Thursday, August 5, 2010

Jejak Otonomi Wakatobi

Raci dan Apo di Bajo Sampela

Angin laut berhembus pelan di pesisir kepulauan Wakatobi awal September. Siang yang terik itu, Nira (40 tahun) terus mengibas api di tungku, tepat di kolong rumahnya. Lalu mengaduk raci (sejenis kerang gastropoda) yang telah hampir matang di wajan, pasusu (sirih) di mulutnya tak pernah lepas membuat bibir dan lidahnya merah.

Raci yang telah masak kemudian dibawa ke sudut rumah yang berdiri di tepi laut, Nira mulai membuang air rendaman raci, sesekali menyapa sampan yang melintas dalam bahasa Bajo. Sedang, Tao anak perempuan kecilnya sibuk menarik isi kerang dengan menggunakan capit kayu.

Raci memang menu laut paforit yang kerap disantap masyarakat Bajo Sampela. Pengolahan kerang raci menjadi makanan jadi membutuhkan waktu tak sedikit,
kerang raci dimasak sekitar dua jam lamanya, sesudah itu di diangkat dan isinya dikeluarkan dari tubuh kerang. Lalu isi kerang dimasak lagi dicambur aneka
bumbu.

Raci biasanya dijadikan menu santap siang. Bagi orang bajo raci paling enak di makan dicampur dengan kasuami atau ubi kayu yang dikukus dan dibentuk menyerupai
tumpeng.

Bersama keluarganya Nira tinggal tepat di Desa Sama Bahari di pesisir Kaledupa. Bersama, ratusan rumah suku Bajo ukuran petak berdiri diatas bongkah Apo
(batu karang) yang sekaligus menjadi pondasi rumah. Di tempat itu semua aktivitas dilakukan mulai dari merapatkan sampan, mencuci, mandi bahkan buang hajat.
"Tak pernah ada yang sakit karena mandi di situ,"kata Nira bangga.

Di wilayah Sampela dan pesisir tempat bermukim suku Bajo lainnya di kepulauan wakatobi, makan raci adalah lumrah. Sama lazimnya saat mereka kesana kemari tanpa
alas kaki dan terbalut bedak putih tebal atau berenang puluhan kali sehari. "Ini sama dengan merokok, lebih baik tidak makan nasi dari pada tidak makan raci,"
begitu Nira.

Dalam sehari seluruh masyarakat bajo sampela yang berjumlah 216 KK bisa menghabiskan 300 kilo gram raci.

Selain untuk dikonsumsi pribadi, raci juga dijual ke pulau-pulau seberang seperti ke wanci dengan harga 18 ribu per kilo gramnya.

Sejak lama pencaharian Raci dan Apo mulai terhenti karena dilarang pemerintah, "Katanya merusak laut." kata Laeto seorang nelayan Bajo.

Padahal menurut pria paro baya berkulit legam ini, suku bajo adalah suku yang sangat memperhatikan kelestarian alam . Di pulau manapun suku bajo tinggal
menurutnya tak pernah ada tangan -tangan gatal yang merusak lingkungan sekitarnya." Kami tidak mengambil burung-burung yang terbang, tidak mengambil anggrek yang tumbuh dihutan dan tidakmenebang pohon secara liar."katanya.

Bagi sebagian orang, sangat tidak lazim pola hidup yang dianut suku Bajo, semua aktivitas dilakukan di laut, tapi bagi mereka semua biasa-biasa saja, sama
biasanya dengan kehidupan di darat.

"Orang-orang di darat banyak yang bilang hidup kami susah, tapi saya dan anak-anak bisa hidup, tidak susah buang air dari atas perahu kecil, atau hanya memakai
kutang dan sarung. Yang penting semua anak-anak saya pintar cari ikan,"kata Laeto.

Orang Bajo telah mendiami pesisir Sampela sejak tahun 1950-an, dan hanya mengantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan laut. Mulanya mereka bermukim di
wilayah pesisir Mantigola, sebelah barat Kaledupa yang menjadi pemukiman besar masyarakat bajo ketika itu. Namun masuknya perompak laut telah memporakporandakan kehidupan mereka, sehingga orang bajo mengungsi keberbagai tempat, termasuk membangun pemukiman di pesisir Sampela. Kini di pemukiman pesisir Sampela terdapat sekitar 216 KK masyarakat bajo. Ini jauh lebih besar dari pemukiman Bajo di
Mola, kecamatan wangiwangi, yang jumlah penduduk bajo mencapai 8000 jiwa.

Air dan habitatnya adalah keluarga dekat suku Bajo. Selain Raci, bongkahan batu laut atau Apo, kini dijadikan mata pencaharian sampingan selain menangkap
ikan. Untuk memastikan apakan di satu kawasan terdapat Apo atau tidak mereka cukup menggunakan tokong (tongkat bambu) yang ditempelkan di telinga. Insting alami dan
pengalamanlah yang menjadi pedoman. Untuk mendapatkan sesampan yang penuh Apo nelayan kadang menyelam 5 - 6 depa ( sekitar 10 meter) Apo mereka jual Rp.20.000
- Rp. 40.000 per sampan. "Pencarian apo agi-lagi juga kini telah dilarang,"kesal Laeto.

Nira, dan nelayan-nelayan suku Bajo lainnya punya pandangan yang sama tentang kehidupan normal, toh bagaimanapun tak lazimnya kehidupan mereka dimata
orang darat sehingga mereka disebut suku terasing, kehidupan itu tetaplah sempurna.

Yang pasti tidak menepis moderenisasi, sambil memainkan kuhu (alat pencari kutu) Nira bercerita kalau anak-anaknya sudah pakai odol, sabun dan sampo, mereka bahkan suka beli celana jeans kalau lebaran. Hanya sepatu dan sandal yang sulit mereka pakai,kalau dipaksa mereka jadi susah jalan dan kakinya malah luka.

Di rumah berukuran kecil, wanita-wanita suku Bajo menyalakan api, memandikan anak-anaknya, melakukan seks dengan suaminya bahkan melahirkan anak-anak suku
Bajo dengan sempurna dan sehat tak pernah terjangkiti penyakit kulit atau penyakit mata.kecuali tuli. Tuli bukan penyakit menurut mereka, ketulian adalah symbol bagi perenang ulung. Perenang yang mampu berenang 20 meter ke bawah. Kalaupun ada suku Bajo meninggal karena menyelam, itu hanya satu dari 100 suku Bajo.

Sampan menjadi alat yang mempertemukan sesama suku Bajo di nusantara, bahkan di dunia. Tak ada yang aneh, karena mereka adalah komunitas yang punya satu bahasa
yakni bahasa Bajo. "Bahasa Bajo dimanapun sama, kecuali aksennya,"katanya.

Chris Majors, Antropolog berkebangsaa Amerika yang telah delapan belas tahun meneliti seluk beluk etnis bajo mengaku, ada keyakinan masyarakat Bajo akan adanya
Umbo Mandilao yaitu nenek moyang suku Bajo yang bermukim di laut dan senantiasa menjaga keberlangsungan hidup mereka. Keyakinan inilah yang merujuk aktivitas mereka dilaut termasuk bila menggunakan bom ikan atau pengrusakan lainnya.

Mereka menilai ikan-ikan yang diambil tidak akan habis karena Umbo Mandilao akan memperbanyak kembali ikan-ikan yang telah diambil. Termasuk kepercayaan mereka akan kekuatan dukun yang disebut Sandro yakni orang yang dipercayakan menyembuhkan
penyakit-penyakit yang diwujudkan dalam 5 macam upacara, disesuaikan dengan tingkat penyakit yang diderita mulai ringan hingga berat. Selain itu penamaan waktu berkunjung disesuaikan dengan lama kunjungan. Bila berangkat pagi hingga siang hari disebut Pallilibu , pergi selama seminggu disebut Pongka, sebulan disebut Sakkai dan kunjungan tahunan disebut Lama.

Keragaman budaya dalam suku Bajo dapat terjaga melalui pendekatan humanity, yakni sosialisasi pemahaman tanpa merusak keyakinan ataupun kebudayaan yang telah mereka
anut. Menurut Chris masyarakat Bajo yang menggunakan bahasa Boang Sama untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang sangat lama mengingat keterbelakangan pola
pikir yang dimiliki.

Berbagai permasalahan tak lepas dari kehidupan Bajo, yang kadang berimbas pada perilaku mereka. Masalah pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat bajo menjadi
masalah pelik. Hasil penelitian Yayasan bajo mattila, selama ini masyarakat Bajo benar-benar tak mebdapat perhatian oleh pemerintah. Apalagi kurikulum sekolah
yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan hidup orang bajo.

"Di usia 5 tahun anak-anak suku Bajo sudah mahir menangkap ikan di laut, sehingga mereka tidak bersekolah, tidak heran usia sekolah dasar hanya mencapai 30% dari jumlah yang ada, itupun kebanyakan yang ikut karena diajak teman setelah bosan mereka akan kembali kelaut mencari ikan,"kata Chris Majors, antropolog asal Amerika yang melakukan penelitian di pesisir Kaledupa. Ia mengharapkan adanya kurikulum khusus bagi anak-anak suku Bajo yang cocok, misalnya lebih difokuskan pada pembelajaran dipinggir pantai dengan menggunakan bahasa Bajo.