Tuesday, August 7, 2007

Hutan dan Rakyat

Kondisi kerusakan sumber daya hutan saat ini sangat memprihatinkan sehingga menjadi kerisauan berbagai kalangan baik dalam negeri maupun internasional. Mengingat besarnya manfaat hutan tropis Indonesia serta dampaknya yang ditimbulkannya maka upaya konservasi dan rehabilitasi hutan menjadi tumpuan harapan agar sumber daya hutan dapat memberikan manfaat di masa yang akan datang.

Selama kurun waktu 12 tahun (1985-1997) wilayah sulawesi telah kehilangan luasan hutan sebesar 3.242.050 Ha atau rata-rata 270.171 ha per tahun. Sesuai data Forest Watch Indonesia (FWI) dan GFW tahun 2001, luas hutan sulawesi Tahun 1985 sebesar 11.192.950 ha, menurun menjadi 7.950.900 ha pada 1997.

Data Susesnas Tahun 2002, menunjukkan sekitar 20 persen jumlah penduduk sulawesi berada di bawah garis kemiskinan. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka rata-rata nasional yang besarannya sekitar 18 persen. Pada Tahun 2003 secara nasional menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga miskin di desa-desa yang terletak di dalam dan tepi hutan lebih tinggi bila dibandingkan dengan desa-desa di luar hutan yaitu masing-masing, 50,14 persen dan 40,05 persen. Begitu pula di wilayah sulawesi, persentase rumah tangga miskin perdesa yang letaknya di dalam dan sekitar kawasan hutan mencapai 46,29 persen. Sementara di luar kawasan sebesar 39,40 persen.

Meski presentase jumlah rumah tangga miskin di dalam dan tepi hutan lebih tinggi, namun selama ini kurang mendapat perhatian dan penanganan yang memadai. Hal ini dimungkinkan selain ketidaktersediaan data, pemerintah juga menghadapi ksulitan karena lokasi yang terpencil, minimnya infrastruktur serta terbatasnya akses informasi pasar.

Tingginya tingkat kerusakan hutan terutama yang disebabkan praktek ilegal logging serta pengabaian keterlibatan masyarakat sekitar pengelolaan hutan menjadi konsentrasi program donor dunia seperti DFID di wilayah sulawesi.

Melalui program Multipihak Forestry Programme (MFP) bersama Departemen Kehutanan, DFID mengawal Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Melihat tingginya angka kerusakan hutan dari tahun ke tahun itu, patutlah menjadi kekhawatiran dari para penggiat lingkungan. Tak heran banyak pihak terutama dari kalangan LSM terus mengkampanyekan agar pemerintah segera menindak tegas pelaku perusakan hutan dan segera menata PSDH secara lestari dan berbasis masyarakat. Ironisnya, tingginya tingkat kerusakan hutan yang disebabkan praktek ilegal logging berujung pada pengabaian keterlibatan masyarakat sekitar pengelolaan hutan. Dan menyebabkan laju tingkat kemiskinan terus meningkat.

Melihat permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan memang sangat kompleks. Salah satu factor kurang berhasilnya pengelolaan hutan lestari di Indonedia adalah kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ni disebabkan karena financial , tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat minim. Di tambah lagi masih banyaknya produk kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, hingga membuka ruang yang cukup leluasa untuk para cukong/ pemodal dalam melegalkan aktifitas ilegalnya.

Di tengah keprihatinan ini, beberapa kelompok masyarakat di sulawesi mulai berhimpun da bangkit untuk mengambil peran dalam pengelolaan hutan meski dengan kemampuan dan luasan garapan yang sangat terbatas, masyatakat konawe selatan misalnya, dengan kelembagaan dan aturan yang cukup sederhana, melalui wadah koperasi berhasil menciptakan sebuah sistem pengelolaan hutan lestari dengan standar sertifikasi ekolabel FSC (forest stewardship council) seperti yang diperoleh Koperasi Hutan Jaya Lestari di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak antara lain jaringan untuk hutan (JAUH) sultra, konsorsium LSM yan berkosentrasi dalam pemberdayaan masyarakat dan pelestarian hutan. Hutan di Indonesia mempunyai berbagai macam bentuk pengelolaan baik ditinjau dari aspek produksi mapun aspek legalitas wilayah kelola. Sehingga kita mengenal adanya istilah hutan Negara, hutan adat dan hutan rakyat.

Apabila dalam aspek legal penunjukkan suatu kawasan kita mengenal beberapa istilah di atas, maka dari aspek pemamfaatan dan pengelolaan hutan, kita mengenal berbagai istilah seperti tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), tebang jalur tanam indonesia, hak pengusahaan hutan (HPH), hutan kemasyarakatan, agroforestry hingga community logging. Dari beberapa istilah di atas community logging bisa dikatakan sebagai sebauh kosa kata baru dalama pemamfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.

Munculnya model community logging pada prinsipnya di dasari oleh potensi dan keadaan kawasa hutan yang secara terus menerus mengalami penurunan kualitas serta mengalami kerusakan yang cukup parah. Kondisi ini diawali sejak pihak swasta padat modal awal 70-an diberi kesempatan utama oleh emerintah dalam konteks pemamfaatan dan pengelolaan hutan. Terjadi eksploitasi hutan yang berlebihan, penebangan ilegal, konversi hutan, serta konflik yang berkepanjangan atas kepemilikan dan pemafaatan hutan hutan merupakan bagian realita yang kita hadapi. Di satu sisi masyarakat di dalam dan sekitar hutan jarang sekali mendapat manfaat dan diberikan ruang mengelola sumber daya hutan, walaupun kehidupan mereka selalu bersinggungan langsung dengan hutan yang ada di wilayah mereka.

Community mengacu pada pengertian komunitas, sedangkan logging bisa diartikan sebuah aktifitas pemafaatan hasil hutan berupa kayu yang dilakukan komunitas berdasarkan nilai dan norma yang berlaku pada komunitas tersebut serta tetap menjaga kelestarianm hutan dan keberlanjutan pengelolaannya. Sedangkan konteks kelembagaan yang melaksanakan dengan mempertimbangkan kepentingan sekumpulan orang yang bernaung di dalam sebuah komunitas, maka koperasi dapat digunakan sebagai basis dalam mengelola maupun pengontrol manajemen keuangan.

Community logging yang dilontarkan oleh berbagai pihak sebenarnya bertujuan unuk memberikan sebuah alternatif dalam model pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia yang lestari dan berkelanjutan, dan benar-benar memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kita juga harus paham bahwa pendekatan model ini prinsipnya hanya sebagai sebuah tujuan antara saja. Yang pada akhinrnya ingin mencapai sebuah model community forestry yang dikelola secara lestari dan berkelanjutan dan berbasis peran serta masyarakat. Dapatkan community logging menjadi solusi alternatif dalam pengelolaan hutan lestari d Indonesia? Fakta informasi dan opini bisa menjadi solusi pada kelayakan dari community logging sebagai alternatif dalam model pengelolaan hutan lestari di indonesia.

Lembaga masyarakat yang diberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari yang didirikan pada tanggal 4 maret 2004 dalam menjalankan aktifitasnya lebih mengedepankan beberapa aspek yang selama ini menjadi permasalahan di berbagai daerah di indonesia antara lain;

Penanggulangan Pembalakan Liar.

Aktifitas pembalakan liar adalah masalah sangat umum terjadi di Indonesia , ditambah lagi cara penanggulangannya yang sring kurang bijak, hal ini menjadi tanggung jawab moral bagi segenap anggota koperasi untuk merumuskan selusi penanggulangannya, beberapa hal yang telah dilakukan adalah; Sosialisasi secara berkala pada 46 desa etantang dampak dari penebanganyang tidak terkontrol, merekrut dan melatih opertor cainshaw yangterlibat pembalakan liar menjadi tenaga tebang tetap pada KHJL, merekrut dan melatih buruh pikul yang terlibat pembalakan liar untuk menjadi tenaga tetap KHJL serta menciptakan lapangan kerja baru.

Aspek Sosial

Koperasi merupakan bentuk kelembagaan yang dianggap sangat tepat untuk berhimpun, karena masyarakat konawe selatan terdiri dari berbagai komunitas yang berbeda, dengan beberapa aturan yang telah disepakati bersama tercipta sistem hubungan antara komunitas yang harmonis, sehingga melalui koperasi ini pula diharapkan dapat merdam isu konflik antar komunitas. Selain itu koperasi ini menjadi jembatan dengan para pihak untuk menjalin komunikasi tentang bebagai kepentingan, tentunya dengan posisi tawar yang berpihak pada masyarakat secara umum.

