Monday, May 24, 2010

Jejak Otonomi Part 1

Otonomi Kabupaten Buton Utara
Nasib Jalan dan Hutan  'Setali Tiga Uang' 

By Line: Yoshasrul

Harapan menuju kemakmuran rakyat tentu menjadi dambaan setiap pemimpin daerah kabupaten yang baru mekar. Hidup bebas dari keterbelakangan  dan harapan untuk maju seolah berlomba. Pemerintah dan rakyat sedapatnya saling sinergi serta bahu membahu membangun daerah. Paling tidak inilah yang menjadi gambaran asa para tokoh-tokoh pemekaran hampir disetiap daerah di negara ini. Edisi jalan-jalan melalui ekspedisi   Sulawesi Tenggara menjadi titik goresan pena mengeksplorasi wilayah kabupaten di Sultra. Mencoba menelusuri jejak pembangunan terkini. Melihat dan mendalami setiap jejak kehidupan sosial,  lingkungan, budaya hingga kekhasan tradisi masyarakat di setiap kabupaten. 
     
Awal Mei 2010 saya memulai  perjalanan menuju  Kabupaten Buton Utara. Kabupaten yang kurang lebih empat tahun mekar dari kabupaten induk di Muna. Daerah bekas kerajaan  buton ini belumlah semaju daerah lain di Sultra. Bahkan dalam kaca mata pembangunan saya, daerah ini tak ubahnya sebuah daerah kecamatan di Kabupaten Kolaka. 

Kondisi infrastruktur penggerak ekonomi  masyarakat masih jauh dari harapan bahkan boleh dikata masih sangat terbatas. Terlihat dari kondisi infrastruktur seperti jalan raya dalam kondisi memprihatinkan. 'Karpet hitam' atau yang lazim disebut aspal baru terjamah di sebagian ibukota kabupaten yakni di Kulisusu Ereke. Itu pun hanya sebagian wilayah saja dan kondisi aspalnya putus-putus. Informasi yang diperoleh jika aspal dalam ibukota baru dibuat setahun silam. Jika kondisi dalam ibukota seperti itu, maka mudah ditebak  kondisi jalan ke daerah pedesaan pun tak kalah memilukan. Sebagian besar jalan masih berupa jalan tanah peninggalan  masa penjajahan Jepang.

Menjangkau Kabupaten Buton Utara kita bisa memiliki beberapa akternatif transportasi. Menggunakan transportasi laut seperti kapal  dan menggunakan mubil untuk transportasi darat. Mengandalkan transportasi darat relatif  menyusahkan dibanding kapal. Karena itu, sebagain besar warga Buton Utara lebih memilih menggunakan transportasi laut. Selain  karena cepat juga karena alasan kenyamanan.


Kapal yang mampir ke buton utara  adalah kapal yang seharusnya berlayar ke Wanci Kepulauan Wakatobi. Karena berada dijalur yang searah, maka kapal pun mengambil penumpang di Buton Utara. Warga Buton Utara seolah 'dikandang paksa' menggunakan jadwal kapal yang hanya ada tiga kali saja dalam seminggu, yakni pada hari Senin Kamis dan Sabtu.   Memang sungguh disayangkan, tak adanya kapal berpenumpang yang khusus berlayar ke daerah ini. Ada beberapa sarana kapal milik orang lokal, namun kebanyakan digunakan mengangkut hasil bumi, seperti kopra dan rumput laut yang banyak terdapat di daerah ini. Biasanya hasil bumi diangkut untuk dijual ke daerah-daerah terdekat seperti Baubau dan Kota Kendari.

Tak heran pula dengan kondisi ini sejumlah harapan muncul dari warga masyarakat. Mereka berharap agar pemerintah segera mengadakan sarana kapal penumpang khusus yang mengambil rute Buton Utara menuju ibukota Sulawesi Tenggara. "Kami berharap pemerintah kabupaten segera mengadakan sarana kapal yang bisa digunakan menuju Kendari,"kata Akis, warga Ereke. Permintaan ini sangat wajar mengingat pergerakan ekonomi masyarakat menuju kendari cukup besar. Dalam sebulan  diperkirakan ribuan penumpang menuju kendari. Apalagi menjelang hari besar dan liburan pelajar.Belum lagi arus bvarang dan jasa yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah ini.

Sebenarnya, pemerintah kabuoten buton utara sadar betul akan pentingnya moda transportasi rakyat satu ini. Pemerintah Buton Utara telah memutuskan membangun pelabuhan bagi warganya. Sebuah dermaga permanen telah dibangun di Desa Waodeburi, Ereke. Dalam perjalanan menuju  Buton  Utara saya berkesempatan mencoba menggunakan rute laut dan kami tiba di daerah inui sekitar lima jam perjalanan laut yang menggunakan kapal Agil Pratama, sebuah kapal milik pengusaha asal Wakatobi.  Kapal inilah yang selama berpuluh tahun digunakan warga Wakatobi dan Buton Utara menuju daerah Kendari.

Pemerintah kabupaten buton utara telah pula memikirkan sejumlah aternatif mendekatkan rute Kendari - Buton Utara. Ini terungkap dalam balam beberapa kali perbincangan dengan pelaksana Bupati Buton Utara "Saat ini  kami telah membuka jalur anternatif menuju kota kendari yakni menggunakan rute terdekat melalui Kabupaten Konawe Selatan,"kata pelaksana Bupati Buton Utara. 

Sayang  rute menuju Konawe Selatan ini masih terhalang rusaknya jalan. Pelaksana Bupati bahkan sempat berkelakar dengan menantang saya untuk melewati jalan ini. "Kalo berani ayo ikut lewati rute ini, sekalain kita rasakan bagimana rasanya offroad,"katanya tersenyum simpul. Meski tak diajak, sebenarnya  dalam benak saya ingin merasakan tantangan rute satu ini. Sebab dari sejumlah cerita warga yang pernah melewati jalan ini menganggap jika rute Konawe Selatan ini terbilang dekat. Kita membutuhkan waktu dua jam untuk tiba ke Kota Kendari.

Saat itu kami menggunakan empat mobil milik pemda. Jenis mobil yang kami gunakan pun terbilang cukup tangguh Toyota Hilin. Mobil  biasa digunakan para pengusaha yang bergerak dipertambangan. Ya, mobil yang khusus melewati rute cukup berat. Jarak jalan yang akan ditempuh kurang lebih tiga ratus kilometer. Sebagain besar jalan ini masih dalam kondisi pengerasan, itu pun seluruhnya telah rusak berat dan berlumpur akibat hujan lebat. Beberapa kali kami bertemu antrian mobil-mobil yang tidak bisa bergerak sama sekali akibat ban tertanam di lumpur. Begitu pula menemukan mobil truk yang nyaris terguling karena tidak kuasa dipendakian, akibat licinnya jalan.

Sepanjang jalan, terdengar keluhan dari sejumlah rekan wartawan (yang kebetulan ikut rombongan, Red) terdengar lirih mengeluhkan kondisi jalan yang berlubang dan terkadang membenturkan kepala ke jendela atau ke atap mobil. Kami baru menemukan kondisi jalan yang sedikit baik  saat melewati perkampungan penduduk. Namun jalannya tidak beraspal. Dalam perjalanan tersebut beberapa kali mobil yang kami tumpangi terjebak dalam kubangan lumpur. Padahal mobil ini boleh dikata cukup tangguh, dan memiliki ban yang cukup besar serta dilengkapi dengan  fasilitas penarik mobil.

Saat memasuki daerah Desa Labuan, sebuah pohon raksasa tiba-tiba saja tumbang dan menghalangi jalanan. Akibatnya mobil seluruh rombongan bupati  tak berhasil lewat . Batang kayu yang rebah cukup besar. Ditambah lagi tidak adanya peralatan untuk membersihkan bangkai kayu tersebut melengkapi penderitaan perjalanan kali ini . Sejumlah Pol PP yang mengawal rombongan memberi kabar jika jalanan benar-benar tidak bisa dilewati. Sebagai alternatif rombongan harus memutar menuju Kota Baubau.

