Monday, January 19, 2009

Kelola Hutan Ala Masyarakat Konawe Selatan

By Line: Yoshasrul

Peluh membasahi seluruh tubuh Nasir (41 tahun), Minggu pagi. Lekuk tubuh kekar nampak jelas terbalut baju kaos oblong yang dipenuh keringat. Sesekali Ia merapikan topi butut di kepalanya yang nyaris jatuh.
Pagi itu, pria berkumis ini nampak serius membersihkan rumput yang sudah mulai menutup tanaman kayu jati miliknya. Jati-jati setinggi satu meter ini ditanam berderet dengan jarak setengah meter. Setidaknya sudah ada sekitar 200 anak jati yang tumbuh di kebun ini. Tanam ini dipersipkan Nasir, sebagai tanaman pengganti setelah jati besar lainnya mulai dipanen.
Di kebun seluas kurang lebih satu hektar itulah hari-hari Nasir dihabiskan. Kebun yang seluruhnya ditanami jati ini hanya terletak 30 meter dari rumah Nasir.
Kegiatan membersihkan kebun jati ini dilakoni Nasir setiap akhir pekan. "Di luar hari Minggu, saya manfaatkan untuk merawat tanaman palawija seperti jagung, ubi dan tanaman jangka pendek lainnya,"kata Nasir saat ditemui di kebun jati miliknya di Desa Aoreo Kecamatan Lainea,
Kabupaten Konawe Selatan.
Nasir memang begitu perhatian besar pada pohon-pohon jati tersebut. Pohon jati tersebut warisan orang tuanya, La Ido, yang telah meninggal dunia sejak 12 tahun silam.
Memberi perhatian besar pada jati tentu ada sebabnya. Harga jati yang mencapai 3 juta rupiah per kubik menjadi alasan utama Nasir. Jaminan harga setinggi ini diberikan Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), sebuah lembaga koperasi yang mengkhusus pada pembelian kayu legal milik masyarakat. Namun harga itu hanya berlaku bagi anggota koperasi saja.
Nasir sendiri ikut terdaftar dalam KHJL. "Jaminan harga setinggi ini tak pernah kami dapat sebelumnya,"katanya.

KHJL sendiri merupakan organisasi rakyat berbadan hukum. Awalnya beranggotakan 196 petani jati di 12 desa di Kabupaten Konawe Selatan. Seiring proses waktu anggota KHJL pun bertambah dan kini jumlahnya sebanyak 274 anggota dengan jumlah desa tetap 12 desa dengan luas areal kebun jati yang diinisasi koperasi kurang lebih 219 hektar Tak hanya itu saat ini tengah diinisiasi calon anggota baru koperasi sebanyak 8354 KK. Anggota baru ini rencananya akan mengelola kayu di hutan negara yang telah dicadangkan sebagai lokasi social forestry oleh Departemen Kehutanan.

KHJL sendiri telah memperoleh sertifikasi Smart Woods dari FSC (Forest Stewardship Council). Memperoleh sertifikat dunia tentu tidaklah mudah. Harus melalui proses panjang untuk membuktikannya. KHJL membutuhkan dua tahun bekerja hingga memperoleh sertifikat ekolabel kayu dunia.

Jauh sebelum koperasi terbentuk, Nasir sempat menjual jatinya kepada pengusaha lokal dengan harga sangat murah dihargai Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per kubik. Bahkan beberapa kali dia sempat menjual perbatang yang harganya Rp 10.000 perbatang.
Diungkapkan Nasir, banyak hal positif Ia bergabung dalam wadah koperasi. Selain soal harga, kini Nasir juga tahu tentang mekanisme pasar berikut informasi perkembangan harga jati dunia. "Ini sangat positif bagi kami karena selama ini kami hanya tau harga kayu jati dari pembeli kayu maupun bisikan orang-orang,"kata Nasir.
Hal positif yang lain adalah Nasir mendapat pengetahuan baru tentang sistem pengelolaan jati secara legal atau resmi dan lestari. "Koperasi memberi persyaratan ketat bagi saiapa saja yang mau bergabung. Diantaranya koperasi mewajibkan kami untuk menanam kembali tanaman dengan prinsip yang diterapkan tebang satu tanam sepuluh,"kata Nasir sambil tersenyum.
Demikian pula pengetahuan tentang penggunaan Global Possioning System (GPS) "Selama ini, saya asal menebang saja. Tapi setelah bergabung dengan koperasi saya menjadi tahu sistem menebang yang baik,"kata Nasir.
Dengan sertifikasi tersebut, kayu jati daerah daerah ini mencapai 3 juta rupiah per m3. Jauh sebelumnya harga kayu jati tidak lebih dari 1 juta rupiah, bahkan harga kayu di pasar ‘gelap’ Rp 300 ribu per kubik. Sebagai percobaan, beberapa kontainer telah dikirimkan ke perusahaan-perusahaan di Surabaya.
Kesepakatan mengawal pengelolaan skema hutan rakyat menjadi ruang apresiasi bagi para pihak di Sulawesi Tenggara. Bahkan kesepakatan bulat agar lembaga yang selama ini konsen mendorong skema hutan rakyat seperti Koperasi Hutan Jaya Lestari dipertahankan menjadi lembaga yang mengelola kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Konawe Selatan.
Penunjukan KHJL selaku pengelola KPHP di Konawe selatan didasari dengan kelengkjapan administarsi dan pengalaman para anggotanya mengelola bisnis kayu di tanah masyarakat selama ini.
" KHJL telah membuktikan kepada masyarakat Sultra jika mereka telah siap melakukan pengelolaan hutan lestari di tanah negara,"kata Suhendro, dari Komisi Daerah Social Forestry, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Potensi sumber daya manusia yang mengelola KHJL tentu saja menjadi jaminan yang mau tidak mau telah dibekali segudang pengetahuan tentang tata cara pengelolaan hutan yang lestari . Terlebih pula KHJL telah memberikan andil yang cukup besar dalam upaya memperkenalkan sistem pengelolaan hutan yang lestari dan melibatkan masyarakat lokal.
Sementara itu Ketua KHJL Haris Tamburaka mengaku siap jika lembaganya ditunjuk sebagai pengelola KPHP. "soal kesiapan saya kira kami sangat siap. Dan jika ditunjuk maka kami akan menjalankan semua tata cara pengelolaan sesuai aturan yang berlaku,"kata Haris Tamburaka.
Pihak Komisi Daerah Social Forestry Konawe Selatan sendiri telah mendorong secara aktif lahirnya rekomendasi Gubernur yang menunjuk KHJL sebagai pengelola KPHP. Beberapa persiapan telah dilakukan khususnya berkaitan dokumen-dokumen menjadi persyaratan keluarnya ijin kelola Areal Kelola Social Forestry dari Menteri Kehutanan.

Keberhasilan masyarakat yang tergabung dalam KHJL mengelola hutan jati membuat banyak kelompok penggiat kehutanan berbasis masyarakat terinspirasi melakukan kunjungan dalam rangka studi banding atau share learning bersama masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara. Lembaga yang melakukan kunjungan baik dari mitra Multistakholeder Forestry Programme (MFP), sebuah program kolaborasi antara Departemen Kehutanan dan Departement for International Development (DFID) maupun lembaga lain di Indonesia.
Yang jelas inisitif membangun kolaborasi menuju hutan berbasis masyarakat telah membangun sinergi baru demi menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera di dan tetap menjaga hutan yang lestari khusus di konawe selatan.

No comments: