, tanpa mau memberi solusi. "Kami ini juga manusia, kami punya hak untuk hidup di negara ini,"ujarnya, berapi-api.
Wajar jika kemudian La Abo marah. Sebab, walau telah bermukim lama di situ, mereka tetap tidak diakui oleh pemerintah. Mereka tidak dilayani mengurus KTP dengan alasan bukan warga resmi. Ia mengungkapkan Lurah Punggaloba, Drs Mukadas tidak mau melayani warga Kampung Baru. "Katanya dilarang walikota," kata La Abo.
Ironisnya saat menjelang pemilihan kepala daerah Kota Kendari yang akan digelar 18 Juni 2007 mendatang sangat banyak oknum baik dari pengurus partai politik hingga oknum pemerintah yang datang menebar janji pada warga. Termasuk menjanjikan akan membantu warga Tahura memperjelas status kepemilikan lahan mereka. "Kami tidak lagi mau percaya janji mereka," ujar La Abo.
Wajar warga taruma sebab janji yang sama juga pernah diucapkan sebagian oknum politisi baik saat pemilihan wakil akyat maupun Pemilu presiden lalu. Warga Tahura bahkan terdaftar sebagai wajib pilih dan melakukan pencoblosan di TPS-TPS bentukan pemerintah.
La Abo sendiri saat ini dipercaya warga sebagai sekretaris lingkungan Kampung Baru. Ia bercerita, Ia dan warga telah bermukim sejak tahun 2000. Awalnya hanya 30 KK. Kini jumlahnya bertambah menjadi 98 KK. Dengan bergotong royong, mereka lalu membuka pemukiman dan sarana jalan yang dananya dikumpul secara swadaya.
Jalan menuju lokasi kampung baru hanya berupa pengerasan selebar 2 meter. Akses menuju kampung ini cukup dekat. Mobil bisa masuk hingga 50 meter dari jalan raya. Namun pada musim hujan jalan ini amat sulit dilalui karena licin dan penuh lumpur. Nama Kampung Baru baru sendiri disebut atas dasar kesepakatan. Tak ada RT maupun RW. Pemerintahan dijalankan bersama melalui musyawarah. Rumah warga hanya terbuat dari papan. Jarak rumah satu dengan lainnya kira-kira 20 meter. Sedikitnya 100 rumah telah dibangun di kampung ini. Tak ada listrik. Air bersih diperoleh warga dari mata air yang dialirkan lewat pipa ke rumah-rumah.
Saat warga tidak memilih lokasi sesuai kehendaknya melainkan dengan cara lot nama. Bila nama yang jatuh dapat lokasi terjal dia harus rela menerimanya.

Menurut Abo, selama bermukim di kampung, pemerintah tidak pernah mendesak meninggalkan kawasan Tahura. Malah sebaliknya, tahun 2000, Dinas Kehutanan Sultra menemui mereka namun tidak memerintahkan keluar, melainkan meminta menghijaukan lahan di sekitar pemukiman. "Jadi kami hijaukan dengan tanaman jangka panjang," kata Abo.
Satu harapan Abo, ingin diakui pemerintah sebagai warga resmi.
Namun keinginan La Abo itu tak akan begitu saja dilayani pemerintah. Apalagi status kawasan Tahura Murhum adalah kawasan hutan lindung. Bagi pemerintah, keberadaan pemukiman penduduk di kawasan itu mengancam kehidupan warga Kota Kendari yang bermukim di bawah kaki bukit Tahura Murhum. "Tak dibayangkan kelak, 10 tahun mendatang, warga kota bakal panik ketika debit air mulai berkurang dan banjir mengancam setiap saat,"kata Ir La Ode Zakariah, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, bisa jadi dampaknya tidak terasa hari ini. Namun tanda-tandanya sudah terlihat. "Dua tahun terakhir, kerawanan air mulai terjadi, air keruh di daerah Benubenua. Erosi dan banjir setiap saat mengancam," paparnya.
Tahura Murhum memang tidak perawan lagi. Tangan-tangan manusia telah menjamahnya. Perambahan di wilayah ini sejak tahun 1998-1999 telah menjadi masalah yang kompleks. Padahal kawasan dengan luas sekitar 7.877,5 hektar ini diharapkan tetap menjadi paru-paru penyangga kota.
Tak bisa ditawar lagi, Tahura Murhum harus dijaga kelestariannya demi menjaga denyut kehidupan warga Kota Kendari. Namun di sisi lain, warga yang terlanjur mendiami lokasi tersebut tak bisa disingkirkan begitu saja seperti hewan. Seperti kata Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (Lepmil) Mastri Susilo bahwa, "Ini simalakama."
Menurutnya, menjaga kelestarian hutan tidak berarti harus menginjak hak asasi manusia. Keduanya harus sejalan. Caranya, warga tetap bermukim di Tahura dan dijadikan penjaga (guard) bagi kawasan itu. "Tapi ini memerlukan payung hukum dari gubernur," tandasnya.
Data Lepmil, lahan Tahura Murhum yang kini jadi area berkebunan sekitar 440,67 hektar dan perambahan baru sekitar 126,17 hektar. Lepmil yang sejak tahun 2002 melakukan pendampingan di Tahura Murhum mencatat, lahan yang sudah dijadikan lokasi pemukiman sekitar 50 hektar. Termasuk Kampung Baru berada di areal 50 hektar itu. Tepatnya masuk wilayah Kelurahan Punggaloba, Kecamatan Kendari Barat. Tahun 2003 jumlah populasi penduduk mencapai 704 jiwa (data Dishut Kota Kendari).
Mereka berdiam di bukit Tahura Murhum dan bukit Tahura Nipa-Nipa (hutan lindung Nanga-Nanga Popalia) penyangga kota ini. Fungsi tata air, erosi dan sedimentasi teluk Kendari sangat ditentukan kelestarian hutan kawasan bukit tersebut.
Kawasan hutan Gunung Nipa-Nipa (Tahura Murhum) sejak penjajahan Jepang telah ada perkampungan, yakni Kampung Meraka, Benggaila, Lahundape, Kapontori, Tipulu, Gunung Jati, dan Mangga dua. Mengingat fungsi kawasan hutan ini sebagai sumber air bersih, tahun 1958 Pemerintah Swapraja Laiwoi Kendari menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan terpelihara.
Di kawasan ini terdapat keanekaragaman hayati, seperi kayu besi (metresideros petiolata), eha (castanopsis burruana), bolo-bolo (adenandera celebica), bolo-bolo putih (thea lanceolata), puta (baringtonia recemosa), pandan tikar (pandanus aurantiacus), jenis palem (nengelia sp pinaraga caesia dan licuala sp), rotan (daemenoporos sp), rotan batang (calamus zollingeri), rotan lambing (calamus ornatus var celebicus), kayu damar, kayu lawang, anoa, rusa, ular sawa, kus-kus, musang Sulawesi, burung rangkong, kasturi, elang laut dan beberapa jenis kupu-kupu serta lebah alam. Di beberapa lokasi terdapat sumber air yang mengalir menjadi air terjun. Sumber mata air ini sampai sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan untuk kebutuhan sehari-hari.
Almarhum H Naim salah seorang pewaris tanah Waworaha di Kampung Lahundape dalam berbagai forum pernah mengatakan, karena alasan reboisasi, tahun 1970-1974, aparat keamanan pernah mengeluarkan warga secara paksa, rumah-rumah dirobohkan, tanaman perkebunan dibakar. Penghuni kampung sebagian dipindahkan ke wilayah Kemaraya, Tipulu, dan Benubenua. Sisanya dipindahkan ke Anduonohu, Kecamatan Poasia, melalui program resettlement --lahan yang disiapkan pemerintah.
Seluruh areal kampung yang telah kosong kemudian dihijaukan melalui program reboisasi. Kegiatan penanaman ini dilakukan oleh aparat keamanan dan para tapol. Reboisasi dilakukan secara bertahap hingga tahun 1982.
Setelah itu, melalui Keputusan Menteri Pertanian, kawasan hutan Nipa-Nipa ditingkatkan statusnya sebagai hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Penetapan tersebut semakin menutup akses warga terhadap sumberdaya hutannya. Tiga belas tahun kemudian tepatnya tahun 1995, kawasan hutan Nipa-Nipa ditetapkan sebagai Tahura.
Kewenangan pengelolaan kawasan Tahura Murhum secara teknis dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara. Namun tahun 1998 berdasarkan PP No.62 tentang Pengalihan Sebagian Urusan Kehutanan pada Pemerintah Daerah, pengelolaan Tahura Murhum diserahkan pada Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara. Proses serah terima secara formal dilakukan tahun 2002.
Kawasan Murhum dijadikan Tahura dengan pertimbangan, fungsi tata air, pencegahan erosi dan sedimentasi teluk Kendari, potensi sumber daya alam (keragaman flora & fauna), tipe ekosistem, objek wisata, serta wahana penelitian dan pendidikan.

Cita-cita tersebut kini tak mudah diwujudkan. Kawasan hutan Tahura Murhum sebagai hutan tetap dengan fungsi konservasi berlahan mulai bergeser. Menurut Direktur Lepmil Mastri Susilo, sebagian hutan telah berubah fungsi dari fungsi ekologi menjadi tiga fungsi, yakni fungsi ekonomi, sosial serta ekologi, akibat adanya warga yang secara turun temurun bermukim dan mengolah hutan. "Efek negatif yang ditimbulkan adalah rusaknya kawasan Tahura Murhum seluas 490,67 hektar," katanya.***

Kelola Hutan Ala Masyarakat Konawe Selatan

By Line: Yoshasrul

Peluh membasahi seluruh tubuh Nasir (41 tahun), Minggu pagi. Lekuk tubuh kekar nampak jelas terbalut baju kaos oblong yang dipenuh keringat. Sesekali Ia merapikan topi butut di kepalanya yang nyaris jatuh.
Pagi itu, pria berkumis ini nampak serius membersihkan rumput yang sudah mulai menutup tanaman kayu jati miliknya. Jati-jati setinggi satu meter ini ditanam berderet dengan jarak setengah meter. Setidaknya sudah ada sekitar 200 anak jati yang tumbuh di kebun ini. Tanam ini dipersipkan Nasir, sebagai tanaman pengganti setelah jati besar lainnya mulai dipanen.
Di kebun seluas kurang lebih satu hektar itulah hari-hari Nasir dihabiskan. Kebun yang seluruhnya ditanami jati ini hanya terletak 30 meter dari rumah Nasir.
Kegiatan membersihkan kebun jati ini dilakoni Nasir setiap akhir pekan. "Di luar hari Minggu, saya manfaatkan untuk merawat tanaman palawija seperti jagung, ubi dan tanaman jangka pendek lainnya,"kata Nasir saat ditemui di kebun jati miliknya di Desa Aoreo Kecamatan Lainea,
Kabupaten Konawe Selatan.
Nasir memang begitu perhatian besar pada pohon-pohon jati tersebut. Pohon jati tersebut warisan orang tuanya, La Ido, yang telah meninggal dunia sejak 12 tahun silam.
Memberi perhatian besar pada jati tentu ada sebabnya. Harga jati yang mencapai 3 juta rupiah per kubik menjadi alasan utama Nasir. Jaminan harga setinggi ini diberikan Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), sebuah lembaga koperasi yang mengkhusus pada pembelian kayu legal milik masyarakat. Namun harga itu hanya berlaku bagi anggota koperasi saja.
Nasir sendiri ikut terdaftar dalam KHJL. "Jaminan harga setinggi ini tak pernah kami dapat sebelumnya,"katanya.

KHJL sendiri merupakan organisasi rakyat berbadan hukum. Awalnya beranggotakan 196 petani jati di 12 desa di Kabupaten Konawe Selatan. Seiring proses waktu anggota KHJL pun bertambah dan kini jumlahnya sebanyak 274 anggota dengan jumlah desa tetap 12 desa dengan luas areal kebun jati yang diinisasi koperasi kurang lebih 219 hektar Tak hanya itu saat ini tengah diinisiasi calon anggota baru koperasi sebanyak 8354 KK. Anggota baru ini rencananya akan mengelola kayu di hutan negara yang telah dicadangkan sebagai lokasi social forestry oleh Departemen Kehutanan.

KHJL sendiri telah memperoleh sertifikasi Smart Woods dari FSC (Forest Stewardship Council). Memperoleh sertifikat dunia tentu tidaklah mudah. Harus melalui proses panjang untuk membuktikannya. KHJL membutuhkan dua tahun bekerja hingga memperoleh sertifikat ekolabel kayu dunia.

Jauh sebelum koperasi terbentuk, Nasir sempat menjual jatinya kepada pengusaha lokal dengan harga sangat murah dihargai Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per kubik. Bahkan beberapa kali dia sempat menjual perbatang yang harganya Rp 10.000 perbatang.
Diungkapkan Nasir, banyak hal positif Ia bergabung dalam wadah koperasi. Selain soal harga, kini Nasir juga tahu tentang mekanisme pasar berikut informasi perkembangan harga jati dunia. "Ini sangat positif bagi kami karena selama ini kami hanya tau harga kayu jati dari pembeli kayu maupun bisikan orang-orang,"kata Nasir.
Hal positif yang lain adalah Nasir mendapat pengetahuan baru tentang sistem pengelolaan jati secara legal atau resmi dan lestari. "Koperasi memberi persyaratan ketat bagi saiapa saja yang mau bergabung. Diantaranya koperasi mewajibkan kami untuk menanam kembali tanaman dengan prinsip yang diterapkan tebang satu tanam sepuluh,"kata Nasir sambil tersenyum.
Demikian pula pengetahuan tentang penggunaan Global Possioning System (GPS) "Selama ini, saya asal menebang saja. Tapi setelah bergabung dengan koperasi saya menjadi tahu sistem menebang yang baik,"kata Nasir.
Dengan sertifikasi tersebut, kayu jati daerah daerah ini mencapai 3 juta rupiah per m3. Jauh sebelumnya harga kayu jati tidak lebih dari 1 juta rupiah, bahkan harga kayu di pasar ‘gelap’ Rp 300 ribu per kubik. Sebagai percobaan, beberapa kontainer telah dikirimkan ke perusahaan-perusahaan di Surabaya.
Kesepakatan mengawal pengelolaan skema hutan rakyat menjadi ruang apresiasi bagi para pihak di Sulawesi Tenggara. Bahkan kesepakatan bulat agar lembaga yang selama ini konsen mendorong skema hutan rakyat seperti Koperasi Hutan Jaya Lestari dipertahankan menjadi lembaga yang mengelola kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Konawe Selatan.
Penunjukan KHJL selaku pengelola KPHP di Konawe selatan didasari dengan kelengkjapan administarsi dan pengalaman para anggotanya mengelola bisnis kayu di tanah masyarakat selama ini.
" KHJL telah membuktikan kepada masyarakat Sultra jika mereka telah siap melakukan pengelolaan hutan lestari di tanah negara,"kata Suhendro, dari Komisi Daerah Social Forestry, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Potensi sumber daya manusia yang mengelola KHJL tentu saja menjadi jaminan yang mau tidak mau telah dibekali segudang pengetahuan tentang tata cara pengelolaan hutan yang lestari . Terlebih pula KHJL telah memberikan andil yang cukup besar dalam upaya memperkenalkan sistem pengelolaan hutan yang lestari dan melibatkan masyarakat lokal.
Sementara itu Ketua KHJL Haris Tamburaka mengaku siap jika lembaganya ditunjuk sebagai pengelola KPHP. "soal kesiapan saya kira kami sangat siap. Dan jika ditunjuk maka kami akan menjalankan semua tata cara pengelolaan sesuai aturan yang berlaku,"kata Haris Tamburaka.
Pihak Komisi Daerah Social Forestry Konawe Selatan sendiri telah mendorong secara aktif lahirnya rekomendasi Gubernur yang menunjuk KHJL sebagai pengelola KPHP. Beberapa persiapan telah dilakukan khususnya berkaitan dokumen-dokumen menjadi persyaratan keluarnya ijin kelola Areal Kelola Social Forestry dari Menteri Kehutanan.

Keberhasilan masyarakat yang tergabung dalam KHJL mengelola hutan jati membuat banyak kelompok penggiat kehutanan berbasis masyarakat terinspirasi melakukan kunjungan dalam rangka studi banding atau share learning bersama masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara. Lembaga yang melakukan kunjungan baik dari mitra Multistakholeder Forestry Programme (MFP), sebuah program kolaborasi antara Departemen Kehutanan dan Departement for International Development (DFID) maupun lembaga lain di Indonesia.
Yang jelas inisitif membangun kolaborasi menuju hutan berbasis masyarakat telah membangun sinergi baru demi menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera di dan tetap menjaga hutan yang lestari khusus di konawe selatan.

Saturday, January 17, 2009

Nasib Hutan Sultra Dalam Kepungan HPH dan Perusahaan Sawit

By Line: Yoshasrul
Sejauh mata memandang hijau perkebunan sawit di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara menghampar luas, berjajar dibelah gundukan petak tanah yang rapi. Ya, inilah lahan sawit seluas 5506 ribu hektar yang membentang dari perbatasan Kecamatan Asera, Kecamatan Wiwirano hingga keperbatasan provinsi sulawesi tenggara dan sulawesi tengah.
Lahan sawit ini hampir seluruhnya telah menghasilkan buah. Tinggal dua ratusan hektar lagi yang sedang masa belajar berbuah. Buah sawit yang ranum menjadi daya tarik bagi siapa saja yang melintas jalan provinsi tersebut. Namun jangan salah, ranumnya buah sawit tak semanis nasib petani di daerah itu kini. Justeru warga tengah diperhadapkan dengan dilema yang cukup besar.
Hari-hari sepanjang sepuluh tahun terakhir harus dilalui dengan kepiluan membakar buah-buah sawit tersebut. Sebuah rentang waktu yang tak sedikit dimulai era kepemimpinan gubernur Kaimuddin kala itu.
Buah sawit yang selayaknya diproduksi menjadi minyak, sama sekali tak dirasakan warga. Justeru sebaliknya warga diperhadapkan dengan kondisi membakar buah sawit. Kondisi memilukan ini lain menambah ‘pekerjaan baru’ buat warga. "Beginilah, setiap hari sepanjang 10 tahun ini, kami harus membersihkan dan membakar buah sawit,"kata Yusuf, warga Desa Tetwatu, Kecamatan Wiwirano.
Penantian panjang itu terkadang membuat masyarakat prustasi, sebagian warga bahkan berinisiatif untuk ‘membumihanguskan’ pohon-pohon-sawit yang harusnya diproduksi tersebut. Bukan saja karena diperhadapkan dengan kondisi ekonomi yang serba ‘terjepit’, tetapi juga warga tidak lagi bisa memamfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam, karena hampir seluruh lahan dimana tempat warga berdiam telah tumbuh pohon sawit besar. "Jadi, tidak ada lagi lahan yang bisa kami tanami,"kata Iskandar, warga Wiwirano.
Pernah suatu ketika Iskandar berinisiatif menanam palawija di dua bedeng tanah dekat rumahnya. Tapi yang terjadi, buah tanaman kacang yang dirawat penuh kasih sayang itu habis disikat hama tikus, yang selama ini menyerang buah sawit. "Entah musibah apa yang kami terima ini, sehingga kami benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa,"kata Iskandar dengan nada pasrah.
Sungguh mubasir jadinya, ribuan hektar lahan sawit sama sekali tidak diproduksi. Masalahnya pihak perusahaan (PTPN) sejak menanamkan investasinya tahun 1997 lalu sama sekali tidak menyediakan mesin produksi buat sawit.
Berbeda ketika pertama kali perusahaan PTPN datang dan menjanjikan warga (asera ketika, Red) itu akan memproduksi setidaknya 100 ton perhari minyak sawit. Malah dengan janji yang cukup muluk perusahaan akan mempekerjakaan sekitar 10 ribu tenaga kerja bahkan akan memprioritaskan warga setempat. Terbukti saat itu lowongan tenaga kerja dibuka secara besar-besaran bahkan informasi disebar ke seluruh media cetak dan elektronik di Sultra. Sayangnya, rencana itu tak benar.
Menurut Mananger PT Perkebunan Nusatara XIV Asera Ir Joko Purwato dirinya sudah berusaha melobi mesin tapi pihak perushaan di Jakarta belum menyediakannya. "Keinginan kami sih mesin itu segera tiba, dan kami telah mengusulkan itu di pimpinan kami di jakarta,"kata Joko, berapa waktu lalu.
Dalih perusahaan boleh saja seperti itu, tapi faktanya warga yang terkena imbas. Selain diperhadapkan dengan pekerjaan membersihkan lahan dan membakar buah sawit, warga juga terlanjur menyerahkan lahan milik mereka ke perusahaan sebagai mitra. Ini disebabkan adanya pola intensifikasi dengan system plasma yang telah terlanjur disepakati oleh warga dan pihak perusahaan.
Selama ini dari 5506 Hektar lahan olahan sawit wiwirano, pihak perusahaan memecah menjadikan dua pola intnsifikasi yakni lahan sawit inti seluas 2506 ha dan 3000 Ha lahan plasma, yang seluruhnya telah disertifikasi.
Konon lahan-lahan warga yang telah sertifikasi tersebut telah pula diagunkan oleh perusahaan ke berbagai bank sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman lunak dana dari perbankan. Paling tidak ini menjadi analisis para aktifis lingkungan di kendari. "Masyarakat memang selalu menjadi objek dan kelemahan ini dimanfaatkan para pengusaha sawit untuk mendapatkan pinjaman uang di bank dan mengagunkan tanah tanah rakyat ke perbankan,"kata Tono, aktifis Suluh Indonesia.
"Saat datang mereka paling pandai dengan berdalih mereka datang untuk mensejahterakan rakyat, tetapi sesungguhnya itu hanya slogan dan ujung-ujungnya rakyat semakin miskin,"tambahnya.
Ini belum dihitung dengan hak masyarakat atas perusahaan sawit. Selama ini kata Tono, warga pemlik lahan hanya menjadi obyek pelengkap saja, "Artinya masyarakat hanya berhak atas pengelolaan lahan, tetapi tidak sedikit pun memiliki hak di perusahaan,"katanya.
Seharusnya lanjut Tono, hak masyarakat atas aset perusahaan mutlak ada , karena selain memiliki lahan, juga sekaligus memiliki peran menjaga dan bekerja. Nah, di perusahaan sawit yang ada selama ini posisi masyarakat sangat termarginalkan.
Ironisnya pemerintah yang diharapkan menjadi mediator komunikasi antara perusahaan dan warga juga tak mengambil peran. Justeru cenderung menjadi pihak yang yang ikut berkolaborasi dengan perusahaan. Ini dapat dilihat dari perjalanan sawit di asera, berkali-kali masyarakat meminta pemerintah menjembatani permasalahan, tapi tidak pernah mendapat tanggapan serius, bahkan terkesan tidak peduli.
Padahal awal-awalnya antusias pemerintah mendatang investor sawit cukup menggebu-gebu, bahkan dalam berbagai kesempatan pemerintah kerap mengelu-elukan kehadiran investor yang akan mensejahterakan rakyat. Sederat rencana pemerintah setidaknya daerah akan memperoleh pemasukan PAD dari perusahaan –perusahaan sawit sebesar 200 miliar pertahun dan ada lapangan kerja buat ribuan orang. Soal kerusakan lingkungan masih dapat dihindari.
Terlihat jika selama ini pemerintah hanya mengejar PAD atau keuntungan semata, tanpa lagi memperhatikan aspek lainnya seperti hak-hak masyarakat dan aspek ekologi. Semisal pembukaan 12 ribu areal sawit di kecamatan Wiwirano telah berdampak luas pada lingkungan hidup. Tak hanya persoalan hilangnya akses masyarakat terhadap lingkungan mereka, tetapi jauh dari itu pembukaan lahan telah menyebabkan hilangkan keseimbangan ekosistem di dalamnya.
"Bisa dibayangkan berapa banyak jenis kayu kayu yang hilang dan berapa ribu jenis flora fauna yang musnah saat pembukaan areal sawit. Sebab pembukaan areal sawit tidak seperti membuka areal HPH yang menggunakan pola tebang pilih dan melakukan proses reboisasi. Tetapi membuka areal sawit sama dengan menggunduli hutan alias menggunakan system babat habis,"kata Tono.
Catatan Dinas Kehutanan Sultra dari sekitar 296 ribu hektar penguasaan HPH PT intisixta hampir seluruhnya telah dikapling untuk pembukaan areal pencadangan termasuk untuk lahan sawit. Pihak dinas kehutanan sendiri merasa tidak setuju dengan pembukaan lahan sawit yang tidak memperhatikan aspek ekologi.
Sebab saat ini ada kecenderungan pembukaan lahan sawit tak mengenal batas areal. Artinya pembukaan areal sawit tidak hanya berada di dataran dengan kemiringan lebih dari 35 derajat tetapi juga telah memasuki areka kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Karena itu juga pihak kehutanan mencurigai dari sekitar 500 ribu hektar rencana pembukaan lahan sawit di sultra hanya separuhnya yang benar-benar kebun sawit. Sisanya, pohon-pohonnya ditebang dan lahannya dibiarkan terlantar. Dan tentu tak usah mengambil contoh yang jauh, contoh paling kongkrit adalah lahan sawit wiwirano yang kini terlantar tanpa hasil.
Tak Mematuhi Tata Cara Pelepasan Sawit
Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang tata cara pelepasan lahan maka seharunya dimulai dengan tahapan pengusulan investor sawit yang diajukan bupati selaku kepala daerah kabupaten, yang selanjutnya direkomendasikan oleh gubernur dan diteruskan ke menteri terkait untuk pelepasan lahan kelola. "Bila mengacu mekanisme tersebut, maka dipastikan hampir seluruh perusahaan sawit yang saat ini beramai-ramai melirik Sultra untuk menanamkan investasi tidak ada yang memenuhi standar,"kata Suhendro Bashori, Kepala Seksi Perencanaan Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara.
Ironisnya pemerintah kabupaten berusaha memaksakan kehendak mereka untuk tetap memberi ijin pembukaan lahan sawit, tanpa melakukan control lebih mendalam terhadap apa yang sementara dilakukan perusahaan di lapangan.
Tak hanya lahan sawit yang kini mencengkram hutan Koanwe Utara. Perusaahaan HPH juga dinilai telah sebagai biang kerusakan lingkungan di daerah itu. HPH merupakan bentuk kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk pemafaatan hutan melalui pengolahan kayu dengan prasyarat tertentu. HPH PT Intisxta merupakan satu-satunya perusahaan sektor perkayuan yang ada di daerah itu. Melalui SK HPH 1035/KPTS-II/1992, HPH dengan luas konsesi sebesar 296.000 hektar pada November 1992 resmi beroperasi. Dengan luas lahan tersebut HPH PT Intisixta memperoleh jatah tebangan minimum sebanyak 84.000 M3 per tahun dan jatah tebangan maksimum sebanyak 140.300 M3/tahun.
Selama beroperasi PT intisxta berdasarkan peraturan pemerintah telah membayar iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) serta kewajiban lain. Namun meskipun begitu, perusahaan ini memiliki tunggakan atas PSDH hingga maret 2006 sebesar Rp 706.043.588 dan dana reboisasi sebesar US 225.581,01,-
Iuran maupun pembayaran PT intisixta tidak diterima langsung oleh pemerintah daerah, melainkan pembayaran tersebut masuk ke rekening menteri kehutanan dan rekening negara, baru pada tahap berikutnya di turunkan ke daerah. Pertanyaannya apakah dana tersebut juga dinikmati warga dalam recovery hutan yang telah diambil kayunya?
Selain itu PT intisixta juga melakukan pelanggaran seperti tidak sepenuhnya melindungi dan mengamankan hutan pada areal kerjanya bahkan dalam hasil investigasi Yayasan Cinta Alam, PT intisixta telah mengambil kayu jauh di areal konsesi yang berbatasan langsung dengan wilayah sulawesi tengah. Juga pembukaan hutan di desa linomoiyo, desa aseradan mopute terus menerus terjadi.
Hasil penelitian tim independen pemerintah daerah provinsi sulawesi tenggara tahun 2000 menunjukkan bahwa PT Intisixta belum sepenuhnya konsisten dengan pelaksanaan amdal (RKL) padsa pengelolaan lingkungan fisik.
Kehadiran PT Intisixta di wilayah ini tidak lain karena didasari oleh kepentingan pemerintah untuk mendorong usaha disektor kehutanan yang kemudian akan berkontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Namun harapan tidak selamanya menjadi kenyataan, terbukti sejak mulai beroperasinya HPH PT Intisxta sejak saat itu pula hutan asera berada di bawah tekanan luar biasa, kehancuran ekosistem mulai nampak.
"Kerusakan lingkungan di asera telah membawa dampak buruk bagi ekonomi masyarakat,"kata Arief Rachman, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara. Dampak ekonomi cukup nampak dengan menonjolnya angka kemiskinan yang benar-benar melilit kehidupan warga asera dan wiwirano.
Selain itu membawa dampak bencana yang tidak sedikit. Hal ini, lanjut Arief, terlihat dari banyaknya bencana yang silih berganti diderita masyarakat. Banjir bandang pertama terjadi pada tahun 1996 ketika itu HPH PT Intisixta baru beroperasi selama empat tahun hasilnya adalah masyarakat menelan kerugian material ratusan juta rupiah, karena banjir ini pula jalur transportasi masyarakat terputus disebabkan satu-satunya jembatan permanen bernilai miliaran rupiah ikut rusak dan hanyut terbawa arus.
Sedangkan banjir bandang ke dua terjadi pada bulan juni 2006 lalu dan memporakporandakan 9 desa di konawe, diantaranya desa asera tua, desa linomoyo, dll. Banjir bandang ini terjadi setelah 14 tahun HPH PT intisixta beroperasi.
Kehadiran PT Intisixta telah lama menuai kritik, bukan saja oleh masyarakat setemapt tetapi hampir seluruh LSM di tingkat lokal bahkan nasional yang memiliki visi pengelolaan sumber daya alam hayati yang adil dan berkelanjutan. Berbagai bentuk perlawanan telah dilakukan, mulai tingkat lokal hingga nasional, kegiatannya pun beragam mulai dari diskusi, aksi lapangan hingga intervensi kebijakan. Namun kesemuanya itu belum membuahkan hasil apa-apa.
Ironisnya ada level pengambil kebijakan juga terjadi gontok-gontokan, di satu sisi mereka tidak memiliki pemahaman lingkungan dan sempat menikmati hasilnya lebih memilih diam. Sementara yang benar-benar serius memikirkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat secara tegas menolak keberadaan perusahaan ini.

