Saturday, February 28, 2009

Polhut Sita Ratusan Batang Kayu Ilegal
















Ratusan batang kayu hasil pembalakan liar diamankan aparat polisi kehutanan di kawasan hutan produksi Desa Amasara, Kecamatan Palangga Selatan, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (28/2/09) pagi. Dari ratusan batang kayu itu, sebagian besar sudah diolah setengah jadi menjadi balok dan papan.

Namun dari ratusan batang kayu yang disita itu, ada juga puluhan batang yang masih berbentuk gelondongan. Seluruh kayu itu merupakan jenis jati.

Ratusan batang kayu tersebut ditemukan petugas kehutanan tersimpan rapi di sebuah tanah kosong dekat kawasan hutan. Aparat Polhut juga sempat mengejar sejumlah pembalak namun berhasil melarikan diri. Petugas terpaksa menyita satu buah mesin chain saw.

“Total jumlah kayu yang berhasil diamankan sebanyak 24 meter kubik kayu balok dan hingga kini beluma ada orang yang mengaku pemilik kayu,”demikian Yunus Papilaya, petugas kehutanan Konawe Selatan.


“Ini penangkapan yang ke tiga di Tahun 2009 ini,”tambahnya.

Sayangnya meski berhasil menyita ratusan batang kayu itu, tak satu pun dari para pelaku pembalakan liar yang berhasil ditangkap. Selain mengaku kekurangan tenaga pihak polisi kehutanan juga menyatakan para pelaku pembalakan liar itu lebih menguasai medan ketimbang mereka.
Hari itu juga petugas mengamankan dengan mengangkut kayu temuan tersebut ke atas truk dan diamankan ke pos kehutanan terdekat.(yos)










Friday, February 27, 2009

Mahasiswa Demo Tolak Alih Fungsi Hutan Lindung

By Line: Yoshasrul

Puluhan mahasiswa dan aktivis LSM lingkungan di Kendari, Sabtu pagi melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Dinas kehutanan Provinsi Sulawesi tenggara. Para mahasiwa dan LSM ini menolak rencana pemerintah daerah menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi. Pemerintah dianggap tak punya itikat melakukan perbaikan lingkungan.

"Disaat seluruh dunia tengah menggaungkan isu penyelamatan hutan melalui global warming, namun pemerintah sultra justeru asyik dengan program menghancurkan hutan. Ini tidak bisa dibiarkan, harus dicegah,"kata Ardian, salaha satu mahasiswa peduli lingkungan.

Mereka menilai, kebijakan itu akan membawa dampak buruk bagi masyarakat.
"Kalau hutan habis, masyarakat akan sengsara karena terus dilanda banjir. Kita juga tidak pernah kekurangan air, tapi itu juga bisa terjadi kalau hutan-hutan kita dihabisi," ujar salah satu pendemo dalam orasinya.

Menanggapi hal itu, Kadis Kehutanan Sultra, H Amal Jaya yang menemui massa menyatakan alih fungsi hutan lindung ke hutan produksi dilegalkan undang-undang. Alasan dia, luas hutan di Sultra saat ini tercatat 2,6 juta hektar atau 68,17 persen dari total luas daratan. Sedang dalam UU kehutanan, luas hutan yang harus dipertahankan di suatu wilayah minimal 30 persen dari luas daratan. Artinya , Sultra masih punya kelebihan luas hutan sekitar 38 persen.

"Meski memiliki kelebihan luas hutan, kita tentunya tidak akan merestui pembabatan hutan yang berujung pengurangan luas hutan. Tapi, kalau alih fungsi ke hutan produksi yang bisa dikelola langsung masyarakat kenapa tidak. Alih fungsi itukan tidak mengurangi luas hutan," jelasnya kepada massa.

Lagi pula, lanjut dia, luas hutan lindung yang akan dialihfungsikan Pemprov, bukan 481.000 hektar tapi 224.000 hektar. Menurut Amal Jaya, alih fungsi itupun baru sebatas wacana yang belum tentu disetujui presiden. Karena, proses alih fungsi hutan lindung harus melalui serangkaian penelitian. Unjuk rasa mahasiswa dan LSM ini dijaga puluhan aparat kepolisian .

Wednesday, February 25, 2009

BERITA PHOTO






























































Berpidato dihadapan ribuan kepala desa saat membuka pemantapan pelaksanaan program Bahteramas antara pemerintah daerah di Sulawesi Tenggara, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat Kehujanan. JK sempat menghentikan pidato sejenak menunggu podium tempatnya berpidato dipindahkan panitia. JK meminta agar pemerintah benar-benar memprioritaskan pembangunan dengan memberdayakan masyarakat. JK meminta pemerintah daerah membimbing, mengajari dan membina masyarakat dengan baik, terutama saat mengelola sumber daya alam. JK mencontohkan pengelolaan tambang rakyat di Bombana, pemerintah sebaiknya memberikan prioritas yang besar pengelolaan tambang pada rakyat ketimbang pada investor. "Janganlah berikan pada investor karena yang alkan menjadi kaya, ya investornya itu bukan rakyat. Dan terbukti di NTB investor hanya menuntut hukum pada kita. Jadi berilah kesempatan pada rakyat untuk menambang. Kalau mereka merusak lingkungan maka ajarilah masyarakat cara menambang yang tidak merusak lingkungan,"kata JK. Photo: Yoshasrul

Monday, February 23, 2009

Pemerintah Perlu Mengkaji Rencana Peralihan Fungsi Kawasan

By Line: WWF-Indonesia
Berapa persen luasan hutan konservasi Sulawesi Tenggara hariini? Ternyata hanya 10 persen dari luas hutan (daratan) yang luasnya 2,600.031 hektar. Data Balai Konservasi SumberDaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara menunjukkan dari total luasan tersebut, angka luasan hutan konservasi hanya seluas 274,069 hektar dan sisanya adalah hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara hari ini tengah mewacanakan penurunan status kawasan hutan lindung---bukan konservasi—menjadi hutan produksi yang dalam pandangan mereka hutan lindung tersebut tidak produktif dan tak termanfaatkan. Di sisi lain, Pemerintah juga berencana menaikkan status sejumlah luasan kawasan hutan dari produksi menjadi hutan lindung.
Pandangan tersebut juga berasal dari pemikiran bahwa izin pinjam pakai luasan lahan bisa lebih mudah diperoleh karena pengelolaannya direncanakan untuk hajat hidup orang banyak di Sulawesi Tenggara, yakni dengan cara pengelolaan tambang emas maupun nikel. Dari sisi waktu, pengelolaan tambang juga secara cepat dan instan memberikan dampak perekonomian bagi warga.
Pandangan lain dari Pemerintah hari ini adalah bahwa hutan lindung maupun hutan konservasi, justru tak memberikan manfaat banyak pada warga. Pemerintah tidak memandang adanya sistem penyangga yang saling menopang dari satu kawasan konservasi dan lindung ke kawasan-kawasan lainnya.
Seringkali pandangan tersebut diikuti dengan kritikan yang menurut kami tidak mencerminkan pengetahuan terhadap perlindungan kawasan—misalnya, apa lagi yang bisa dilindungi? Mana anoa-nya? Bukankah sudah tak ada pohon di hutan itu?—"Mereka memandang ini teori belaka, walau diakui penilaian tersebut juga disebabkan karena minimnya data kajian dan penelitian tentang konservasi di wilayah kita," kata Mila Rabiati, koordinator pengendali ekosistem hutan BKSDA Sulawesi Tenggara.
Cara pandang yang berbedadan minimnya penelitian maupun studi di kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung merupakan tantangan bagi kita semua untuk segera bertindak.Padahal sebagai satu kawasan yang saling menopang, hutan konservasi dan lindung telah memberikan secara gratis pelayanan hidroologi—tataair—yang hingga hari ini membuat seluruh warga Sulawesi Tenggara bisa menikmati air dengan baik.
Hutan-hutan tersebut juga memiliki efek spons yang telah meredam tingginya debit air sungai saat musim hujan dan memelihara kestabilanair saat musim kemarau. Kita juga telah menikmati udara yang segar dan bersih dari paru-paru hutan kita ini.
Dengan seluruh pemberian yang gratis tersebut mengapa Pemerintah Sulawesi Tenggara masih bersikeras untuk menurunkan status kawasan hutan lindung untuk pengelolaan tambang? Mengapa kita tak belajar dari pengalaman yang ada? Bahwa pola-pola pengelolaan sumber daya alam secara ekstraktif dan eksploitatif yang telah terbukti di banyak wilayah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Tambang emas di Bombana misalnya,menurut Muhamad Hakku Wahab, Kepala Dinas Pertambangan Provinsi SulawesiTenggara—telah merugikan negara 67 miliar dan kini kerusakan alamnya tak lagitertolerir. Siapa yang bertanggungjawab? Ini belum termasuk kematian 38 warga akibat longsor maupun sakit yang disebabkan banyaknya bakteri di sekitar wilayah tambang tersebut.
Pengelolaan tambang di Kolaka telah mematikan kehidupan dan mata pencaharian seluruh nelayan di Desa Tambea, siapayang akan bertanggungjawab?
Karena itu, saatnya Pemerintah mengkaji ulangrencana untuk penurunan status kawasan hutan lindung dan melakukan kajianterhadap fisik kimia, kerugian biologi, kerugian kepuasan serta dampak sosialyang akan timbul bila rencana tersebut diteruskan. Pemerintah juga perlu memikirkan sebuah rencana pengelolaan sumberdaya alam yang lebih berkelanjutan dan bisa secara adil memberi manfaat pada generasi mendatang.
Tentang WWF-Indonesia
Dengan hampir 5 juta anggota pendukung dan jaringan kerja di lebih dari 90negara, adalah salah satu organisasikonservasi terbesar di dunia. Tujuan utama WWF adalah menghentikan, untukkemudian memulihkan kerusakan lingkungan alami di bumi kita, dan membantuterwujudnya suatu masa depan yang menjamin kehidupan harmonis antara manusiadan alam. WWF mulai aktif di Indonesia sejak tahun 1962.
Di Sulawesi Tenggara, WWF-Indonesia bekerja dengan fokus kampanye media, bermitradengan Kendari Pos, Media Sultra, Kendari TV, Swara Alam, M Radio dan dukungan dari 32 radio supporter se Sulawesi Tenggara. WWF bekerjasama dengan berbagai lembaga dan kelompok masyarakat untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutandan bertanggung jawab.
Mitra-mitra WWF di Sulawesi Tenggara antara lain: BKSDASultra, BTNRAW, BTNW, Kekar Bajo, Universitas Haluoleo, Yayasan Bahari,Jaringan Laut Wakatobi, Green Community, Focil Indonesia , Yayasan CintaAlam,dan lain-lainnya. HutanUntuk informasi Lebih lanjut hubungi : HasrulKokoh, mobile ; 0811 4001 101, email ;http://www.blogger.com/mc/compose?to=hkokoh%40wwf.or.id

WARGA ANTRI MINYAK TANAH






















By Line: Yoshasrul

Beginilah antrian minyak tanah di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Sudah hampir sebulan pemadangan seperti ini terjadi. Antrian jerigen dideret di depan pangkalan minyak tanah hingga mencapai puluhan meter. Antrian jerigen dilakukan untuk menghindari saling berebutan.

Warga yang antri sebagian besar ibu rumah tangga. Dalam sebulan terakhir mereka mulai kesulitan memperoleh minyak tanah untuk kebutuhan memasak di dapur.

Biasanya bahan bakar tersebut mudah diperoleh di kios-kios kecil di sekitar rumah mereka. Namun kini tidak lagi. Meski ada minyak tanah yang dijual eceran, namun harganya telah melewati harga ecera tertinggi sebesar empat ribu rupiah. "Di kios kini eceran minyak tanah mencapai enam ribu rupiah per liter,"kata Tien, warga kelurahan kemaraya.

Karena itu untuk memenuhi kebutuhan minyak tanah itu warga terpaksa harus rela antri berjam-jam di agen pengecer minyak tanah.

Untuk memsiasati membludaknya antrian minyak tanah pemilik pangkalan terpaksa membiarkan warga untuk menyimpan jerigen mereka di pangkalan. Seperti yang dilakukan ernawati pemilik pangkalan minyak tanah di kendari.

“Biasanya warga sudah menyimpan jerigen mereka setiap sabtu dan minggu,”kata Ernawati.

Karena keterbatasan stok pihak pangkalan minyak tanah membatasi pembelian yakni tidak lebih dari duapuluh liter.

Pembatasan jatah minyak tanah dilakukan menyusul kurangnya pasokan minyak tanah yang tidak sebanding dengan jumlah warga yang membutuhkan.

Pasokan minyak tanah dari pertamina kini sudah mulai dibatasi yang biasanya pihak pangkalan mendapat jatah delapan drum perhari. Namun sebulan belakangan dibatasi sebanyak dua drum saja.

BERITA PHOTO






















Eksekusi tanah di Kota Kendari berlangsung di Jalan Poros Anduonohu, Kelurahan Kambu Kota kendari Sulawesi Tenggara melibatkan HM Jafar sebagai tergugat dan Ramli sebagai penggugat atas tanah 200 Are. Kasus ini dimenangkan Ramli setelah melalui proses gugatan hukum di pengadilan negeri Kendari. Senin (23/2) pagi kasus tersebut dieksekusi pihak pengadilan. Tampak petugas pengadilan melakukan ekseskusi berupa pembongkaran rumah milik Jafar. Photo: Yoshasrull

Saturday, February 21, 2009

OPINI

Mari Menghutankan Kembali Desa Kita

By Line: Abdul Haris Tamburaka

Sejak musim hujan tahun 2008 ini Jazirah Sulawesi Tenggara dilanda banjir. Banjir tahun ini lebih buruk dari tahun- tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan curah hujan yang sangat tinggi tahun ini. Jika terjadi hujan dua hari berturut- turut, banjir pasti akan terjadi.

Laju reboisasi tak lagi mampu membendung laju pembalakan liar (illegal logging) secara sporadis di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, maka hari-hari terakhir hutan didaerah itu kian terbentang dihadapan mata. tutupan hutan (canopy) yang dulunya masih menghijau, dalam paruh waktu yang sangat cepat berubah menjadi petakan-petakan hamparan lahan kosong. Kini lahan-lahan kosong itu berubah menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu siap memuntahkan bencana tanah longsor disertai aliran air bah dan siap meluluhlantakkan perkampungan masyarakat yang tersebar diseantero Kabupaten Konawe Selatan.

Banyak sekali LSM yang konsen pada urusan lingkungan hidup telah memprotes aksi pembalakan liar yang terjadi didaerah itu kian menggila selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Angka kerusakkan hutan mencapai separuh hutan yang tersebar di wilayah Konawe Selatan yang diperkirakan mencapai kurang lebih 60 persen.

Kerusakan hutan yang paling dominan utamanya di areal hutan jati yang luasnya mencapai kurang lebih 24.538,29 Ha. Sementara, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat angka kerusakan hutan telah mencapai 63% dari seluruh luas hutan jati di wilayah Konawe Selatan.

Laju deforestrasi sumberdaya hutan ini, paling terbesar disebabkan oleh aksi pembalakan liar (illegal logging), utamanya yang diprakarsai oleh sejumlah pengusaha kayu illegal atau cukong yang memanfaatkan masyarakat lapisan bawah yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Kuatnya desakan ekonomi dan himpitan kemiskinan yang melilit sebagian besar masyarakat konsel, mengakibatkan masyarakat berfikir jangka pendek, utamanya dalam mencari sumber-sumber pendapatan ekonomi untuk menunjang keberlangsungan hidup (survive).

Satu-satunya pilihan untuk bisa survive, masyarakat yang umumnya petani terpaksa beralih menjadi pembalak kayu di areal tanah negara yang dipasarkan kepada para cukong liar dengan tawaran harga yang tidak menjanjikan untuk keberlanjutan ekonomi secara jangka panjang.

Padahal, masyarakat yang terlibat dalam bisnis illegal itu dalam kenyataannya tidak mendapat proteksi sosial baik dari pemerintah terlebih dari para pengusaha/cukong. Jika ditabulasi eksistensi pengusaha kayu di konsel tetap berlangsung karena besarnya suplay kayu yang bersumber dari masyarakat dalam setiap hari.

Penelusuran Green Press sebuah lembaga perkumpulan wartawan lingkungan Sulawesi Tenggara yang dikumpulkan dari berbagai sumber, aktivitas pembalakan kayu yang diperankan oleh pengusaha kayu diwilayah konawe telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak tahun 1999 hingga sekarang (tahun 2009).

Kejahatan itu paling merajalela sebelum terjadi peralihan (pemekaran) kabupaten konawe selatan dari kabupaten induk (konawe). Dalam kurun waktu itu, kontrol terhadap aktivitas pembalakan liar diwilayah itu bukannya semakin ketat, justru aktivitas illegal itu nyaris tidak pernah mendapat sentuhan hukum, demikian catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara.