Sungguh benar-benar disayangkan. Mimpi merasakan jalan  alternatif tidak kesampaian. Saya hanya bisa  merasakan melewati jalan ini setelah mendengarkan cerita  Bupati Buton Utara. Sang bupati  sendiri mengaku telah tiga kali melewati rute  ini semenjak menjabat bupati. Dari cerita itu saya mengetahui jika rute  Kendari ke Buton Utara dapat ditempuh hanya dalam waktu dua jam saja. Jika memulai perjalanan dari  Buton Utara maka kita harus melewati jalan sekitar seratus kilo meter lebih menuju  Dermaga Labuan. Labuan sendiri adalah dermaga tertua peninggalan Jepang di ereke. Dahulu tentara jepang meggunakan dermaga ini untuk mengangkut peralatan perangnya untuk melakukan ekpansi ke daerah-daerah jajahannya. Dari Labuan kemudian kita menggunakan kapal speed selama kurang lebih dua puluh menit  menuju pelabuhan Desa Amolengu, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan. Selanjutnya, dari dermaga kendaraan angkutan siap mengantar kita melalui rute Kecamatan Moramo menuju Kota Kendari.   

Ada yang menarik perhatian saya selama dalam perjalanan menuju Labuan. Kami melewati  pegunungan yang hutannya masih padat. Ada pun sebagian hutan yang telah gundul akibat praktek perladangan. Diperjalanan, saya menyaksikan banyak kayu yang telah menjadi balok dan papan berada dipinggir jalan. Kelihatan bila kayu-kayu ini menunggu angkutan. Dari kondisi ini saya merasakan denyut praktik ilegal logging begitu marak di daerah ini. Ironisnya kondisi ini sangat minim perhatian dinas kehutanan setempat.

Saya mendatangi Buton Utara untuk ke tiga kalinya. Pertama kali saat menyaksikan daerah ini menuntut pemekaran. Dan kedua saat bersama pelaksana pejabat bupati  Buton Utara kedua Ridwan Zakaria, yang pada  pemilukada April 2010 lalu terpilih menjadi bupati difinitif. 

Suatu ketika, di Medio November 2008 silam, Bupati Ridwan Zakaria, mengajak beberapa wartawan memantau kondisi hutan Buton Utara . Daerah yang dituju adalah Kecamatan Kabowa. Tak sengaja rombongan berpapasan dengan para pencuri kayu. Melihat hal ini Bupati bahkan sempat mengejar para pembalak liar tersebut dan berhasil menangkap tiga pelaku. Saat diinterogasi bupati, para pelaku mengaku hanyalah suruhan dari seorang cukong kayu asal daerah ereke. Bupati kemudian meminta polisi kehutanan segera memproses hukum dan menyita kayu-kayu tersebut.

Masih dalam perjalan itu juga rombongan wartawan lagi-lagi menemukan ratusan kayu gelondongan di pinggir laut. Bahkan kayu yang telah dinomor tersebut sebagian sengaja ditenggelamkan ke laut denan alat pemberat. Penemuan kayu ini tentu menambah daftar parahnya kerusakan hutan di daerah tersebut. Kepolisian Daerah Sultra dalam beberapa tahun belakangan juga kerap menangkap kapal yang tengah mengangkut kayu. Setelah diperiksa kayu-kayu tersebut berasal dari hutan-huta di Buton Utara. Kayu-kayu ini akan dipasarkan ke daerah Sulawesi Selatan.   