Aspek Ekonomi

Peningkatan ekonomi anggita menjadi tujuan penting dalam setiap berkoperasi. Untuk tujuan tersebut KHJL telah melakukan beberapa langkah strategis antara lain; meningkatkan kualitas hasil produksi hingga dapat diterimaoleh pasar domestik maupun internasional, mensertifikasi kelembgaan maupun produk yang dihasilkan sebagai bentuk pengakuan terhadap sistem pengelolaan hutan yang lestari. Transtaparan dalam mendistribusikan SHU (sisa hasil usaha) pada setiap tahun buku. Pemberian bibit secara gratis sebagai bentuk kepedulian dalam pengkaayaan vegetasi. Melalui langkah tersebut khjl telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan ekonomi anggota, terutama peningkatan harga jual kayu jati, yang semula hanya berharga Rp 500.000/m3 eningkat menjadi 5.300.000,-/m3, ditambah lagi adanya SHU yang dibagikan setiap akhir tahun buku.

Melihat kenyataan ini, makin banyak masyarakat yang mendaftarkan potensi kayu jati miliknya ke koperasi hutan jaya lestari yang selama ini hanya dijadikan jaminan pasokan bahan bakuindustri lain, namun tidak pernah dibeli oleh industri kayu yang ada di konawe selatan mendapatkan bahan baku hasil curian dari HTI swakelola milik negara.

Aspek Ekologi

Hal ini menjadi sebuah tuntutan mutlak dalam sistem pengelolaan hutan. Bagi anggota KHJL menjaga keseimbangan ekologi merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan, bberaa komitmen yang disepakati dan dilaksanakan adalah masyarakat atau anggita dalam memanen hasil hutannya harus berdasarkan hasil verifikasi kelayakan panen yang ditetapkan dalam jatah tebangan. Setiap pohon yang dipanen harus digantikan dengan tanaman baru, minimal sepuluh pohon yang sejenis dengan yang telah di tebang dan bibitnya dapat diperoleh dari koperasi hutan jaya lestari secara gratis. Bersedia menjaga mata air yang ada disekitar lahan miliknya, dengan cara tidak menebang pohon yang ada diseskitarnya. Bersedia untuk tidak mengadakan perburuan hewan liar yang dilindungi. Anggota tidak diperkenankan menggunakan pertsida dan hesbisida kimia atau sejenisnya yang dikhawatirkan dapat mencemari aliran sungai atau mata air disekitarnya.

Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan perempuan merupakan isu yang cukup menonjol dalam setiap pembicaraan, baik lokal maupun nasional. Koperasi huan jaya lestari menganggap perempuan sebagai salah satu sumber daya yang harus terakomodir dalam setiap kegiatannya. Beberapa hal penting yang telah dilakukan oelh kelompok perempuan anggota koparasi adalah; kebun benih desa (KBD) perempuan yang memproduksi bibit jati yang tersebar di enam desa. Kelompok perempuan pembuat tungku bakar sebanyak satu kelompok, kelompok perempuan pembuat terasi udang ada dua kelompok dan kelompok perempuan penanam sayuran organik ada 35 kelompok.

Dari beberapa kegiatan penting yang telah dilakukan KHJL pada 20 Mei 2005 KHJL berhasil memperoleh sertifikasi ekolabel FSC dan telah dievaluasi oleh smart wood pada tanggal 13-15 Juni 2006. keberhasilan ini hendaknya dapat direflikasi ke daerah lain, meski ada beberapa pihak yang berusaha menghambat karena mereasa tak nyaman dalam melaksanakan aktifirtas ilegalnya. Oleh karena itu sangat diharapkan dukungan dari berbagai pihak demi terwujudnya sistem pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat.

Inisiasi Kehutanan dan Kemiskinan Melalui Saluran Informasi

Isu kehutanan dan kemiskinan kini menjadi bagian dari isu global. Tak heran jika saat ini banyak penggiat lingkungan dunia tengah menfokuskan pekerjaan mereka pada dua isu tersebut. Persoalan kehutanan dunia sangat bertalian erat dengan masalah kemiskinan saat ini. Peran semua pihak (LSM, pemerintah dll) untuk mendorong dua isu ini menjadi begitu sangat stategis dalam membangun sinergisitas kerja di lapangan, tak terkecuali kalangan pers.

Liputan media masa membentuk constituency, menunjukkan prestasi program dan dapat memberikan solusi yang memungkinkan akan isu-isu kehutanan yang kini muncul dari upaya-upaya yang dilakukan banyak penggiat lingkungan khususnya kehutanan.

Melalui media massa, para wartawan dapat menggerakkan saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan penting para mitra MFP tentang reformasi kebijakan kehutanan dalam format yang mudah diakses dan memiliki jangkauan luas.

Media massa memberikan peluang yang amat besar bagi masyarakat penggiat kehutanan untuk menampilkan contoh dasar dari pengelolaan hutan alternatif, proses pengembangan bersama pemerintah daerah dan masyarakat atau skema hutan-tani yang tidak konvensional.