Dan ironisnya ketika itu tidak sedikit lembaga yang memprotes kebijakan pemerintah daerah yang cenderung menutup mata pada persoalan tersebut. Melihat eskalasi perusakan hutan di daerah ini maka butuh gerakan ekstra untuk menahan laju perusakan hutan.

Inisiatif Hutan Rakyat

Dalam proses berjalan, masyarakat konawe selatan secara perlahan mulai tergugah melihat realitas kerusakan hutan yang telah mendekati ambang batas dan menunjukkan kondisi yang semakin kritis. Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai mendapat sentuhan pemahaman dari beberapa kalangan NGO pro-lingkungan.

Gagasan untuk menekan aktivitas illegal logging yang dimainkan oleh para ”pengusaha hitam” yang melibatkan masyarakat miskin di wilayah konsel, kemudian mengkristal dimemori masyarakat.

Pilihan strategis yang paling awal dilakukan, masyarakat mulai melakukan pemetaan areal hutan tanah miliknya yang secara notabene didalamnya ditumbuhi kayu jati yang siap untuk dipanen/diproduksi. Pilihan ini dilakukan dengan metode dan stretagi tersendiri dan prosesnya tidak bersinggungan apalagi sampai berkolaborasi dengan para pengusaha kayu di konsel.

Dalam prosesnya kemudian, inisiatif untuk mengelola hasil hutan ditanah milik sendiri kemudian berjalan. Hal itu terjadi setelah masyarakat mendapat dukungan dari sejumlah lembaga pro-lingkungan bahkan kayu-kayu yang diolah oleh masyarakat terlebih dahulu harus mendapat pengakuan dari badan dunia dalam bentuk sertifikasi.

Pendek kata, kayu-kayu hasil olahan masyarakat ditanah miliknya akan dibeli oleh buyer resmi dengan harga yang cukup menjanjikan secara jangka panjang, apalagi para buyer kayu tidak menghendaki kayu yang bersumber dari hasil illegal logging.

Pengolahan kayu ditanah milik sendiri, secara perlahan terus dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah bersama dalam bentuk koperasi. bahkan, inisiatif untuk menjadikan model pengelolaan kayu ditanah milik ini sebagai daerah percontohan sosial forestry (sosfor) kemudian terus didorong oleh berbagai kalangan.

Hadirnya model pengolahan hutan ini, secara langsung maupun tidak langsung telah memutus suplay kayu ditingkat pengusaha hitam/cukong, sebab banyak masyarakat yang semula bekerja dengan para pengusaha kemudian beralih mengolah hasil hutan ditanah miliknya sendiri.

Dalam kurun waktu setelah proses ini berjalan, laju kerusakan hutan diareal tanah negara mulai dapat ditekan, sebab para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu dari areal tana negara tidak lagi bisa memanfaatkan jasa masyarakat setempat. akibatnya, banyak perusahaan dan sawmil yang akhirnya tutup alias gulung tikar.

Fakta ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa hadirnya insiatif masyarakat untuk mengolah hasil hutan ditanah miliknya turut pula memutus bahkan mematikan langkah para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu secara illegal diareal tanah negara.

Namun demikian, kedua hal ini masih perlu mendapat berbagai pemikiran, utamanya dalam mendorong agar aktivitas illegal logging diwilayah konsel bisa ditekan bahkan dihentikan. satu-satunya cara yang paling efektif dapat dilakukan tidak lain, pengolahan hutan musti dikembalikan kepada masyarakat secara langsung.

Friday, February 20, 2009

Kriminalitas














Peras Caleg, Wartawan Gadungan Dibekuk Polisi

By Line: Yoshasrul

Seorang oknum wartawan gadungan di Kota Kendari dibekuk polisi setelah berusaha memeras Aziz Teba seorang calon anggota legislatif (caleg) asal Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Adalah Andi Bayuras (ab) warga Kota Kendari yang mengaku sebagai wartawan target operasi dan aktivis news yang beroperasi di surabaya ini dibekuk petugas polsek poasia saat tengah melancarkan aksi pemerasan terhadap Azis Teba. Aksi pemerasan itu berlangsung di rumah kediaman korban di kompleks Perumahan BTN Kendari Permai, Kelurahan Mokoau, Kota Kendari. Sadar dirinya tengah diperas caleg asal partai persatuan pembangunan itu langsung melaporkan kasus pemerasan itu pada polisi.

Saat ditangkap pelaku sempat mencoba melawan petugas dengan mengancam bahwa dirinya adalah wartawan yang kinerjanya dilindungi Undang-Undang. Namun petugas tidak bergeming. Pelaku langsung digelandang ke kantor polisi untuk menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut.

Ihwal terungkapnya aksi pemerasan oleh pelaku, bermula dari kehadiran pelaku di rumah korban untuk mempertanyakan kegiatan kampanye yang dilakukan oleh korban didaerah pemilihannya. Sambil menunjukkan kartu identitas sebagai wartawan target operasi dan aktivis news yang berkantor di Kota Semarang, Jawa Tengah, pelaku kemudian mengancam korban akan mempublikasikan kegiatan kampanyenya melalui medianya, lantaran kampanye yang digelar oleh korban dinilai melanggar aturan pemilu.

Namun pada saat bersamaan korban kemudian menawarkan jika ancamannya bisa saja tidak berlaku manakala korban menyetorkan uang senilai 6 juta rupiah.

Rupanya kehadiran korban kali ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya korban sudah sempat berhasil menggasak uang korban senilai 300 ribu. Namun pelaku rupanya tak puas hingga akhirnya kembali lagi kerumah korban.

Isteri Aziz Teba yang mengetahui pelaku datang meminta uang enam juta lalu meminta suaminya untuk tidak menyerahkan uang sebagaimana yang diminta pelaku. Karena tidak punya uang isteri korban lalu melaporkan kejadian itu pada aparat Polsek Poasia.