Wednesday, January 14, 2009

Menyusuri Sumber Air Panas Lainea


By Line: Yos Hasrul


Sumber air panas terdapat di dua tempat di Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara . Cocok dikembangkan untuk areal wisata. Kepulan mirip asap memutih terlihat di kejauhan, tepatnya di sebuah kawasan hutan di Desa Kaindi.

Jangan salah dulu. Kepulan mirip asap tadi adalah kumpulan uap dari sumber air panas yang memang tersebar di beberapa titik di kawasan hutan itu.

Dalam perjalanan bersama enam anggota Brigade Pencinta Alam (Bripala) Green, sebuah Kelompok Pencinta Alam (KPA) setempat, diperoleh keterangan bila sumber air panas itu berada di ketinggian 50 meter dari permukaan laut.

Untuk menjangkau tempat itu, perlu melewati rute jalan setapak, setelah melalui areal perkebunan rakyat. Disarankan pula, untuk menjangkau tempat itu, Anda perlu menyewa gaet local yang siap melayani perjalanan anda.

Rerimbunan hutan jati yang banyak tumbuh di kawasan itu menjadi nilai tambah perjalanan ke kawasan itu. Namun aksi illegal loging menjadikan kawasan itu bergeser dari bentuk aslinya.
Sebelum tiba di lokasi, kita akan mendapati sebuah bangunan permanen yang sudah tak terpakai.


Melihat bentuknya, tampak bangunan itu mirip bak penampungan air. Ukuran bangunan seluas 15 X 12 meter persegi dan letaknya dekat aliran sungai kecil yang membentang. Air sungai itu terasa hangat, terlebih pada pagi hari.

Bagi warga, areal itu punya cerita tersendiri. Konon, bangunan itu adalah kolam permandian peninggalan Jepang.


Cerita seorang warga di sana, dulunya, saat Pasukan Jepang menguasai wilayah itu, mereka sempat membuat bangunan permanen untuk menampung dua jenis air berbeda. Panas dan dingin.

Nah, air yang panas itu, disuplai dari sumber air panas yang ada di kawasan bukit hutan yang letaknya sekitar 1 KM. Sedang, air yang dingin, diambil dari sebuah sungai kecil yang mengalir sekitar 50 meter dari bak penampungan.

Ini terbukti dengan membentangnya sebuah pipa besi dari percabangan berbeda. Sayangnya, kondisi bak itu sudah tak layak pakai, selain tinggal pondasi, seluruh bangunan terutama bak air juga sudah tertimbun tanah.

Ketika jarak semakin mendekati air panas, maka hawa panas sedikit demi sedikit akan terasa. Demikian pula, bau belerang tampak menyengat hidung.

Areal tempat air panas tak begitu luas. Terletas di bawah sebuah bongkahan batu besar. Saat tiba, secara tak sengaja, wartawan koran bertemu dua mahasiswa asal Makassar yang tengah melakukan penelitian di sumber air panas itu. Dari mereka diketahui titik didik air mencapai 50 derajat celcius.

Untuk mengetes titik didih air cukup mudah, dengan menaruh beberapa butir telur ke dalam air panas itu, maka hasilnya yang diperoleh cukup menakjubkan, sekitar 10 menit telur pun matang.

Selain di Desa Kaindi, di Desa Pamandati juga terdapat sumber air panas. Lokasinya tak jauh dari pemukiman penduduk.

Bagi warga setempat, lokasi itu menjadi salah satu obyek wisata alternatif selain wisata laut. Selain jaraknya yang dekat –2 KM--, warga juga dengan mudah menjangkau tanpa sedikit pun dipungut bayaran.


Beberapa warga menaruh harapan agar pemerintah Kabupaten Konawe Selatan memberi perhatian pada lokasi itu. "Sebetulnya bila dikelola dengan maksimal, maka lokasi wisata ini bisa menarik pendapatan buat daerah,"kata Kasim, pemerhati kehutanan ***

Cerita Pilu dari TNRAW (2)

By Line: Yos Hasrul
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan daerah tangkapan air bagi daerah aliran sungai yang ada di sekitarnya. Setidaknya ada 15 sungai yang sangat tergantung pada kawasan ini. Sungai Konaweha, merupakan sungai utama bagi irigasi untuk ± 35.000 hektar sawah di Kabupaten Kendari yang menjadi pemasok utama beras bagi sekitar 1.349.616 jiwa (tahun 1990) penduduk di Sulawesi Tenggara.
Di bagian selatan kawasan, sungai Tembekuku, sungai Roraya dan sungai Watumokala merupakan sungai-sungai yang memegang peranan penting bagi sumber air minum dan pendukung untuk mengairi pengelolaan sawah di luar kawasan TNRAW yang terletak di Kabupaten Kendari. Sedangkan Sungai Lanowulu, Sungai Langkowala, sungai Poleang dan sungai Totulo juga merupakan sumber kehidupan utama untuk masyarakat di Kabupaten Kolaka bagian selatan.
Di dalam dan sekitar kawasan merupakan tempat berdiamnya suku-suku asli Sulawesi Tenggara dengan sejarahnya masing-masing. Suku asli terdiri atas suku Moronene dan suku Tolaki. Selain itu, ada beragam suku-suku lain yang berdatangan dan bermukim di desa-desa sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Suku-suku pendatang ini selain berasal dari dalam wilayah Sulawesi Tenggara (Muna dan Buton), juga berasal dari daerah lain dari hampir seluruh Indonesia, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Dibeberapa tempat masih tetap dikembangkan budaya-budaya setempat yang sudah menjadi ciri khas yang masyarakat sekitar yang telah dilaksanakan semenjak jaman dahulu, seperti Tanduale, di Hukaeya dan Laea yaitu sebuah upacara adat yang dilakukan pada saat penerimaan tamu yang datang ke kampung.
Masyarakat yang menggantungkan hidup dalam kawan TNRAW sebetulnya memiliki kearifan local untuk mengelola sumber daya alam di kawasan itu. Sebutlah seperti masyarakat di sekitar kawasan mangrove sepanjang muara sungai Lanowulu sejak jaman dahulu telah menetapkan beberapa aturan adat.
Mereka tidak memperbolehkan siapapun menebang mangrove yang ada dalam kawasan tersebut dan tidak boleh ada penambahan Togo (alat penangkap udang) disekitar muara sungai tersebut. Pelarangan ini perlu dilakukan, karena bagi mereka, mangrove yang lestari adalah syarat mutlak bagi tersedianya sumber kehidupan mereka.
Penambahan Togo juga tidak diperbolehkan karena mereka sadar bahwa dengan semakin banyaknya togo maka pendapatan mereka akan semakin menurun, dan bila menurun maka tekanan terhadap sumber daya alam akan semakin besar.
Sedang di Desa Aopa, masyarakat membatasi jumlah tangkapan mereka dari Rawa dengan maksud menjaga agar ikan tidak habis tetapi masih tersisa untuk hari esok. Masyarakat di desa ini juga mengkeramatkan Gunung Tiga Cabang dari segala macam gangguan, yang bila dipahami lebih dalam ini adalah cara mereka menjaga daerah tangkapan air bagi kawasan rawa Aopa.
Namun seiring perjalanan waktu kearifan masyarakat tersebut perlahan mulai tergerus oleh kekuatan ekonomi baru. Kaum pemodal dengan leluasa merebut hati warga lokal dan memanjakan mereka dengan uang. Tanah dibeli dengan luasan berpuluh hingga ratusan hektar. Menjadikan banyak warga menjadi buruh di tanah mereka sendiri seperti menjadi buruh tambak. Konversi lahan pesisir yang sebagian besar mencakup kawasan TNRAW seolah menutup mata para pengambil kebijakan. Sejauh mata memandang tambak berukuran luas telah terbuka lebar hingga tak terlihat lagi ujungnya.
"Kepemilikan lahan ini berasal dari berbagai lapisan pemilik modal besar,"kata Madamang, seorang warga di pesisir tinanggea. Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak kunjung tegas terhadap pengkapligan lahan di pesisit TNRAW. "Mereka yang telah mengkoversi lahan di TNRAW seharusnya ditindak tegas. Tetapi faktanya pemerintah hanya melihat saja,"tambah Madamang.
Melihat kondisi TNRAW saat ini, tentulah nasib TNRAW ke depan akan semakin tergerus, jika saja tidak ada langkah kongkrit dari pengambil kebijakan di daerah ini. Butuh kominten semua pihak untuk mengembalikan kondisi TNRAW seperti sediakala, seperti kondisi 15 tahun silam. ***

Cerita Pilu dari TNRAW (1)

By Line: Yos Hasrul
Kondisi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Sulawesi Tenggara dalam fase kritis. Ancaman kehilangan sumber daya hayati cukup besar seiring banyaknya lahan taman yang terjarah oleh manusia. Padahal di dalamnya tersimpan kandungan keanekaragaman hayati yang melimpah. Butuh langkah penyelamatan TNRAW.

Hari menjelang sore ketika memasuki gerbang Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Suasana nampak sepi. Petugas taman tak terlihat berjaga di perbatasan pintu masuk.
Sekilas pandagan tertuju pada sejumlah fasilitas taman. Kondisinya nampak mulai menua, bahkan sebagian telah rusak. Sebuah gerbang kayu yang mulai lapuk di makan usia seolah dibiarkan teronggok rapuh. Ya, beginilah kondisi taman nasional Rawa Aopa terakhir kali mendatanginya medio April lalu.
Toh begitu, perhatian pemerintah terhadap masalah tersebut sangatlah minim. Akibatnya, berpengaruh besar pada upaya perlindungan TNRAW. Terbukti TNRAW saat ini banyak kehilangan sumber hayatinya, terutama hidupan liar yang ada di dalamnya.
Kondisi ini jauh berbanding terbalik dengan 10 tahun silam. Dimana hidupan liar seperti rusa, anoa hingga aneka burung sangat mudah kita jumpai. "Ketika itu rusa dan hewan lainnya seolah menyatu dengan masyarakat di sini,"kata Mansyur, seorang warga lokal yang mengantar melintas menuju TNRAW.
Bahkan, lanjut pria berpostur sedang ini, pemandangan alami ini menjadi salah satu obyek wisata bagi warga lokal, mengingat jalur transportasi yang membelah TNRAW merupakan jalur penghubung antarkabupaten. Kini, Perburuan liar telah menyebabkan menyusutnya populasi hewan-hewan tersebut. Terakhir bukan saja tekanan dari perburuan liar, tetapi juga adanya penjarahan besar-besaran sebagian besar lahan taman oleh oknum masyarakat.
Kondisi tersebut tak lepas dari legitimasi pemerintah lokal yang cenderung melakukan pembiaran. "Bahkan ada juga oknum pemerintah yang menjual tanah di TNRAW,"kata seorang sumber di TNRAW. Sebagian besar ahan telah dikonversi menjadi lahan perkebunan kakao. Diperkirakan 50 persen dari luasan lahan taman telah hilang terjarah dan menjadi lahan kepemilikan pribadi.
Tekanan terhadap kondisi taman kian diperparah dengan maraknya praktek ilegal logging yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha kayu lokal. Ini ditanda dengan maraknya truk pengangkut kayu dan transaksi perdagangan kayu. Sejumlah jalur transportasi truk pengangkut kayu yang melintas ke zona inti hutan alam di TNRAW kian marak. Anehnya tidak ada tindakan bagi mereka yang melakukan praktek pembalakan liar tersebut.
TNRAW terletak di daratan Propinsi Sulawesi Tenggara, dengan luas 105.194 Ha, dan terbentang meluas mencakup empat wilayah kabupaten di Sulawesi Tenggara, yakni Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kendari, dan Kabupaten Bombana. Jarak TNRAW dari ibukota provinsi, 120 Km dengan jarak tempuh 2 jam bila mengunakan kendaraan roda empat.
Secara resmi kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional pada tanggal 17 Desember 1990 dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI No.756/Kpts II/1990 tentang penetapan Kelompok Hutan Rawa Aopa Watumohai sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Taman Nasional.
Sebelum menjadi TN kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 Ha melalui SK Menteri Pertanian RI No. 648/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober 1976 dan Suaka Marga Satwa Rawa Aopa seluas 55.560 Ha melalui SK Menteri Kehutanan No.138/Kpts-II/1985 tanggal 11 Juni 1985 (TNRAW, 1999).
Kawasan TNRAW memiliki potensi keanekaragaman hayati cukup tinggi yang berfungsi sebagai sumber daya ekologi dan ekonomi oleh masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional. Sebagai sumber daya ekologi, kawasan TNRAW terdiri dari beberapa tipe ekosistem yakni ekosistem hutan mangrove, ekosistem savana, ekosistem hutan hujan tropis dataran dan pegunungan rendah, dan ekosistem hutan rawa yang dihuni oleh berbagai species baik yang endemik maupun non endemik.
Kawasan TNRAW seluas 105.194 Hektar sebenarnya mempunyai berbagai potensi yang dapat dijadikan sebagai penunjang budidaya, penyangga sistem kehidupan serta ilmu pengetahuan dan pendidikan. Potensi–potensi tersebut, terdiri, beragam tipe ekosistem yang terdapat dalam kawasan taman , seperti ekosistem Hutan Bakau (mangrove)
Hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan satu-satunya kawasan yang masih mempunyai mangrove yang baik, sepanjang pantai selatan dataran Sulawesi Tenggara. Kawasan seluas 3.000 ha ini, mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Ekosistem ini juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan , udang dan kepiting yang dijadikan sebagai mata pencarian utama penduduk disekitar kawasan tersebut.
Demikian pula, ekosistem hutan savana yang terdapat dalam kawasan TNRAW yang memiki luas sekitar 30.106 Ha. kawasan hutan savana ini terdiri dari alang-alang, berbagai jenis rumput, dan tumbuh-tumbuhan pepohonan yang terdapat di antara padang savana. Kawasan ini merupakan habitat utama dari jenis satwa–satwa pemakan rumput seperti Rusa (Cervus timorensis) dan Anoa (Anoa depresicornis). Species lainnya yang terdapat dalam kawasan ini adalah berbagai jenis burung, baik yang endemik maupun non endemik.
Ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah dan pegunungan rendah. Ekosistem ini mempunyai vegetasi yang sangat beragam, baik kayu maupun non-kayu dengan luas 62.832 Hektar ini. Jenis-jenis kayu yang terdapat dalam kawasan hutan ini adalah jati, ponto, bayam, nyato, kayu cina, dan lain-lain. Sedangkan non-kayu adalah berbagai jenis umbi-umbian, liana, rotan, madu, biji-bijian, dan buah-buahan. Kawasan hutan ini, dihuni oleh berbagai species baik rusa (Cervus timorensis) maupun anoa (Anoa depresicornis) sebagai tempat berlindung di kala terik matahari, ular, ayam hutan, berbagai jenis unggas, dan kera.
Dengan potensi hutan yang cukup besar, kawasan ini memiliki fungsi hidrologis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya terdapat sungai-sungai baik yang besar maupun kecil. Sungai-sungai tersebut antara lain sungai Konawe Eha yang berfungsi sebagai sumber pengairan utama untuk irigasi bagi 50.848 Ha sawah dan air minum di Kabupaten Kendari, sungai Tembekuku, sungai Roraya dengan luas daerah tangkapan air 22.429 Ha, sungai Watumokala, sungai Lanowulu, sungai Langkowara, sungai Polea dengan daerah tangkapan air seluas 12.847 Ha, sungai Laea dengan luas tangkapan air 22.628 Ha, Jawi-jawi-Lampopala seluas 11.915 Ha, Langkowala seluas 10.034 Ha, sungai Totulo, dan sungai Pohara yang merupakan sumber air minum (PDAM) bagi masyarakat Kota Kendari (TNRAW, 1999).
Ekosistem Hutan Rawa merupakan satu-satunya kawasan yang digenangi air, karena merupakan muara dari berbagai sungai sebelum mengalir ke sungai Konaweha dan sungai Pohara. Kawasan rawa ini merupakan satu-satunya kawasan di Sulawesi dengan ekosistem rawa gambut basah (Written at all, 1987). Dalam kawasan ini terdapat berbagai jenis tumbuhan seperti sagu (Metroxylin sagu) dan beberapa jenis ikan air tawar, antara lain ikan gabus, ikan karper, ikan mujair, udang, belut, disamping berbagai jenis burung. Sagu (Metroxylin sagu), merupakan makanan utama dari penduduk asli di Kabupaten Kendari dan Kolaka.
Dari sisi keanekaragaman hayati, data terakhir yang diperoleh dari WCS (2001), LIPI (1993), dan TNRAW (1999) menunjukkan bahwa dalam kawasan TNRAW di atas, paling tidak terdapat sekitar 124 jenis aves yang terdiri dari 47 jenis endemik, 5 jenis terancam punah, 1 jenis rentan, dan 2 jenis dikategorikan genting. Untuk mamalia terdapat 12 jenis yang 10 diantaranya endemik Sulawesi dimana 1 jenis dikategorikan genting. Menurut hasil eksplorasi flora yang dilaksanakan oleh Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993 berlokasi di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang terdiri atas 89 suku/famili, 257 marga/genus dan 323 species jenis tumbuhan.
Sebagai sumber daya ekonomi, kawasan TNRAW dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat bercocok tanam baik tanaman jangka pendek maupun tanaman jangka panjang. Selain itu, kawasan ini pula dimanfaatkan sebagai basis ekonomi (utama-bagi penduduk asli) baik dengan pemanfaatan sumber daya hutan kayu maupun sumber daya hutan non-kayu. Dengan mengelola sumber daya hutan baik kayu dan non-kayu penduduk asli- khususnya, yang hidup di dalam dan disekitar kawasan TNRAW dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten.
Manfaat lain dari potensi keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan TNRAW selain sebagai sumber ekologis dan ekonomi, adalah sebagai sumber bahan kebutuhan peralatan dan energi. Selain itu pula berfungsi sebagai penyedia kebutuhan makanan (natura) secara langsung dan sebagai sumber ramuan obat-obatan tradisional.***

Tuesday, January 13, 2009

Lestarikan Daerah Aliran Sungai dengan Bercocok Tanam

By Line: Yoshasrul
Kegiatan yang dilakukan sekitar 40 petani di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan patut diapresiasi. Para petani menerapkan pola bercocok tanam dengan memanfaatkan sisa lahan di sepanjang pinggir sungai Laeya.
Aktifitas petani memanfaatkan areal kosong di sepanjang sungai menjadikan daerah aliran sungai laeya terawat baik. Warga menanam aneka tanaman palawija jangka pendek dan jangka panjang.
"Tujuannya kami cuma dua. Ingin melesrarikan daerah aliran sungai dan meningkatkan ekonomi masyarakat local,"kata Ashar, Ketua Kelompok Tani Palawija Desa Lambakara.
Sungai Laeya, satu dari enam sungai besar di konawes selatan bervolume air cukup besar. Sungai in mengairi 12 ribu hektar areal persawahan di tiga kecamatan di Konawe Selatan.
Saat mengunjungi areal pertanian palawija masyarakat, nampak deretan aneka tanaman yang siap panen. Buah-buahan ranum seperti semangka, tomat, cabe merah sebagaian telah dipetik dan siap jual. "Buah-buahan ini sudah diborong pembeli asal kendari. Mereka tinggal datang angkut,"demikian kata Ashar.
Kemandirian petani ini didasari keinginan melestarikan daerah aliran sungai dari degradasi akibat pengikisan air. Lagi pula, lahan dipinggir sungai sangat subur. Humus tanah yang dibawa air sangat baik untuk tanaman jangka pendek. Tanaman menandapat cukup pasokan gizi humus tanah.
"Tak perlu pakai pupuk, sebab humus tanah sudah menjadi pupuk alamai bagi tanaman,"kata Ashar.
Buah kerja keras petani melestarikan lahan daerah aliran sungai ini mampu meningkatkan ekonomi petani "Penghasilan petani ini buah manis dari kerja keras petani,"kata Ashar, tersenyum. Sekali panen petani dapat menghasilkan uang jutaan rupiah. Asumsi ini tentu didasari atas hasil jual panen palawija di pasaran yang cukup baik. "harga sekilo bawang di pasar mencapai 20 ribu rupiah. Kami dapat memanen sampai satu ton bawang,"ujar Ashar.
"Lumayan hasil sekali panen dapat membiayai kuliah anak kami,"kata Ashar.
Kegiatan petani Lambakara saat ini menjadi perhatian aparat desa setempat. Kegiatan yang berpespektif lingkungan ini bukan saja bertujuan melestarikan daerah aliran sungai, melainkan menjadi sumber ekonomi baru bagi desa.
"Sebelum kegiatan bertani di daerah lairan sungai berlangsung, petani desa masih berpikir kerja serabutan. Dan lebih banyak berdiam di rumah dan menunggu panen musiman jambu mete di kebun mereka. Namun kini pola hidup petani berubah semenjak mulai mengelola lahan di darerah aliran sungai,"kata Haris Tamburaka, Kepala Desa Lambakara, Kacamatan Laeya, Konawe Selatan.
Sebagai pemerintah, tentu Haris sangat mendukung kegitan warganya tersebut.
"Kegiatan petani telah sedikit mendongkart ekonomi desa. Seluruh kegiatan petani Lambakara dan Ambalodangge ini merupakan inisiatif sendiri,"tambah Haris.
Ia berharap kegiatan petani mendapat perhatian dari pemerintah kecamatan dan kabupaten. "Kita tau petani ini masih mengandalkan pola kerja tradisional, kami berharap pemerintah bisa memberi sentuhan pelatihan cara bercocok tanam yang baik,"kata Haris yang juga pendiri Koperasi Hutan Jaya Lestari, sebuah lembaga koperasi yang bergerak bisnis kayu legal.
Hingga kini petani juga masih murni bertani dengan pola kemandirian. " terus terang semua ini masih inisiatif masyarakat, pemerintah belum memberikan sentuhan apa-apa pada petani,"kata Ashar.

Namun ia tidak menutup mata, jika mpetani sangat membutuhkan adanya sentuhan pemerintah, terutama bagaimana mensubsidi kegiatan mereka.

Jerit Hati di Januari


Wajahnya begitu sumringah. Kata penuh harap itu Ia sodorkan padaku. "Papi 12 Januari saya ulang tahun,"katanya padaku. Kata-kata ini masih terngiang jelas. Anak sulungku bernama lengkap Salwa Nur Fhadilah Hasrul. Wajah riangnya aku lihat seminggu yang lalu. Saat Ia meminta agar Aku memberi kado terindah untuknya. Tenda Kemah sebuah kado istimewa yang telah lama Ia nantikan. Ya, salah satu permintaan Wawa dari tiga opsi kado yang dia tawarkan padaku empat hari sebelumnya. Hari-hari belakangan Wawa terus menghitung detik. Ia menulisnya dengan jelas dalam notes kecil pemberian ibunya. Berharap waktu tiba dengan cepat.
Senin, 12 Januari itu tiba. Hari ini hidupku benar-benar gundah. Bingung tak bisa berbuat banyak. Sulit membayangkan kenyataan jika hari ini anakku berulang tahun. Harapan agar dapat merayakan ulang tahun dengan meriah nampaknya tak dapat terpenuhi. Padahal seminggu lalu saya telah berjanji padanya untuk merayakan ulang tahun secara sederhana. Juga janji akan memberikan sebuah kado ulang tahun berupa Tenda Kemah. Sebagai anak tentulah sebagai seorang anak, Wawa mulai sedikit mengerti arti sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan baginya adalah merayakan sebuah pesta dengan jajaran nyala lilin yang tertancap di kue berhias manik-manik.
Hari ini aku benar-benar apes. Hari yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hari ini seharusnya dilewati dengan suka cita dengan merayakan ’pesta kecil’ di rumah kami yang sederhana. Tak memiliki uang sesen pun. Keadaan ini memaksaku menikmati hari bahagia ini dengan kehampaan. Berlalu begitu saja tanpa bekas.
Keadaan keuangan kami setahun ini serba sulit. Rejeki tak semakmur dua tahun silam. Dimana aku masih terikat program bersama kawan-kawan pers lainnya. Program yang kami kelola memberi kami penghasilan tambahan. Namun tahun-tahun belakangan ini, benar-benar membuat kami ’ikat pinggang’. Terus bekerja keras siang malam.Berusaha mencari pinjaman untuk menutupi hutang sebelumnya. Tahun ini kami benar-benar harus membuat manajemen keluarga yang lebih hemat. Mengeluarkan anggaran seirit mungkin. Momen ini benar-benar kami harus mengambil hikmah uang harus dihargai.
Malam tiba, aku mencoba memutar otak. Mencoba mengais sisa ATM bank tempat kami menyimpan dana penghasilan bulanan. Aku dan wawa malam itu mencoiba peruntugan dengan mendatangi lima ATM, mungkin saja bisa menarik sisa dana. Namun sayang ATM benar-benar telah kosong dan tak mungkin bisa ditarik lagi. Kami pulang dengan hampa.
Betapa sedihnya wawa. Hari ini tangis kecilnya pecah menjelang malam. Memecah keheningan. Memecah kekakuan hatiku. Menghetakkan lamunanku. Menggetarkan nuraniku sebagai seorang bapak. Wawa telah menghitung detik hari ini lenyap tak berbekas. Tanpa ada pesta, Tanpa ada nyala lilin. dan kue ulang tahun. Tanpa kado istimewa seperti yang telah saya janjikan.
Usaha mencari pinjaman terpaksa kulakukan. Aku mengontak seorang rekan yang mungkin bermurah hati meminjamkan dana. Aku SMS tentang kegundahan hatiku. Ia mencermati setiap kata-kata yang aku kirimi lewat SMS. Ia terenyuh dan menjawab SMS yang aku kirim dengan penuh perhatian. Ia bersedia meminjamkan sesuai kebutuhan. Dengan sepeda motor malam itu aku langsung menjambangi rumahnya dengan penuh harap. Untunglah saat tiba ia memberi dana sesuai kebutuhan. Lega rasanya.
Malam telah larut. Hampir semua toko telah tutup. Kemana harus mencari kado buat Wawa. Kado yang aku janjikan itu? Aku memutari kota ini. Tapi lagi-lagi tak kutemukan hadiah kado itu. Ahh.. sungguh malam yang melelahkan.
Sungguh benar-benar aku ayah yang tidak menepati janji. Aku malu pada diriku sendiri. Tak sanggup aku menatap wajah lugu anakku. Aku tertunduk lesu. Sungguh aku telah menyia-nyiakan kebahagiaan anakku sendiri. Kenapa...kenapa....kenapa ini datang disaat mereka membutuhkan aku. Batinku menangis.
Ini hikmah sekaligus pelajaran bagiku. Semoga tak lagi terulang ditahun-tahun mendatang. Dan semoha Allah SWT memberikan keluarga kita rejeki.

Dari papi tercinta "Selamat Ulang Tahun Anakku Salwa Nur Fhadilah, semoga panjang umur dan selalu diberi keselamatan dan kemurahan rezeki dari Allah SWT.
Catatan harianku di Senin 12 Januari 2009, Pukul 20.12 wita.

Sunday, January 11, 2009

Bila Orang Miskin Bicara Tentang Kemiskinan

By Line: Yoshasrul

Fenomena kemiskinan telah menjadi wajah buram bangsa ini. Betapa tidak, kemiskinan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan warga hampir disemua lapisan. Fenomena ini bukan hanya berupa angka-angka yang tiba-tiba melonjak, tetapi juga telah menjadikan moral warga berada diambang mengkhawatirkan. Namun bagaimanakah orang miskin memandang tentang kemiskinan itu sendiri?

"Sesungguhnya apa itu kemiskinan?," "Kenapa masih ada saja diantara kita yang mau mengaku miskin?," Ragam pertanyaan yang bernada mengkritisi diri sendiri ini mengalir begitu saja dari mulut para "kaum papa" tanpa malu-malu, dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Green Press sebuah organisasi perkumpulan wartawan lingkungan kendari, di balai kelompok petani Mangga Dua.

Jawaban muncul pun beragam, walau penggambarannya sedikit ‘samar-samar’ dan terdengar kocak. Said misalnya memandang definisi kemiskinan itu ibarat pertemuan air laut dengan air sungai, sudah sulit membedakan mana miskin dan tidak miskin. Terlebih dalam upaya penanganan kemiskinan itu sendiri yang berujung pada ‘kaburnya’ nilai-nilai moral di masyarakat.

Ia pun mencontohkan program bantuan kompensasi BBM, banyak hal yang janggal karena criteria miskin yang ditetapkan pemerintah tidak jelas, sehingga yang muncul kemudian adalah banyak ‘orang’ yang tiba-tiba mengaku miskin, padahal sebetulnya tidak miskin. "Paling parah lagi program bantuan ini dalam implementasinya menjadi ladang korupsi bagi pihak-pihak lain,"kata Said, Ketua Kelompok Tani Mangga Dua, Tahura Nipa-nipa Kendari.

Lain pula yang dikatakan, Munir. Miskin kata dia bisa diplesetkan dengan arti "Makan mie instant dan ikan asin". Harusnya pemerintah dalam menangani kemiskinan tidak usah repot-repot mencari kritria yang berbelit-belit, cukup melihat warga itu makan mie instant dan ikan asin sudah menggambarkan keberadaan seseorang yang berkategori miskin.

"Petugas BPS tidak usah repot keliling mendata itu orang miskin. Cukup melihat apakah dia mampu membeli makanan atau tidak. Sebab fakta yang ada selama ini para penerima bantuan justeri punya handphone. Dan dana BLT yang mereka terima dipakai untuk beli pulsa. Inikah tidak benar,"kata Munir yang pernah menjadi korban PHK Tahun 1997 dari sebuah perusahaan di Kendari.

Ia melihat hingga kini pembodohan orang miskin yang dilakukan orang pintar yang punya kedudukan masih sangat dominan. "orang miskin condong tidak punya wawasan sebab mereka telah miskin ilmu, miskin etika, miskin moral. Karena itu pula orang miskin kerap menjadi kambing hitam.

Bagi Munir, pendapatan tidak tetap, tidak ada KTP, tidak diakui sebagai warga kota ( karena tidak punya tempat tinggal / tidak punya lahan, tidak bisa menyekolahkan anak,
Tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak punya kekuatan untuk menyentuh program pemerintah merupakan rangkaian dari criteria orang miskin. "Alat ukur inilah yang harus dipakai pemerintah, sebelum menetapkan sebuah criteria yang lagi-lagi cenderung tidak dipahami masyarakat,"ujarnya.