Media masa menjangkau pemirsa yang luas dalam format yang sangat persuasif dan berpengaruh. Namun masih belum ada banyak wartawan yang benar-benar memahami isu-isu lingkungan, khususnya mengenai penebangan hutan ilegal, hak tanah adat maupun kehutanan sosial.

Bagi para jurnalis di Indonesia topik-topik tersebut merupakan hal yang baru, yang pernah dibiarkan saja karena dapat mengganggu status quo. Longgarnya sensor bagi wartawan saat ini telah mendorong mereka untuk menyelidiki isu-isu tersebut.

Kurangnya pengetahuan mengurangi keefektifan penyelidikan tersebut, dan menghasilkan laporan yang dangkal dan tidak memadai akan isu-isu kehutanan penting yang mempengaruhi ekonomi dan lingkungan negara ini Di lain pihak, para reporter mengeluh bahwa agenda LSM tidak jelas atau tidak memiliki "spin" yang dibutuhkan oleh sebuah berita.

Indonesia memiliki sejarah liputan berita yang dikendalikan, sehingga tidak mengherankan bila LSM baik lokal maupun nasional tidak terbiasa dengan metode-metode untuk berkomunikasi dengan reporter.

Siaran pers (press release) yang dikirim oleh LSM seringkali disiapkan oleh staf yang tidak berpengalaman dengan teknik komunikasi atau dokumentasi yang tidak memadai. Tambahan lagi, para wartawan khawatir bahwa beberapa LSM terlalu konfrontasional; terlalu "panas" untuk didukung. Isu lainnya yang menyebabkan para wartawan segan untuk meliput berita-berita baru adalah kurangnya data pendukung dan dokumentasi yang dapat secara obyektif mendukung pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh LSM.

Oleh karena itu organisasi yang berupaya mencapai kebijakan dan praktek kehutanan yang lebih baik harus proaktif dengan media massa. Organisasi tersebut harus paham komunikasi agar dapat memberikan informasi kepada wartawan yang dapat menarik minat mereka akan isu-isu yang ada sambil memperdalam pengetahuan mereka akan pesan penting yang ingin disampaikan oleh masyarakat.

Untuk membantu masyarakat dan para mitra lingkungan dalam mengembangkan strategi komunikasi media dan berhubungan dengan media massa secara efektif, Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) telah mempersiapkan pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan kepercayaan diri para jurnalis yang konsen pada isu lingkungan dalam menggunakan teknik komunikasi yang bertujuan mengkomunikasikan pesan reformasi kebijakan kehutanan melalui lingkup media massa.

Mengembangkan RIC Virus Kerja untuk Sulawesi

Kondisi lingkungan yang rusak telah mengancam keberlanjutan ekologi dan kehidupan manusia. Kondisi tersebut menurut sejumlah kalangan salah satunya disebabkan karena lemahnya politicalwill pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, tak terkecuali di Sulawesi terutama pasca otonomi daerah karena pemda cenderung mengejar peningkatan pendapatan daerah (PAD) tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Hal tersebut membuat sejumlah kalangan baik NGO, Perguruan Tinggi, Pers ( jaringan jurnalis lingkungan) dan pemerintah serta kelompok masyarakat di Sulawesi mulai mengembangkan inisiatif di berbagai site di Sulawesi.

Misalnya Lepmil Kendari menginisiasi resolusi konflik di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Murhum, Jaringan untuk Hutan (JAuH) dan KOMDA SF Sultra melakukan pendampingan pada pengelolaan HPH berbasis Masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan yang telah mendapatkan pengakuan sertifikat ekolabel SmartWood Internasional, Dishut Bulukumba melakakukan proses fasilitasi dalam mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat (HKM), Jaringan Kampung (Jarkam) Sulut menginisiasi Forum Das Tondano berbasis masyarakat yang berdomisili disekitar Das Tondano, (Simpul Pengelolaan Sumber Daya Alam Sulawesi) PULSA Celebes mendorong proses share learning jaringan sulawesi dalam upaya mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera.

Selain khusus di komunitas jurnalis lingkungan di beberapa provinsi di Sulawesi telah juga muncul berbagai inisiatif berupa peningkatan kapasitas jurnalis lingkungan dan giat melakukan kerja-kerja advokasi komunikasi lingkungan dan PSDA seperti yang dilakukan Jurnal Celebes (Jaringan Advokasi Jurnalis Lingkungan) Sulawesi Selatan, Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) Sulawesi Tenggara dan 02 Plus Sulawesi Utara.