”Tadi pagi dia janjian sama bapak mau ke bank, tapi saya minta bapak (Aziz Teba, Red) untuk tidak meladeni permintaan orang itu. Karena takut saya langsung melapor ke polsek,”kata Ny Aziz, Jumat malam.

Hal ama diungkapkan Aziz Teba. Saat itu pelaku datang pada saya meminta uang sebanyak enam juta rupiah plus bunga enam puluh ribu. Bahkan ketika itu pelaku mengancam kalau tidak menyerahkan uang hingga batas waktu yang ditentukan maka ia akan mengekspos kasus pelanggaran kampanye korban,”kata Aziz yang sudah berusia lanjut itu.

Sementara dengan kepandainnya bersilat lidah pelaku membantah habis-habisan tuduhan korban saat berada di kantor polisi. ”Saya tidak memeras, justeru saya yang dibujuk oleh Aziz Teba untuk tidak mengekspos kasus itu,”kata Andi Bayuras di depan polisi.

Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya pelaku kini mendekam di sel polisi dengan tuduhan pemerasan.

Puting Beliung Hantam Tiga Desa























By Line: Yoshasrul

Angin puting beliung memporak-porandakan puluhan rumah di tiga desa di Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Jumat (20/2/09 ). Skitar pukul 14.00 Wita angin kencang menghempaskan atap-atap rumah warg. Sebagian rumah warga juga rata dengan tanah tersapu angin. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam perisitiwa ini, namun sedikitinya 70 kepala keluarga untuk sementara harus kehilangan tempat tinggal..

Selain rumah warga sejumlah rumah ibadah dan failitas milik pemerintah seperti balai desa juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Hampir seluruh atap balai desa ini bertebaran diatas tanah setelah dihempas pusaran angin kencang.

Menurut warga, peristiwa ini terjadi diluar dugaan mereka dan hanya berlangsung singkat. Suara petir disusul angin kencang disertai guyuran hujan langsung menghantam perkampungan warga. Dalam seketika atap rumah-rumah warga yang kebanyakan terbuat dari kayu berterbangan dan beberapa diantaranya langsung roboh. Sebuah pohon juga tumbang di pekarangan rumah warga.

Warga yang berada didalam rumah pun langsung berlarian keluar untuk menyelamatkan diri. Sejumlah warga mengaku sempat menjadi korban akibat terkena reruntuhan bangungan.

Arfan misalnya terkena kayu dibagian kepalnya. ”Saya sempat lari /tapi kayu yang jatuh kena dibagian kepalaku,”kata pemuda lajang asal DesaPuriala, Jumat sore.

Selain Arfan, seorang ibu juga menjadi korban puting beliung yakni ibu Eti yang terkena reruntuhan bangunan. ”Saat itu saya hendak menghindari pohon tumbang tapi tak menyangka ia justeru tertimpa reruntuhan rumah saya sendiri,”kata Eti.

Dari tiga desa yang dihantam angin kencang ini, Desa Puriala termasuk wilayah paling terparah. Sedikitnya terdapat 37 rumah rusak di desa ini. Sementara di dua desa lainnya masing-masing Desa Tetehaka dan Desa Tetewatu 40 rumah rusak parah.

Hingga kini warga korban bencana ini masih bertahan diantara puing-puing rumah mereka yang rusak. Beberapa diantara mereka masih berupaya mengumpulkan harta bendanya yang masih bisa diselamatkan. Sementara beberapa warga lainnya sibuk memperbaiki atap rumah-rumah mereka.

Warga berharap Pemerintah Kabupaten Konawe segera turun tangan menyalurkan bantuan dana termasuk makanan agar warga bisa segera membangun serta memperbaiki kembali rumahnya yang rusak.

Antri Gas Elpiji






















Kebutuhan warga konsumen akan gas elpiji di kendari sangat tinggi. Tak jarang antrian di distributor gas elpiji membludak. Seperti dalam gambar kepanikan warga saat melakukan antrian gas elpiji di distrubutor gas alpiji milik PT Wirawan Gas Kendari. foto: yoshasrul

Harga Pakan Ternak Naik, Peternak Menjerit





















Tingginya harga pakan membuat peternak unggas Sulawesi tenggara kelimpungan. Peternak menginginkan adanya kebijakan pemerintah soal harga pakan. Ini didasari turunnya harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah.

Kenaikan harga pakan tersebut merugikan peternak di kota kendari khusnya peternak ayam broiler. Menurut Sawadi salah peternak ayam mengaku bulan Februari ini saja sudah tiga kali mengalami kenaikan. Terakhir harga pakan jenis konsentrat sudah mencapai Rp 260 ribu per karungnya yang sebelumnya hanya Rp 215 ribu. Ini belum dihitung biaya angkut dan biaya transportasi yang telah lebih dulu naik.Tentu seluruh komponen ini akan menambah biaya produksi peternak ayam broiler.

“Permasalahannya, harga ayam tidak naik, karena banyak suplai dari Makassar yang harganya lebih rendah,”kata Sawadi.

Kepala seksi peternakan diunas pertanian Sulawesi Tenggara, Muhammad Nursyamsi menyarankan agar peternak ayam broiler beralih ke usaha ayam petelur. Pasalnya harga dipasaran saat ini terus meningkat. Selain itu produksi telur sangat dibutuhkan menyarakat saat ini. “Apalagi telur suplai dari Makassar masih terbatas,”kata Muhamad Nursyamsi.