Maraknya praktik ilegal logging di daerah itu tentu memiliki korelasi yang kuat dengan rusaknya jalan di Buton Utara. Sebab di jalan tersebut seluruh kayu gelondongan curian diangkut dengan menggunakan truk. Hutan alamnya dirusak sekaligus jalannya. Bisa dibayangkan berapa kerugian yang diterima daerah akibat ulah para pencuri kayu.  Belum lagi sumbangsih yang diakibatkan  dari kerusakan hutan, berupa banjir dan longsor. Tahun 2007 silam, di daerah Desa Laea pernah mendapat luapan banjir besar, hingga merendam rumah-rumah warga sekitar.  Tak heran warga lokal meminta pemerintah untuk segera menindak para pelaku pembalakan liar di daerah ini. "Kami harap pemerintah segera menindak para pelaku,"harap Asdar.

Kondisi serba kekurangan di daerah yang baru mekar ini tentu sangat beralasan. Pasalnya anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat masih jauh dari harapan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum dapat diandalkan pemerintah kabupaten  untuk pembangunan plus pengawasan. Melihat grafik PAD Buton Utara selama dua tahun  belakangan masih berada dikisaran tiga miliiar rupiah . PAD ini dipungut dari sejumlah sektor keuangan seperti pajak dan hasil bumi masyarakat.  Belum tergenjotnya PAD ini juga terkait belum adanya pemimpin bupati yang definitif. Sehingga anggaran masih tergantung pada pemerintah pusat.

Selama mekar pemerintah baru membangun infrastruktur berupa sarana perkantoran pemerintah saja. Ini dilakukan demi kelancaran pelayanan masyarakat. Sejumlah bangunan perkantoran telah berdiri kokoh di sejumlah tempat. Namun areal perkantoran bupati belum terbangun. Sayangnya, beberapa unit kantor dinas yang telah dibangun dibiarkan terlantar bahkan pintunya tampak disegel dengan kayu. Beberapa informasi yang berhasil dikorek menyebutkan jika pembangunan kantor tersebut bermasalah, terutama soal pembebasan lahan. Umumnya masih tanah masyarakat yang belum diganti rugi. Ada dua kantor yang 'bernasib sial' ini yakni kantor dinas pendidikan yang sudah dipenuhi rumput ilalang. Sayang memang, padahal kantor   ini telah dibangun tiga tahun silam.

Sunday, May 23, 2010

Edisi Ekspedisi Sultra

Mulai edisi Mei 2010 di blog ini akan saya akan mencoba mengupas ekspedisi kecil-kecilan mengelilingi sulawesi tenggara  yang ternyata memiliki kekayaan kazanah budaya dan tentu saja ragam probematika era otonomi daerah dan berpengaruh pada kondisi lingkungan di daerah kabupaten. Saya akan  mengupas dalam tulisan panjang serta dilengkapi dengan dokumentasi foto.

Friday, May 14, 2010

TNRAW Terendam Banjir


Sebagian besar kawasan taman nasional rawa aopa terendam banjir akibat tingginya curah hujan di kawasan tersebut.  foto: Lukman 

Wednesday, May 12, 2010

Diduga Ada Mafia Tambang di Kolaka

Komisi I DPRD Siap Lapor KPK dan Satgas Mafia Hukum

Amburadulnya pengelolaan Pertambangan di Kolaka menjadi perhatian wakil rakyat setempat, khususnya bagi anggota Komisi I DPRD. Pimpinan alat kelengkapan Dewan yang membidangi masalah pertambangan tersebut.

Joni Syamsuddin bersama Wakil Ketua, Suardi Pato dan Sekretarisnya,Syahrul Beddu bahkan mengancam akan melaporkan sejumlah kasus pertambangan di Kolaka pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Satgas Mafia Hukum, Kapolri dan Mentri Kehutanan.

Dari penelusuran awal Komisi I, sejumlah permasalahan pengelolaan tambang di Kolaka disimpulkan sangat kompleks. Mulai dari penambangan yang diduga dilakukan pada areal Hutan Lindung tanpa melalui izin pinjam pakai kawasan dari Mentri Kehutanan,menambang diluar diluar titik koordinat semestinya sehingga mencaplok sebahgian areal PT Antam.