Setelah melalui berbagai pertemuan oleh berbagai pihak di Sulawesi mulai muncul kesadaran bersama akan kebutuhan media informasi yang diharapkan bisa menjadi simpul (protokol) informasi yang memuat berbagai isu dan poin-poin pembelajaran PSDA dan pelestarian lingkungan Sulawesi sehingga muncul inisiatif untuk mendesign sistem pengembangan informasi, komunikasi dan dokumentasi sebagai proses belajar bersama bagi para pihak yang berkepentingan dalam isu lingkungan, PSDA dan kemiskinan.

Proses itu dimulai sejak tahun 2003 secara swadaya oleh jaringan jurnalis lingkungan Sulawesi (Jurnal Celebes dan Green Press). Share learning tersebut membawa dampak terhadap terbangunnya komunikasi para pihak di Sulawesi dalam program pengelolaan hutan dan masyarakat miskin yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya RIC (Regional Information Center) Sulawesi yang berpusat di JURnal Celebes melalui media on line berupa portal http://www.jurnalcelebes.com, milis dan majalah Cagar.

Adapun inisiatif yang berkembang dalam mendukung kerja-kerja ditempu melakukan berbagai pelatihan yang mengarah pada penguatan kapasitas jurnalis dan NGO seperti pelatihan infokom yang diselenggarakan JURnal Celebes kerjasama dengan DFID, Lokalatih Pengembangan Kapasitas Lingkungan untuk kelompok Jurnalis diselenggarakan Green Press bekerjasama Kementerian Lingkungan Hidup, Lokalatih Jurnalis Lingkungan dan PSDA se-Sulawesi kerjasama Green Press dengan DFID serta pelatihan basisdata lingkungan se-Sulawesi diselenggarakan Fasda MFP-DFID Sulawesi. Selain pengelola RIC juga selama ini giat melakukan kerja-kerja advokasi komunikasi PSDA dan lingkungan hidup.

Kerja-kerja RIC dilakukan oleh para jurnalis yang dipercaya sebagai fasilitator infokom yang tersebar diseluruh provinsi di Sulawesi, para jurnalis tersebut bertugas mengumpulkan (hunting) data, mengelolanya menjadi informasi yang siap dipublikasikan di media masing-masing serta didistribusikan di RIC http://www.jurnalcelebes.com. Selain itu kerja RIC juga didukung oleh Fasilitator Monetoring Evaluasai yang berasal dari kalangan NGO. Adanya supporting dari Departement For International Development (DFID) Inggris bekerjasama Departemen Kehutanan, melalui program “Multistakeholder Forestry Programme” (MFP) baik melalui bantuan supporting finansial dan serangkaian berbagai pelatihan peningkatan kapasistas kian memperkuat kerja-kerja RIC Sulawesi.

Dalam perkembangan berikut RIC Sulawesi mengalami perubahan baik dari segi isu yang dikemas maupun dari segi isi. Isu yang diangkat tak hanya menyangkut isu kehutanan semata tetapi diperlebar dalam isu lingkungan hidup dan PSDA serta tidak hanya memuat berita tetapi informasi RIC Sulawesi juga diperkuat basisdata lingkungan dan PSDA se-Sulawesi. Selain itu RIC juga saat ini telah memiliki website sendiri http://www.alamsulawesi.info. Perubahan RIC Sulawesi ini berlangsung melalui sebuah pertemuan pengelolah RIC dan YIPD (Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah) sebagai fasilitator basisdata yang dirangkaikan dengan pelatihan basisdata di Hotel Marannu Makassar Mei 2006.

Sulawesi RIC saat ini telah menjadi protokol informasi komukasi lingkungan dan PSDA se-Sulawesi yang mempublikasikan berbagai informasi dan poin pembelajaran mitra dan pihak-pihak lain yang konsen dalam isu lingkungan, PSDA dan kemiskinan serta menjadi pusat basisdata lingkungan di Sulawesi.

Sedangkan output Sulawesi RIC adalah kuatnya jaringan jurnalis lingkungan di masing-masing propinsi di region sulawesi dalam pengembangan simpul informasi lingkungan, PSDA dan kemiskinan di Sulawesi dan adanya system dan mekanisme basisdata di dalam pengembangan simpul informasi lingkungan PSDH dan kemiskinan di Sulawesi, Intesifnya publikasi media dalam pengembangan informasi lingkungan, PSDA dan kemiskinan di Sulawesi serta kuatnya komunikasi antar jurnalis lingkungan dan stakeholders terkait dalam pengembangan informasi lingkungan, PSDA dan kemiskinan di Sulawesi.

Wednesday, August 1, 2007

Selamat Datang