Ditambahkan, meskipun harga pakan dan operasional lainnya naik, tetapi harga telur juga terus naik akibat tingginya permintaan pasar saat ini.”Kita tak mungkin membatasi jumlah ayam dipasaran. Tetapi kita hari pintar-pintarnya saja peternak menyiasati keadaan,”kata Nursyamsi

Thursday, February 19, 2009

Catatan Perjalanan (2)

Belajar Partisipatif Bersama Rakyat

By Line: Yoshasrul

Belajar tentang pengelolaan hutan bersama masyarakat Konawe Selatan tentu hal yang baru. Ini mulai terasa ketika masyarakat tyang tergabung dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) menggelar pertemuan. Dalam rangkaioan diskusi kampung terungkap berbagai permasalahan seputar pengelolaan hutan yang masih banyak terkendala oleh rangkaian ijin dari pemerintah.

Dipertemuan itu pula para peserta pertemuan mengeluhkan sejumlah masalah karena sejak tahun 2003 koperasi berdiri , warga tidak juga bisa melakukan pengelolaan kayu di kawasan hutan milik negara, karena saat itu Departemen Kehutanan belum mengeluarkan izin pengelolaan kawasan hutan negara. Akibatnya, masyarakat belum bisa melakukan pengembangan program social forestry (sosfor) ke kawasan hutan milik negara yang sebenarnya menjadi target pelaksanaan program kehutanan masyarakat. Kondisi itu membuat masyarakat praktis hanya bisa melakukan pengelolaan di lahan mereka sendiri.

Saat itu program sosfor awalnya dari pemerintah yang selanjutnya diturunkan ke masyarakat mulanya dianggap sebagai rahmat. Namun ternyata belakangan pemerintah terkesan setengah hati memberikan kepercayaan pada masyarakat, terbukti sampai saat ini belum turun izin pengelolaan kawasan hutan.

Beruntung masyarakat dan pengurus koperasi tidak kehilangan akal. Sambil menunggu ijin turun masyarakat terpaksa melakukan uji sertifikasi kayu di tanah milik mereka sendiri dengan jumlah luas areal 209.15 hektar hutan jati. Jumlah anggota yang mengolah sebanyak 236 orang.

Inilah yang membuat koperasi bisa hidup, tapi ini masih membutuhkan suppor dari instansi terkait terutama soal izin pengelolaan kawasan hutan milik negara. “Ketimbang menunggu ijin yang belum kunjung turun maka pngurus koprasi mulai melakukan uji coba bisnis kayu model sertifikasi di tanah kami sendiri,”kata Siong, salah satu pengurus koperasi.

Selama ini pengurus praktis lebih banyak disibukkan dengan kegiatan rapat yang juga dilakukan secara swadaya dan banyak mengabiskan uang mereka sendiri. “Kalau uang tersebut dikumpul mungkin sudah bisa mengatasi kemiskinan yang ada di masyarakat,”tambah pria beruban ini.

Ia juga mengungkapkan, upaya masyarakat untuk menyambut program sosfor sudah lebih dari cukup, karena sudah berhasil membentuk Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dan Lembaga Komunikasi Antar Kelompok (LKK).

Ijin pengelolaan areal social forestry selama ini terkendala peraturan kehutanan yang ada, dimana dalam undang-undang kehutanan tidak secara jelas mengatur dan mengakomodir tentang program sosial forestry sehingga Dephut masih serba hati-hati mengeluarkan izin pengelolaan hutan di kawasan lindung karena bila tidak Dephut bisa kena imbasnya.

Kuatnya desakan soal peran masyarakat dalam pengelolaan hutan termasuk sosfor maka, pihak kehutanan kini sementara melakukan penyempurnaan beberapa peraturan kehutanan yang ada.

Kesepakatan mengawal pengelolaan skema hutan rakyat menjadi ruang apresiasi bagi para pihak di Sulawesi Tenggara. Bahkan kesepakatan bulat agar lembaga yang selama ini konsen mendorong skema hutan rakyat seperti Koperasi Hutan Jaya Lestari dipertahankan menjadi lembaga yang mengelola kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Konawe Selatan.

Penunjukan KHJL selaku pengelola KPHP di Konawe selatan didasari dengan kelengkjapan administarsi dan pengalaman para anggotanya mengelola bisnis kayu di tanah masyarakat selama ini.

" KHJL telah membuktikan kepada masyarakat Sultra jika mereka telah siap melakukan pengelolaan hutan lestari di tanah negara,"kata Suhendro, dari Komisi Daerah Social Forestry, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Potensi sumber daya manusia yang mengelola KHJL tentu saja menjadi jaminan yang mau tidak mau telah dibekali segudang pengetahuan tentang tata cara pengelolaan hutan yang lestari . Terlibih pula KHJL telah memberikan andil yang cukup besar dalam upaya memperkenalkan sistem pengelolaan hutan yang lestari dan melibatkan masyarakat lokal.

Sementara itu Ketua KHJL Haris Tamburaka mengaku siap jika lembaganya ditunjuk sebagai pengelola KPHP. "soal kesiapan saya kira kami sangat siap. Dan jika ditunjuk maka kami akan menjalankan semua tata cara pengelolaan sesuai aturan yang berlaku,"kata Haris Tamburaka.

Sesuai data dari KHJL, adapun jumlah kelompok yang tergabung dalam KHJL terdiri 46 kelompok di 46 desa ( 16 % dari total desa di Konawe Selatan ), 4 kecamatan ( 36% dari total kecamatan)8.354 kepala keluarga ( 17% dari total penduduk )

Pihak Komisi Daerah Social Forestry Konawe Selatan sendiri telah mendorong secara aktif lahirnya rekomendasi Gubernur yang menunjuk KHJL sebagai pengelola KPHP. Beberapa persiapan telah dilakukan khususnya berkaitan dokumen-dokumen menjadi persyaratan keluarnya ijin kelola Areal Kelola Social Forestry dari Menteri Kehutanan.