Diskusi ala petani ini tak hanya ‘menyentuh’ kemiskinan secara umum. Tetapi membedah sejumlah pandangan tentang kemiskinan disekitar kawasan hutan. Dua petani Muasri dan Naim mematok criteria orang miskin disekitar kawasan hutan yakni warga yang kebutuhan sehari-harinya tidak lagi terpenuhi, pendapatan tidak tetap, sehingga ketidakmampuan menyekolahkan anak-anak.

"Memandang sebuah kemiskin itu relative, artinya tiap orang mungkin berbeda pandangan. Bagi saya yang masuk dalam kelompok pelestari hutan sudah pasti miskin, karena buat apa mereka mencari tambahan pendapatan dengan ‘masuk’ hutan bila kebutuhan hidupnya terjamin,’kata Naim, Ketua Kelompok tani Sarungga, Kelurahan Kemaraya, Kendari.

Lain pula pandangan Jayawati, perempuan berjilbab ini memandang kemiskinan sekitar hutan itu karena musiman. "Artinya Jika musim jambu dapat uang, kalau tidak mencari tambahan di pasar,"ujarnya.

Baginya kemiskinan leih banyak terjadi di pinggiran hutan, karena warga tidak lagi bisa mengakses kebutuhan hidup baik kebutuhan sandang dan pangan.
Ia pun membandingkan orang-orang yang tinggal dalam kota adalah orang-orang mampu, karena sudah punya tempat. Sedangkan masyarakat sekitar hutan adalah orang yang tidak mampu membeli membali tanah dalam kota.

Namun pendapat Jayawati ini agaknya berbeda dengan pendapat Said. "Tidak ada beda, miskin orang kota dan orang yang tinggal di sekitar hutan. Hanya faktor gaya hidup dan sosial yg membedakan. Said mengaku ada komunitas tertentu yang menyebabkan kemiskinan terjadi, sebab tidak lebih pada masalah kultur atau budaya yang terbangun selama ini agak keliru.

Lalu apa penyebab masyarakat miskin sekitar hutan? Menurut analisa Said, penyebab kemiskinan itu sendiri terdiri dari sejumlah kriteria misalnya sektor lapangan kerja kurang. Tahun 2000-2003 pekerjaan di pelabuhan kurang, tapi setelah ada pelabuhan kontainer sedikit tertolong. Selain itu akibat buruh toko sering di PHK.

Dalam konteks kemiskinan warga yang bermukim di sekitar kawasan hutan itu disebabkan beragam faktor. Terutama latar belakang para pemukim itu sendiri. Di Kelurahan Gunung Jati misalnya, warga yang bermukim disekitar kawasan hutan berasal dari berbagai latar belakang,s eperti buruh pelabuhan 60 persen, buruh toko 15 persen , pedagang kaki lima serta dari sektor pekerjaan lainnya. Ini dapat pula dibagi lagi terdiri buruh pelabuhan ada dua kelompok, ada anggota dan lepas.

Beragam cerita tentang kemiskinan, baik yang dialami sendiri oleh para petani maupun potret cerita sanak familiy petani tahura juga muncul dalam sesi diskusi itu. Ibu Siti Suryana misalnya, semenjak suaminya sakit, Ia tidak bisa lagi memenuhi kewajiban sebagai suami.

Ia terpaksa keliling ke tetangga untuk meminjam beras. Saat ini praktis kelurga Siti Suryana sangat tergantung pada bantuan beras miskin (raskin). Termasuk pula bergantung pada dana bergulir yang dilayangkan pemerintah. "Pernah saya berharap dapat bantuan dana bantuan tapi tidak dilayani,"ungkap wanita parobaya ini.

Meski semua serba terbatas, Siti Suryana masih bertekat menyekolahkan ketiga anaknya. "Tiga anak saya masih bersekolah. Tapi terpaksa saya harus gilir jadwal sekolah mereka. Jika hari ini dua orang yang masuk sekolah, terpaksa anak saya yang satunya tidak masuk sekolah. Semua ini karena kami kekurangan biaya,"kata Siti Suryana dengan mata-berkaca-kaca. Kondisi serba kekurangan ini telah dirasakan sejak 18 tahun silam, sejak suaminya tidak lagi bekerja.

Diskusi kemiskinan yang dihadiri kaum miskin kota dan warga miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan ini berbeda dengan diskusi yang ada selama ini. Dimana undangan diskusi yang kerap digelar selama ini lebih didominasi para penggiat kemiskinan seperti LSM atau pemerintah ketimbang warga miskin itu sendiri.

Padahal kata Midwan penanggung jawab diskusi yang juga anggota Green Press, bahwa titik letak kemiskinan dan ukuran kriteria kemiskinan sedapatnya mendengarkan pendapat para kaum miskin itu sendiri. "Saatnya diubah model diskusi, tidak hanya melulu mengundang orang-orang yang justeru tidak merasakan kemiskinan dan hanya tau merusmukan di atas kertas,"katanya.***

176 Tahun Kota Kendari Hingga Kini

By Line: Yoshasrul

Kota kendari dalam berbagai dimensi dapat dikatakan sudah cukup tua. Semua sejarah itu didasari atas fakta pengakuan lisan maupun dokumentasi. Dan seperti tertulis tentang kendari diperoleh dari Vosmaer (1839) yang pernah mendatangi Kendari pada tanggal 9 Mei 1831. Dalam rentang tersebut Kota kendari pun sudah berusia 176, tepat hari ini.

Terbentuknya Kota Kendari yang berpenduduk asli suku Tolaki ini sebelumnya diawali dengan terbukanya teluk yang kemudian menjadi pelabuhan bagi pedagang bajo dan bugis. Terakhir dua etnis ini bermukim disekitar teluk kendari.

Pada awal abad ke-19 hingga pada kunjungan seorang Belanda bernama Vosmaer di tahun 1831, kendari sudah menjadi tempat penimbunan barang (pelabuhan transit) hasil bumi pedalaman dans ekitar teluk Tolo (Sulawesi tengah). Komoditi ini kemudian dikirim ke Makassar, kawasan barat nusantara hingga ke singapura.

Saat datang 176 silam Vosmaer kemudian membuat peta teluk kendari yang yang kemudian dikenal dengan Vosmaer’s Baai. Ia lalu mendirikan Lodge (Loji=kantor dagang) di sisi utara teluk kendari. Satu tahun kemudian Vosmaer mendirikan rumah bagi raja Laiwoi yang bernama Tebau yang sbeelumnya bermukim di wilayah Baruga. Dari runtutan sejarah tersebut terungkap Kota kendari memang telah ada sejak awal abad 19. dan secara resmi menjadi ibukotra kerajaan Laiwoi di eksitar teluk tahun 1832.

Kota kendari di masa Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan ibu kota kewedanan dan pusat onder afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya mencapai 31.420 kilo meter persegi. Sejalan dengan perkembangan dan dinamika ekonomi sebagai sentar perdagangan dan pelabuhan laut antarpulau makakendari terus tumbuh hingga menjadi ibukota kabupaten dan masuk dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan Tenggara.

Dengan terbitnya UU Nomor 13 tahun 1964 tentang pembentukan Sultra, maka Kota Kendari menjadi ibukota provinsi dengan dua kecamatan yakni Mandonga dan Kendari dengan cakupan luas wilayah 76.760 kilo meter persegi. Melalui perjuangan panjang untuk merubah status wilayah , maka UU nomor 6 tahun 1995 tanggal 3 agustus, status kota adminstratif (Kotif) berumah menjadi kota madya dan diremikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ketika ituYogi S Memet pada tanggal 27 september 1995.

Dengan status kota madya, sampai kini kendari tercatat telah dipimpin lima periode empat pejabat yakni Lasjkar Koedoes (Pj Walikota 1995-1996), Masyhur Masie Abunawas (1996-2001), Andi Kaharuddin (Pj Walikota 2002) Masyhur Masie Abunawas – Andi Musakiir Mustafa (2002-2007). Dan kini Ir Asrun M.Eng – Musadar Mappasomba SP, MP dipilih oleh rakyat Kota Kendari memegang kendali pemerintahan hingga 2012 mendatang.

Dengan geliat pembangunan yang kian merangkak pesat kota kendari kini mempunyai 10 kecamatan dan 64 kelurahan dengan jumlah penduduk tahun 2007 mencapai 222.999 jiwa (112.543 laki-laki dan 110.1412 perempuan) Untuk mengimbangi laju pembangunan ke depan pemerintah mengembangkan visi "Mewujudkan Kota kendari 2020 sebagai kota dalam taman yang berttakwa, maju demokratis mandiri dan sejahtera"