Itu dibuktikan degan adanya surat keberatan dari PT Antam yang ditujukan kepada Dinas Pertambangan kolaka.“belumlagi masalah ketidak jelasan kontribusi PAD dari sektor pertambangan yang sejauh ini sangat minim. Untuk itu kami mendesak Bupati segera menghentikan aktifitas pertambangan sebelum ada kejelasan perizinan maupun kontribusi bagi PAD,” tegas syahrul Beddu.
 
Mereka menengarai,sejumlah pejabat di Kolaka terlibat grafitasi yang diberikan oleh pemegang Kuasa Pertambangan dalam bentuk fee royalty atau saham kosong dari setiap pengapalan hasil tambang.

Ketua Komisi I, Joni syamsuddin mengatakan kehadiran KP tidak memberikan asas mamfaat bagi masyarakat yang ada di tingkat operasi pertambangan dan peningkatan PAD Kabupaten Kolaka. Salah satu buktinya APBD Kolaka justru mengalami devisit.”

"Kita juga mengharapkan perhatian Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk segera membentuk tim verifikasi penyimpangan kegiatan pertambangan yang diduga telah terjadi di Kolaka,” ujar mantan Lawyer ini.

Satu suara dengan dua rekanya,Suarti Pato pun menambahkan, pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan tak terkontrol telah memberikan dampak bagi masyarakat.

Pemegang KP hanya melakukan pengerukan tanpa melakukan rehabilitasi pasca tambang.”

Akibatnya warga yang paling merasakan dampak kerusakan lingkungan,”tandas politisi Hanura ini.(kepos)

Tuesday, May 11, 2010

Masyarakat Adat Asera Usir Perusahaan Sawit dan Pertambangan

Ratusan warga Desa Sabandete dan Desa Walandawe, Kecamatan Asera , Kabupaten
Konawe Utara , Provinsi Sulawesi Tenggara membakar dan menebang seluruh pohon kelapa sawit yang berada di areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sultra Prima Lestari.

Tindakan massa petani tersebut dipicu sikap sawit PT Sultra Prima Lestari
yang hingga kini terus memperluas lahan perkebunan mereka sehhingga mencamplok tanah adat di dua desa tesrebut. Warga bersama tokoh adat telah berkali-kali mengingatkan agar pihak perusahaan agar segera menghentikan aktifitas penenaman namun tidak diindahkan.

Tindakan itu kemudian memicu kemarahan warga dan terpaksa memasuki areal konsesi sawit PT Sultra Prima Lestari dan menebang seluruh tanaman kepala sawit yang berada di areal seluas enam ratus henktar tersebut lalu membakarnya. Tak sampai disitu warga juga melarang seluruh kendaraan perusahaan melintas di kawasan tersebut.

Polisi yang tiba di lokasi tidak dapat berbuat banyak melihat tindakan warga, Polisi sempat melakukan mediasi dengan mempertemukan warga dan pihak perusahaan, namun tidak berhasil mencapai kesepakatan.

Masyarakat adat Desa Sabandete dan Desa Walandawe menolak keberadaan sawit PT Sultra Prima Lestari dan PT Pertambangan Bumi Indonesia karena telah mengambil tanah-tanah mereka. “Ini tanah adapt kami dan perusahaan tidak berhak mengeksploitasi tanah-tanah ini,”kata Idris, tokoh adat desa Walandawe.

Masyarakat Adat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, merupakan satu kesatuan hukum, adat istiadat dan geografis yang masih hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah Sambandete-Walandawe adalah yang dimaksud oleh Undang-Undang karena keberadaanya telah lama jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka.

Tetapi hal ini terkesan diabaikan oleh pemerintah khususnya Bupati Konawe Utara yang dalam proses penyelesaian sengketa Tanah adat Sambandete-Walandawe yang telah di serobot oleh PT. Sultra Prima Lestari (perkebunan Sawit) dan PT. Pertambangan Bumi Indonesia (Tambang Nikel) terkesan lambat dan sangat berlarut-larut.