Diantara yang selama ini sudah dilakukan misalnya, penyusunan rencana pengelolaan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara dan AMDAL yang dilaksanakan oleh PPLH Unhalu beberapa waktu lalu.

Wednesday, February 18, 2009

Catatan Perjalanan (1)

Belajar Partisipatif Melalui Wadah Koperasi

By Line: Yoshasrul

Menempuh perjalanan dari Kota Kendari menuju Kabupaten Konawe Selatan bukanlah hal sulit. Kita akan disuguhi jalan mulus berkelok di daerah pegunungunan wolasi yang hutannya masih ‘perawan’. Pohon berukuran besar dan aneka satwa yang berdiam terkadang terlihat bermain di sisi jalan menjadi pemandangan tersendiri ketika dilewati. Jarak menuju konawe selatan tempuhnya relative singkat, hanya butuh satu setengah jam untuk mencapai kabupaten itu.

Lepas dari areal hutan, kita kembali disuguhi areal persawahan milik petani nan hijau. Begitu pula areal perkebunan rakyat yang membentang di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan.

Dibanding daerah lain di Sultra kekayaan alam kabupaten yang biasa disebut “Laiwoi Selatan” memang menggiurkan. Terekam jika Kabupaten Konawe Selatan sampai tahun 2003 (berdasarkan data pemerintah setempat) memiliki luas areal tanaman perkebunan rakyat 110.221 hektar, yang terdiri dari jenis tanaman yang belum menghasilkan seluas 9.862 hektar, dan tanaman menghasilkan seluas 37.471 hektar serta tanaman tidak menghasilkan seluas 1.161 hektar.

Tanaman perkebunan rakyat tersebut terdiri dari berbagai jenis; kelapa dalam, kelapa hibrida, kopi, cengkeh, kakao, jambu mete, kapuk, kapas, kemiri, lada, pala, jahe, vanili, pinang, enau, tembakau, asam jawa, dan sagu. Selain itu Kabupaten Konawe Selatan juga sangat potensial dalam bidang kehutanan.

Sebagai gambaran luas kawasan hutan produksi berdasarkan hasil survey dinas terkait memiliki luas 91.628,2 ha, tanaman hutan rakyat seluas 3.669,9 ha, dan lahan kritis 207.798,53 ha, jumlah produksi hutan rakyat vs hasil produksi hutan sebanyak 4% dengan aneka usaha kehutanan.

Awal memasuki gerbang perbatasan antara kota kendari dan kabupaten konawe selatan telah terasa gejolak pembangunan yang dicanangkan pemerintah setempat. Pembanguan ini tentu saja mendapat dukungan penuh masyarakat di sana. Masyarakat bahu membahu berpartisipasi mengisi pembangunan dengan mengembangkan aneka usaha produktif.

Mungkin tak berlebihan jika kekayaan yang melimpah ruah ini yang mendorong semangat warga akan pemekaran, yang kemudian mendorong proses lahirnya Konawe Selatan sebagai salah satu daerah pemekaran di sulawesi tenggara. Kabupaten Kendari terbentuk melalui perjuangan panjang dan melelahkan dari seluruh komponen masyarakat di sana. Berdasarkan UU No. 4 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Konawe Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara, Konawe selatan resmi berdiri pada tanggal 2 Mei 2003 oleh Menteri Dalam Negeri di Kendari atas nama Presiden Republik Indonesia.

Satu setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di lokasi social forestry tepatnya di Desa Lambakara Kecamatan Lainea. Hampir separuh wilayah desa berpenduduk 200 Kepala keluarga ini merupakan areal konsesi perkebunan milik PT Kapas Indah Indonesia.

Di desa ini berdiri sebuah kantor koperasi rakyat yang khusus bergerak pada pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Warga memberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dengan akta nomor 518.15/ DKK/ III / 2004. Pendirian koperasi yang digagas masyarakat di 12 desa dari jumlah total 46 desa yang berada di areal social forestry dengan total luas aral 38 ribu hektar.

Hari menjelang siang saat mobil yang mengantar kami merapat di halaman kantor KHJL yang terletak di poros jalan menuju pelabuhan penyeberangan Torobulu. Kantor yang dibagun atas iuaran anggota seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu. Di halaman rumah berdiri papan nama kantor koperasi.

Saat tiba, sejumlah pengurus koperasi telah bersiap menyambut kehadiran tim. Begitu pula pengurus Lembaga Komunikasi Antar Kelompok (LKAK) ikut hadir. LKAK selama ini menjadi lembaga pemantau manajemen koperasi yang segaja dibentuk warga sebagai wujud transparansi. Selain kedua kedua lembaga, Jaringan Untuk Hutan sebuah konsorsium LSM yang selama ini berjasa memberikan pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan koperasi dan LKAK juga ikut.

Setelah saling memperkenalkan diri sekaligus mndengarkan persentase dari pengurus koperasi, LSM JAUH hingga wakil dari Dinas Kehutanan Sultra, perlahan sejumlah pertanyaan dari tim DFID mulai mengalir. Pertanyaan lebih banyak mengarah pada kesiapan pengurus koperasi baik dari segi manajmen maupun upaya inisaisi lanjutan guna menindaklanjuti jika pemerintah pusat melalui menteri kehutanan benar-benar menerbitkan ijin areal lokasi social forestry di konawe selatan.

Para pengurus bercerita dari 46 desa tersebut sedikitnya 46 kelompok direncanakan akan memperkuat kepengurusan koperasi. “Kami mengharapkan kelompok petani akan segera menggabung dalam koperasi ini,”kata Abd Haris Tamburaka, Ketua Koperasi Hutan Jaya Lestari.

Pendirian koperasi ini membawa berkah tersendiri bagi daerah ini. Betapa tidak semenjak berdiri 2003 lalu, koperasi ini telah menjadi titik awal berkiprah secara nasional sekaligus ‘tiket’ Konawe Selatan melaju menjadi daerah percontohan sertifikasi kayu dunia.

Awalnya tak pernah terpikirkan pemerintah dan masyarakat di sana, bila desa mereka menjadi pusat perhatian International. Bahkan sebagian pengurus KHJL sekalipun. “Kami baru tahu melalui media yang ramai memberitakan bahwa konsel menjadi lokasi percontohan ekolabel kayu dunia,”ujar Abd Haris. Kondisi ini mengundang dcak kagum dan bangga warga setempat.

KHJL sendiri pada bulan Mei 2005 lalu mendapat kehormatan sebagai koperasi pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat kayu dunia dari organisasi Smart wood sebuah organisasi dunia yang menaruh perhatian pada pengelolaan hutan secara lestari.

Diakui para pengurusnya, jika Pembentukan koperasi merupakan hasil diinisiasi Dinas Kehutanan yang dibantu oleh JAUH Sultra dan MFP-DFID.

"Kami sudah dilatih selama 3 tahun tentang pengelolaan hutan secara lestari. Karena Smart Wood mewajibkan penanaman kembali dimana ditekankan tebang 1 jati tanam 10. Semua prasyaratan yang diwajibakan Tropical Forest (TFT) dan Smart Wood dalam pengelolaan kayu jati kami laksanakan, sehingga akhirnya diberikan sertifikasi oleh Smart Wood,"ungkapnya.

Keberhasilan KHJL mendapatkan sertifikasi ekolabel dari Smart Wood itu salah satu bukti bahwa masyarakat bisa melakukan pengelolaan hutan secara lestari sekaligus menepis keraguan pihak Dephut yang pernah meragukan kemampuan masyarakat mengelolah hutan, saat berkunjung di Konsel beberapa waktu lalu.

Diungkapkan, kayu yang diolah masyarakat yang masuk dalam KHJL adalah murni dari lahan masyarakat sendiri, tidak diambil dari hutan milik negara. Luas seluruh kayu yang dioalh ditanah milik seluas 219 Hektar. "Kami mengharapkan agar pemerintah bisa melihat pengamanan hutan yang selama ini dilaksanakan sehingga aktivitas illegal logging bisa dikurangi,"ujarnya.

Sementara Manajer Program JAUH yang selama ini aktif mendampingi masyarakat, Abd Halik mengungkapkan, ada beberapa keberhasilan yang bisa dilihat setelah adanya koperasi yaitu pendapatan masyarakat bisa ditingkatkan.

Dimana pada masyarakat menjual kayu hasil illegal logging hanya memperoleh pendapatan Rp 300 hingga 400 perkubik, tapi setelah ada koperasi dan mendapat sertifikasi dari Smart Wood, pendapatan masyarakat jauh lebih meningkat berkisar tiga sampai empat juta rupiah per kubik. Lebih jauh dari itu masyarakat sangat merima mamfaat dari bergabung di koprasi. “Bila salah satu anggota koprasi maka koprasi bisa mmberikan pinjaman dari cadangan kas uangan yang ada,”katanya.

Baginya pemerintah tidak perlu meragukan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan kayu karena masyarakat yang masuk dalam anggota koperasi tidak dibenarkan mengelola areal hutan milik negara sebelum ada izin dari Menteri Kehutanan.

“Kalau ada anggota koperasi yang ketahuan melakukan pengusahaan kayu di kawasan hutan milik negara akan di keluarkan dari koperasi. Ini merupakan hasil kesepakatan bersama anggota koperasi,”tambahnya.

"Teman-teman JAUH berpikir, bagaimana membangun industri ekolabel disini karena nanti pendapatan masyarakat jauh akan lebih tinggi kalau sudah ada industri pengelolaan kayu disini,"kata Khalik.

PKL Versus Pol PP













Pedagang kaki lima kerap menjadi sasaran penertiban aparat Polisi Pamong Praja karena dianggap melanggar ketertiban dan keindahan kota. Pedagnag yang resah pun sering melayangkan protes pada pemerintah karena dianggap tidak manusiawi.
foto: yoshasrul

Pengerukan Pasir Sungai Pohara














Tampak pada gambar, bantaran sungai setiap harinya terkikis, akibat ulah perusahaan penambang pasir yang menggunakan mesin pompa air. Mesin tersebut sangatlah mempengaruhi bantaran sungai. foto: yoshasrul





By Line: Yoshasrul

Aktifitas penambangan pasir ilegal di sungai pohara oleh warga setempat telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang luar biasa. Sungai yang kian dalam menyebabkan badan tanah disepanjang sungai mengalami erosi yang hebat.

Warga yang bermukim di pinggiran Sungai Pohara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara pun terancam bencana. Satu rumah masyarakat bahkan telah ambruk dan terbawah arus. Tubir sungai kian jauh masuk ke lahan pemukiman masyarakat. "Dalam tiga bulan tanah ini telah ambrol sejauh lima belas meter,"kata Dareman warga Desa Pohara, Kecamatan Sampara.


“Dengan adanya penambangan pasir yang menggunakan Pompa Pengisap Pasir di Ke 3 desa ini yaitu, desa Polua, Desa Amoare, Desa Andadowi, Kabupaten Konawe membawa dampak yang besar. Seperti yang nampak saat ini bahaya setiap saat menjadi ancaman buat warga,” papar seorang warga Desa Andaroa, Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe.

Ironisnya adanya kegiatan penambangan ini PAD yang masuk kedesa hanya berkisar Rp100 ribu per minggu. Kemudian dampak yang paling parah yang akan ditimbulkan apabila kegiatan penambangan pasir yang menggunakan mesin pengisap ini yaitu bakal putusnya sarana transportasi darat yang menghubungkan antara Kabupaten Konawe dan Kota Kendari.