Wednesday, January 14, 2009

Cerita Pilu dari TNRAW (2)

By Line: Yos Hasrul
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan daerah tangkapan air bagi daerah aliran sungai yang ada di sekitarnya. Setidaknya ada 15 sungai yang sangat tergantung pada kawasan ini. Sungai Konaweha, merupakan sungai utama bagi irigasi untuk ± 35.000 hektar sawah di Kabupaten Kendari yang menjadi pemasok utama beras bagi sekitar 1.349.616 jiwa (tahun 1990) penduduk di Sulawesi Tenggara.
Di bagian selatan kawasan, sungai Tembekuku, sungai Roraya dan sungai Watumokala merupakan sungai-sungai yang memegang peranan penting bagi sumber air minum dan pendukung untuk mengairi pengelolaan sawah di luar kawasan TNRAW yang terletak di Kabupaten Kendari. Sedangkan Sungai Lanowulu, Sungai Langkowala, sungai Poleang dan sungai Totulo juga merupakan sumber kehidupan utama untuk masyarakat di Kabupaten Kolaka bagian selatan.
Di dalam dan sekitar kawasan merupakan tempat berdiamnya suku-suku asli Sulawesi Tenggara dengan sejarahnya masing-masing. Suku asli terdiri atas suku Moronene dan suku Tolaki. Selain itu, ada beragam suku-suku lain yang berdatangan dan bermukim di desa-desa sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Suku-suku pendatang ini selain berasal dari dalam wilayah Sulawesi Tenggara (Muna dan Buton), juga berasal dari daerah lain dari hampir seluruh Indonesia, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Dibeberapa tempat masih tetap dikembangkan budaya-budaya setempat yang sudah menjadi ciri khas yang masyarakat sekitar yang telah dilaksanakan semenjak jaman dahulu, seperti Tanduale, di Hukaeya dan Laea yaitu sebuah upacara adat yang dilakukan pada saat penerimaan tamu yang datang ke kampung.
Masyarakat yang menggantungkan hidup dalam kawan TNRAW sebetulnya memiliki kearifan local untuk mengelola sumber daya alam di kawasan itu. Sebutlah seperti masyarakat di sekitar kawasan mangrove sepanjang muara sungai Lanowulu sejak jaman dahulu telah menetapkan beberapa aturan adat.
Mereka tidak memperbolehkan siapapun menebang mangrove yang ada dalam kawasan tersebut dan tidak boleh ada penambahan Togo (alat penangkap udang) disekitar muara sungai tersebut. Pelarangan ini perlu dilakukan, karena bagi mereka, mangrove yang lestari adalah syarat mutlak bagi tersedianya sumber kehidupan mereka.
Penambahan Togo juga tidak diperbolehkan karena mereka sadar bahwa dengan semakin banyaknya togo maka pendapatan mereka akan semakin menurun, dan bila menurun maka tekanan terhadap sumber daya alam akan semakin besar.
Sedang di Desa Aopa, masyarakat membatasi jumlah tangkapan mereka dari Rawa dengan maksud menjaga agar ikan tidak habis tetapi masih tersisa untuk hari esok. Masyarakat di desa ini juga mengkeramatkan Gunung Tiga Cabang dari segala macam gangguan, yang bila dipahami lebih dalam ini adalah cara mereka menjaga daerah tangkapan air bagi kawasan rawa Aopa.
Namun seiring perjalanan waktu kearifan masyarakat tersebut perlahan mulai tergerus oleh kekuatan ekonomi baru. Kaum pemodal dengan leluasa merebut hati warga lokal dan memanjakan mereka dengan uang. Tanah dibeli dengan luasan berpuluh hingga ratusan hektar. Menjadikan banyak warga menjadi buruh di tanah mereka sendiri seperti menjadi buruh tambak. Konversi lahan pesisir yang sebagian besar mencakup kawasan TNRAW seolah menutup mata para pengambil kebijakan. Sejauh mata memandang tambak berukuran luas telah terbuka lebar hingga tak terlihat lagi ujungnya.
"Kepemilikan lahan ini berasal dari berbagai lapisan pemilik modal besar,"kata Madamang, seorang warga di pesisir tinanggea. Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak kunjung tegas terhadap pengkapligan lahan di pesisit TNRAW. "Mereka yang telah mengkoversi lahan di TNRAW seharusnya ditindak tegas. Tetapi faktanya pemerintah hanya melihat saja,"tambah Madamang.
Melihat kondisi TNRAW saat ini, tentulah nasib TNRAW ke depan akan semakin tergerus, jika saja tidak ada langkah kongkrit dari pengambil kebijakan di daerah ini. Butuh kominten semua pihak untuk mengembalikan kondisi TNRAW seperti sediakala, seperti kondisi 15 tahun silam. ***

No comments: