Thursday, August 5, 2010

Jejak Otonomi Wakatobi

Raci dan Apo di Bajo Sampela

Angin laut berhembus pelan di pesisir kepulauan Wakatobi awal September. Siang yang terik itu, Nira (40 tahun) terus mengibas api di tungku, tepat di kolong rumahnya. Lalu mengaduk raci (sejenis kerang gastropoda) yang telah hampir matang di wajan, pasusu (sirih) di mulutnya tak pernah lepas membuat bibir dan lidahnya merah.

Raci yang telah masak kemudian dibawa ke sudut rumah yang berdiri di tepi laut, Nira mulai membuang air rendaman raci, sesekali menyapa sampan yang melintas dalam bahasa Bajo. Sedang, Tao anak perempuan kecilnya sibuk menarik isi kerang dengan menggunakan capit kayu.

Raci memang menu laut paforit yang kerap disantap masyarakat Bajo Sampela. Pengolahan kerang raci menjadi makanan jadi membutuhkan waktu tak sedikit,
kerang raci dimasak sekitar dua jam lamanya, sesudah itu di diangkat dan isinya dikeluarkan dari tubuh kerang. Lalu isi kerang dimasak lagi dicambur aneka
bumbu.

Raci biasanya dijadikan menu santap siang. Bagi orang bajo raci paling enak di makan dicampur dengan kasuami atau ubi kayu yang dikukus dan dibentuk menyerupai
tumpeng.

Bersama keluarganya Nira tinggal tepat di Desa Sama Bahari di pesisir Kaledupa. Bersama, ratusan rumah suku Bajo ukuran petak berdiri diatas bongkah Apo
(batu karang) yang sekaligus menjadi pondasi rumah. Di tempat itu semua aktivitas dilakukan mulai dari merapatkan sampan, mencuci, mandi bahkan buang hajat.
"Tak pernah ada yang sakit karena mandi di situ,"kata Nira bangga.

Di wilayah Sampela dan pesisir tempat bermukim suku Bajo lainnya di kepulauan wakatobi, makan raci adalah lumrah. Sama lazimnya saat mereka kesana kemari tanpa
alas kaki dan terbalut bedak putih tebal atau berenang puluhan kali sehari. "Ini sama dengan merokok, lebih baik tidak makan nasi dari pada tidak makan raci,"
begitu Nira.

Dalam sehari seluruh masyarakat bajo sampela yang berjumlah 216 KK bisa menghabiskan 300 kilo gram raci.

Selain untuk dikonsumsi pribadi, raci juga dijual ke pulau-pulau seberang seperti ke wanci dengan harga 18 ribu per kilo gramnya.

Sejak lama pencaharian Raci dan Apo mulai terhenti karena dilarang pemerintah, "Katanya merusak laut." kata Laeto seorang nelayan Bajo.

Padahal menurut pria paro baya berkulit legam ini, suku bajo adalah suku yang sangat memperhatikan kelestarian alam . Di pulau manapun suku bajo tinggal
menurutnya tak pernah ada tangan -tangan gatal yang merusak lingkungan sekitarnya." Kami tidak mengambil burung-burung yang terbang, tidak mengambil anggrek yang tumbuh dihutan dan tidakmenebang pohon secara liar."katanya.

Bagi sebagian orang, sangat tidak lazim pola hidup yang dianut suku Bajo, semua aktivitas dilakukan di laut, tapi bagi mereka semua biasa-biasa saja, sama
biasanya dengan kehidupan di darat.

"Orang-orang di darat banyak yang bilang hidup kami susah, tapi saya dan anak-anak bisa hidup, tidak susah buang air dari atas perahu kecil, atau hanya memakai
kutang dan sarung. Yang penting semua anak-anak saya pintar cari ikan,"kata Laeto.

Orang Bajo telah mendiami pesisir Sampela sejak tahun 1950-an, dan hanya mengantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan laut. Mulanya mereka bermukim di
wilayah pesisir Mantigola, sebelah barat Kaledupa yang menjadi pemukiman besar masyarakat bajo ketika itu. Namun masuknya perompak laut telah memporakporandakan kehidupan mereka, sehingga orang bajo mengungsi keberbagai tempat, termasuk membangun pemukiman di pesisir Sampela. Kini di pemukiman pesisir Sampela terdapat sekitar 216 KK masyarakat bajo. Ini jauh lebih besar dari pemukiman Bajo di
Mola, kecamatan wangiwangi, yang jumlah penduduk bajo mencapai 8000 jiwa.

Air dan habitatnya adalah keluarga dekat suku Bajo. Selain Raci, bongkahan batu laut atau Apo, kini dijadikan mata pencaharian sampingan selain menangkap
ikan. Untuk memastikan apakan di satu kawasan terdapat Apo atau tidak mereka cukup menggunakan tokong (tongkat bambu) yang ditempelkan di telinga. Insting alami dan
pengalamanlah yang menjadi pedoman. Untuk mendapatkan sesampan yang penuh Apo nelayan kadang menyelam 5 - 6 depa ( sekitar 10 meter) Apo mereka jual Rp.20.000
- Rp. 40.000 per sampan. "Pencarian apo agi-lagi juga kini telah dilarang,"kesal Laeto.

Nira, dan nelayan-nelayan suku Bajo lainnya punya pandangan yang sama tentang kehidupan normal, toh bagaimanapun tak lazimnya kehidupan mereka dimata
orang darat sehingga mereka disebut suku terasing, kehidupan itu tetaplah sempurna.

Yang pasti tidak menepis moderenisasi, sambil memainkan kuhu (alat pencari kutu) Nira bercerita kalau anak-anaknya sudah pakai odol, sabun dan sampo, mereka bahkan suka beli celana jeans kalau lebaran. Hanya sepatu dan sandal yang sulit mereka pakai,kalau dipaksa mereka jadi susah jalan dan kakinya malah luka.

Di rumah berukuran kecil, wanita-wanita suku Bajo menyalakan api, memandikan anak-anaknya, melakukan seks dengan suaminya bahkan melahirkan anak-anak suku
Bajo dengan sempurna dan sehat tak pernah terjangkiti penyakit kulit atau penyakit mata.kecuali tuli. Tuli bukan penyakit menurut mereka, ketulian adalah symbol bagi perenang ulung. Perenang yang mampu berenang 20 meter ke bawah. Kalaupun ada suku Bajo meninggal karena menyelam, itu hanya satu dari 100 suku Bajo.

Sampan menjadi alat yang mempertemukan sesama suku Bajo di nusantara, bahkan di dunia. Tak ada yang aneh, karena mereka adalah komunitas yang punya satu bahasa
yakni bahasa Bajo. "Bahasa Bajo dimanapun sama, kecuali aksennya,"katanya.

Chris Majors, Antropolog berkebangsaa Amerika yang telah delapan belas tahun meneliti seluk beluk etnis bajo mengaku, ada keyakinan masyarakat Bajo akan adanya
Umbo Mandilao yaitu nenek moyang suku Bajo yang bermukim di laut dan senantiasa menjaga keberlangsungan hidup mereka. Keyakinan inilah yang merujuk aktivitas mereka dilaut termasuk bila menggunakan bom ikan atau pengrusakan lainnya.

Mereka menilai ikan-ikan yang diambil tidak akan habis karena Umbo Mandilao akan memperbanyak kembali ikan-ikan yang telah diambil. Termasuk kepercayaan mereka akan kekuatan dukun yang disebut Sandro yakni orang yang dipercayakan menyembuhkan
penyakit-penyakit yang diwujudkan dalam 5 macam upacara, disesuaikan dengan tingkat penyakit yang diderita mulai ringan hingga berat. Selain itu penamaan waktu berkunjung disesuaikan dengan lama kunjungan. Bila berangkat pagi hingga siang hari disebut Pallilibu , pergi selama seminggu disebut Pongka, sebulan disebut Sakkai dan kunjungan tahunan disebut Lama.

Keragaman budaya dalam suku Bajo dapat terjaga melalui pendekatan humanity, yakni sosialisasi pemahaman tanpa merusak keyakinan ataupun kebudayaan yang telah mereka
anut. Menurut Chris masyarakat Bajo yang menggunakan bahasa Boang Sama untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang sangat lama mengingat keterbelakangan pola
pikir yang dimiliki.

Berbagai permasalahan tak lepas dari kehidupan Bajo, yang kadang berimbas pada perilaku mereka. Masalah pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat bajo menjadi
masalah pelik. Hasil penelitian Yayasan bajo mattila, selama ini masyarakat Bajo benar-benar tak mebdapat perhatian oleh pemerintah. Apalagi kurikulum sekolah
yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan hidup orang bajo.

"Di usia 5 tahun anak-anak suku Bajo sudah mahir menangkap ikan di laut, sehingga mereka tidak bersekolah, tidak heran usia sekolah dasar hanya mencapai 30% dari jumlah yang ada, itupun kebanyakan yang ikut karena diajak teman setelah bosan mereka akan kembali kelaut mencari ikan,"kata Chris Majors, antropolog asal Amerika yang melakukan penelitian di pesisir Kaledupa. Ia mengharapkan adanya kurikulum khusus bagi anak-anak suku Bajo yang cocok, misalnya lebih difokuskan pada pembelajaran dipinggir pantai dengan menggunakan bahasa Bajo.

Sunday, June 20, 2010

Jejak Otonomi Part 2


Siasat Buton Utara Memaksimalkan Sumber Daya Alam

By Line: Yoshasrul

Kabupaten Buton Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibukotanya adalah Buranga. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dalam catatan statistik Buton Utara merupakan kawasan yang kaya sumberdaya alam. Terutama bahan tambang dan hasil perkebunan di wilayah yang meliputi Kecamatan  Wakorumba, Kambowa, Bonegunu, Kulisusu Barat, Kulisusu Utara dan Kulisusu itu,  diprediksi dapat menggenjot PAD. Dari aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium. Semuanya butuh klarifikasi lebih jauh. Kekayaan alam juga melimpah dalam sektor kehutanan. Lihatlah bagimana daerah ini memiliki hasil hutan seeprti jati, damar, dan rotan. Dalam perjalanan ke Buton Utara nampak jejak hutan jati yang cukup besar disepanjang jalan kawasan Kecamatan Bonegunu dan Kambowa.

Informasi yang diperoleh, jati yang diperkirakan berumur dua tahun ini milik masyarakat dan beberapa pejabat di Buton Utara. Mereka memanfaatkan lahan tidur dan menyulapnya menjadi kebun hutan jati. Sebuah upaya yang baik demi melestarikan bumi dari kekeringan. Beberap warga tertarik menanam jati karena harganya yang lumayan baik. Data harga jati dipasaran  Indonesia mencapai Rp 15 juta per kubik. Sebuah harga yang lumayan menggiurkan,sehingga membuat masyarakat berlomba menanam jati.

Jika kita melihat peta, posisi Buton Utara berada di daratan Pulau Muna. Seperti diketahui jati merupakan produk hutan yang paling banyak ditemukan di daratan pulau ini.  Tak heran Muna pun mendapat julukan daerah jati. Sayang julukan itu kini memudar seiring dengan rusaknya seluruh kawasan hutan jati akibat kebijakan eksploitasi pemerintah kabupaten sehingga menimbulkan maraknya penjarahan kawasan hutan jati oleh masyarakat. Beruntunglah 'virus' pola kebijakan eksploitatif hasil hutan ini tidak berlanjut ke daerah Buton Utara, setelah tahun 2007 lalu, Buton Utara berhasil 'memerdekakan diri' dari Kabupaten Muna membentuk daerah otonomi sendiri.  "Seandainnya daerah kami tidak mekar, maka tidak akan pernah tau nasibnya kini,"kata Bambang, salah satu  warga Buton Utara. 

Data yang dilansir Dinas Kehutanan Provinsi Sultra setidaknya terdapat 2,6 juta hektar kawasan hutan. dari luasan tersebut terdapat sekitar 633.431 hektar kawasan hutan produksi. Sedang kawasan hutan lindung mencapai 1,061 juta hektar. Dari jumlah tersebut, berdasarkan  peta kawasan yang telah ditata batas, maka di  Buton Utara menjadi daerah yang paling banyak terdapat  kawasan hutan lindung. pasalnya dalam daftar statistik kehutanan Sultra, setiap kecamatan di daerah ini terdapat kawasan  hutan lindung.  Tantangan dimasa otonomi ini bukan tidak mungkin akan bernasib sama seperti daerah pemekaran lain di Sultra. Syahwat politik para penguasa, mau tidak mau bisa menjadi faktor utama untuk mengguras sumber daya alam daerah.

Berdasarkan fakta daerah pemekaran di Indonesia, hampir sebagian besar daerah pemekaran,  rata-rata memaksimalkan potensi sumber daya alam mereka untuk digarap habis . Ironsinya pengelolaannya pun terkadang tidak membawa keseimbangan antara upaya mengeruk sumber daya alam ketimbang melestarikannya. Lihatlah potret berapa pemerintah kabupaten berlomba-lomba ke luar negeri dengan dalih mencari investor untuk 'menjual potensi tambang daerah kepada investor. Parahnya, keuntungan   yang diperoleh darah pun tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Kondisi yang sama berpotensi besar akan terjadi di Buton Utara. 

Dalam rekaman media massa di Sultra, beberapa kali pemerintah berencana bekerja sama dengan sjumlah investor asing untuk mengelola potensi sumberdaya alam di daerah ini. Namun kuatnya penolakan masyarakat masih mampu mengimbangi ambisi pemerintah mengeksploitasi potensi alam ini. Sebelum mekar pun penolakan masyarakat pada investor sudah lantang disuarakan. Bahkan dalam catatan masyarakat pernah mengusir tim survey dari PT GeoService Jakarta, investor yang akan melakukan penelitian tentang potensi aspal di Kecamatan Kulisusu. Padahal PT Sido Prosper Indokarbon (SPI) bekerjasama dengan investor dari Hongkong dan Beijing telah memiliki Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Muna". Begitu pula PT SPI juga telah merencanakan membangun pabrik di tiga wilayah potensi aspal dan membuat jalan dari Kecamatan Kambowa dan Kulisusu.

Namun, meski begitu pemerintah tak dapat sepenuhnya disalahkan. Melihat konsekwensi pemekaran maka mau tak mau pemerintah dituntut untuk memberkan kesejahteraan bagi rakyatnya.  Dalam teori clean goverment, pemerintah yang bersih adalah pemerintah memiliki niat membangun daerah dengan  adil dan transparan. Arti transparansi  dalam konteks ini tentulah transparansi dalam mengelola pemerintahan dan anggaran keuangan daerah. Keuangan dapat pula diartikan yang diperoleh dari sumber yang jelas dari anggaran  APBN hingga anggaran asli daerah. PAD inilah yang dapat diterjemahkan diperoleh dari potensi  pajak dan pengelolaan sumber daya alam. Namun untuk mengharapkan terciptanya clean goverment inilah yang masih sangat sulit diharap di era saat ini.

Dalam catatan statistik, Buton Utara merupakan kawasan yang kaya sumberdaya alam. Buton Utara memiliki banyak potensi bahan tambang. Dari aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium.  Harus jujur pula diakui-- jika benar -- kandungan sumber daya alam ini ada, maka Buton Utara menjadi daerah yang paling kaya dibanding seluruh daerah kabupaten di Sultra. Betapa tidak dalam bayangan ke depan, kandungan deposit aspal, nikel dan emas saja maka aka diperoleh angka triliunan rupiah yang akan diperoleh daerah ini.Setidaknya 'diperut'  Buton Utara terdapat kandungan potensi yang dapat memakmurkan rakyat buton utara  hingga beratus bahkan ribuan tahun mendatang. Sebaliknya jika dikelola secara buruk maka bukan tidak mungkin daerah ini akan mejadi daerah terbelakang bahkan menjadi daerah yang terus dilanda bencana alam. Karena itu butuh kejujuran dari pemerintahan yang berkuasa di tanah Buton Utara memaksimalkan potensi sumber daya alam ini. Jika tidak maka sungguh disayangkan. 















Monday, May 24, 2010

Jejak Otonomi Part 1

Otonomi Kabupaten Buton Utara
Nasib Jalan dan Hutan  'Setali Tiga Uang' 

By Line: Yoshasrul

Harapan menuju kemakmuran rakyat tentu menjadi dambaan setiap pemimpin daerah kabupaten yang baru mekar. Hidup bebas dari keterbelakangan  dan harapan untuk maju seolah berlomba. Pemerintah dan rakyat sedapatnya saling sinergi serta bahu membahu membangun daerah. Paling tidak inilah yang menjadi gambaran asa para tokoh-tokoh pemekaran hampir disetiap daerah di negara ini. Edisi jalan-jalan melalui ekspedisi   Sulawesi Tenggara menjadi titik goresan pena mengeksplorasi wilayah kabupaten di Sultra. Mencoba menelusuri jejak pembangunan terkini. Melihat dan mendalami setiap jejak kehidupan sosial,  lingkungan, budaya hingga kekhasan tradisi masyarakat di setiap kabupaten. 
     
Awal Mei 2010 saya memulai  perjalanan menuju  Kabupaten Buton Utara. Kabupaten yang kurang lebih empat tahun mekar dari kabupaten induk di Muna. Daerah bekas kerajaan  buton ini belumlah semaju daerah lain di Sultra. Bahkan dalam kaca mata pembangunan saya, daerah ini tak ubahnya sebuah daerah kecamatan di Kabupaten Kolaka. 

Kondisi infrastruktur penggerak ekonomi  masyarakat masih jauh dari harapan bahkan boleh dikata masih sangat terbatas. Terlihat dari kondisi infrastruktur seperti jalan raya dalam kondisi memprihatinkan. 'Karpet hitam' atau yang lazim disebut aspal baru terjamah di sebagian ibukota kabupaten yakni di Kulisusu Ereke. Itu pun hanya sebagian wilayah saja dan kondisi aspalnya putus-putus. Informasi yang diperoleh jika aspal dalam ibukota baru dibuat setahun silam. Jika kondisi dalam ibukota seperti itu, maka mudah ditebak  kondisi jalan ke daerah pedesaan pun tak kalah memilukan. Sebagian besar jalan masih berupa jalan tanah peninggalan  masa penjajahan Jepang.

Menjangkau Kabupaten Buton Utara kita bisa memiliki beberapa akternatif transportasi. Menggunakan transportasi laut seperti kapal  dan menggunakan mubil untuk transportasi darat. Mengandalkan transportasi darat relatif  menyusahkan dibanding kapal. Karena itu, sebagain besar warga Buton Utara lebih memilih menggunakan transportasi laut. Selain  karena cepat juga karena alasan kenyamanan.


Kapal yang mampir ke buton utara  adalah kapal yang seharusnya berlayar ke Wanci Kepulauan Wakatobi. Karena berada dijalur yang searah, maka kapal pun mengambil penumpang di Buton Utara. Warga Buton Utara seolah 'dikandang paksa' menggunakan jadwal kapal yang hanya ada tiga kali saja dalam seminggu, yakni pada hari Senin Kamis dan Sabtu.   Memang sungguh disayangkan, tak adanya kapal berpenumpang yang khusus berlayar ke daerah ini. Ada beberapa sarana kapal milik orang lokal, namun kebanyakan digunakan mengangkut hasil bumi, seperti kopra dan rumput laut yang banyak terdapat di daerah ini. Biasanya hasil bumi diangkut untuk dijual ke daerah-daerah terdekat seperti Baubau dan Kota Kendari.

Tak heran pula dengan kondisi ini sejumlah harapan muncul dari warga masyarakat. Mereka berharap agar pemerintah segera mengadakan sarana kapal penumpang khusus yang mengambil rute Buton Utara menuju ibukota Sulawesi Tenggara. "Kami berharap pemerintah kabupaten segera mengadakan sarana kapal yang bisa digunakan menuju Kendari,"kata Akis, warga Ereke. Permintaan ini sangat wajar mengingat pergerakan ekonomi masyarakat menuju kendari cukup besar. Dalam sebulan  diperkirakan ribuan penumpang menuju kendari. Apalagi menjelang hari besar dan liburan pelajar.Belum lagi arus bvarang dan jasa yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah ini.

Sebenarnya, pemerintah kabuoten buton utara sadar betul akan pentingnya moda transportasi rakyat satu ini. Pemerintah Buton Utara telah memutuskan membangun pelabuhan bagi warganya. Sebuah dermaga permanen telah dibangun di Desa Waodeburi, Ereke. Dalam perjalanan menuju  Buton  Utara saya berkesempatan mencoba menggunakan rute laut dan kami tiba di daerah inui sekitar lima jam perjalanan laut yang menggunakan kapal Agil Pratama, sebuah kapal milik pengusaha asal Wakatobi.  Kapal inilah yang selama berpuluh tahun digunakan warga Wakatobi dan Buton Utara menuju daerah Kendari.

Pemerintah kabupaten buton utara telah pula memikirkan sejumlah aternatif mendekatkan rute Kendari - Buton Utara. Ini terungkap dalam balam beberapa kali perbincangan dengan pelaksana Bupati Buton Utara "Saat ini  kami telah membuka jalur anternatif menuju kota kendari yakni menggunakan rute terdekat melalui Kabupaten Konawe Selatan,"kata pelaksana Bupati Buton Utara. 