Kesepakatan awal antara pemerintah selaku pemberi izin kepada perusahaan yang beroperasi di atas tanah Adat dengan Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe bahwa semua aktifitas diatas lahan akan di hentikan, tetapi sampai hari ini perusahaan – perusahaan yang ada di lahan tanah Adat bahkan semakin memperluas areal kawasan kelolanya.

Perlu untuk kita ketahui bahwa Eksekutif dan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah melakukan peninjauan lokasi, dan telah di temukan bukti-bukti bahwa banar adanya Lahan tersebut merupakan Tanah Adat masyarakat Adat Sabandete dan Walandawe yang telah turun-temurun di kuasai dan di manfaatkan oleh masyarakat secara arif dan berkelanjutan.

Sehingga secara kelembagaan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah mengirimkan surat ke pihak eksekutif / Bupati untuk menerbitkan Surat Keputusan untuk mengakui lahan tersebut sebagai Tanah Adat masyarakat Adat Sambandete-Walandawe, tetapi sampai detik ini Bupati tidak melaksanakannya.

Adapun point-point tuntutan warga yakni menuntut pemerintah daerah Konawe Utara untuk segera mencabut Ijin Usaha Perkebunan Sawit (PT. Sultra Prima Lestari/SPL) dan Ijin Usaha Pertambangan (PT. Pertambangan Bumi Indonesia/PBI) Pada Kawasan tanah Adat Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe.

Menuntut Pemerintah/Bupati Konawe Utara untuk mengeluarkan Surat Keputusan pengakuan atas tanah adat Masyarakat Adat Sabandete-Walandawe, hal ini merujuk kepada hasil peninjauan lapangan dan Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten Konawe Utara.

Menuntut Perusahaan Perkebunan (PT. Sultra Prima Lestari/SPL) dan Pertambangan (PT. Pertambangan Bumi Indonesia/PBI) Yang Beroperasi pada Kawasan tanah Adat Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe Untuk segera mengosongkan lahan

Banjir Rendam Tujuh Desa, Wakil Bupati Tuding Akibat Penggundulan Hutan

Banjir merendam  tujuh desa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara,  Senin siang. Desa-desa  yang terendam banjir ini adalah Desa  Gunung Jaya, Wande,  Dangia dan Poleang yang berada di Kecamatan Ladongi serta Desa Pungguloko dan Desa Tokai di Kecamatan Polipolia.
Banjir diakibatkan  curah hujan yang cukup tinggi  yang mengguyur selama dua hari belakangan. Tingginya genangan air sempat mengganggu arus tranportasi desa sehingga sebagian warga memanfaatkan kesempatan  untuk mendapatkan uang dengan cara menyewakan rakit untuk mengangkut kerndaraan bermotor yang terjebak banjir .
Selain itu air juga merendam ratusan rumah yang membuat warga terpaksa  mengevakuasi barang-barang mereka ke tempat yang lebih tinggi .
Banjir juga ratusan hektar areal persawahan yang siap panen serta merobohkan sebuah jembatan yang menghubungkan dua desa di kecamatan hingga terputus.
Warga mengeluhkan kegiatan penggundulan hutan disekitar wilayah mereka sehingga menyebabkan terjadinya baniir. “Banjir ini baru terjadi selama lima belas tahun terakhir. Hutan-hutan di sekitar desa mulai gundul  akibat maraknya illegal  logging,”kata Sudirman, warga desa  Tokai.
Warga meminta pemerintah untuk segera turun tangan menindak para pelaku pembalakan liar tersebut.
Wakil Bupati Kolaka , Amir Sahaka yang meninjau lokasi banjir  mengatakan selain curah hujan yang cukup tinggi penyebab banjir diduga akibat penggundulan hutan di wilayah kecamatan tersebut.

“Kami segera akan menerjunkan tim kehutana untuk mendeteksi aktifitas perambahan  hutan. Ini tentu tidak bias dibiarkan karena akan membawa bencana bagi warga sekitar,”tegas Amir Sahaka.
Beruntung banjir kali ini tidak menelan korban jiwa.