Sayang  rute menuju Konawe Selatan ini masih terhalang rusaknya jalan. Pelaksana Bupati bahkan sempat berkelakar dengan menantang saya untuk melewati jalan ini. "Kalo berani ayo ikut lewati rute ini, sekalain kita rasakan bagimana rasanya offroad,"katanya tersenyum simpul. Meski tak diajak, sebenarnya  dalam benak saya ingin merasakan tantangan rute satu ini. Sebab dari sejumlah cerita warga yang pernah melewati jalan ini menganggap jika rute Konawe Selatan ini terbilang dekat. Kita membutuhkan waktu dua jam untuk tiba ke Kota Kendari.

Saat itu kami menggunakan empat mobil milik pemda. Jenis mobil yang kami gunakan pun terbilang cukup tangguh Toyota Hilin. Mobil  biasa digunakan para pengusaha yang bergerak dipertambangan. Ya, mobil yang khusus melewati rute cukup berat. Jarak jalan yang akan ditempuh kurang lebih tiga ratus kilometer. Sebagain besar jalan ini masih dalam kondisi pengerasan, itu pun seluruhnya telah rusak berat dan berlumpur akibat hujan lebat. Beberapa kali kami bertemu antrian mobil-mobil yang tidak bisa bergerak sama sekali akibat ban tertanam di lumpur. Begitu pula menemukan mobil truk yang nyaris terguling karena tidak kuasa dipendakian, akibat licinnya jalan.

Sepanjang jalan, terdengar keluhan dari sejumlah rekan wartawan (yang kebetulan ikut rombongan, Red) terdengar lirih mengeluhkan kondisi jalan yang berlubang dan terkadang membenturkan kepala ke jendela atau ke atap mobil. Kami baru menemukan kondisi jalan yang sedikit baik  saat melewati perkampungan penduduk. Namun jalannya tidak beraspal. Dalam perjalanan tersebut beberapa kali mobil yang kami tumpangi terjebak dalam kubangan lumpur. Padahal mobil ini boleh dikata cukup tangguh, dan memiliki ban yang cukup besar serta dilengkapi dengan  fasilitas penarik mobil.

Saat memasuki daerah Desa Labuan, sebuah pohon raksasa tiba-tiba saja tumbang dan menghalangi jalanan. Akibatnya mobil seluruh rombongan bupati  tak berhasil lewat . Batang kayu yang rebah cukup besar. Ditambah lagi tidak adanya peralatan untuk membersihkan bangkai kayu tersebut melengkapi penderitaan perjalanan kali ini . Sejumlah Pol PP yang mengawal rombongan memberi kabar jika jalanan benar-benar tidak bisa dilewati. Sebagai alternatif rombongan harus memutar menuju Kota Baubau.

Sungguh benar-benar disayangkan. Mimpi merasakan jalan  alternatif tidak kesampaian. Saya hanya bisa  merasakan melewati jalan ini setelah mendengarkan cerita  Bupati Buton Utara. Sang bupati  sendiri mengaku telah tiga kali melewati rute  ini semenjak menjabat bupati. Dari cerita itu saya mengetahui jika rute  Kendari ke Buton Utara dapat ditempuh hanya dalam waktu dua jam saja. Jika memulai perjalanan dari  Buton Utara maka kita harus melewati jalan sekitar seratus kilo meter lebih menuju  Dermaga Labuan. Labuan sendiri adalah dermaga tertua peninggalan Jepang di ereke. Dahulu tentara jepang meggunakan dermaga ini untuk mengangkut peralatan perangnya untuk melakukan ekpansi ke daerah-daerah jajahannya. Dari Labuan kemudian kita menggunakan kapal speed selama kurang lebih dua puluh menit  menuju pelabuhan Desa Amolengu, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan. Selanjutnya, dari dermaga kendaraan angkutan siap mengantar kita melalui rute Kecamatan Moramo menuju Kota Kendari.   

Ada yang menarik perhatian saya selama dalam perjalanan menuju Labuan. Kami melewati  pegunungan yang hutannya masih padat. Ada pun sebagian hutan yang telah gundul akibat praktek perladangan. Diperjalanan, saya menyaksikan banyak kayu yang telah menjadi balok dan papan berada dipinggir jalan. Kelihatan bila kayu-kayu ini menunggu angkutan. Dari kondisi ini saya merasakan denyut praktik ilegal logging begitu marak di daerah ini. Ironisnya kondisi ini sangat minim perhatian dinas kehutanan setempat.

Saya mendatangi Buton Utara untuk ke tiga kalinya. Pertama kali saat menyaksikan daerah ini menuntut pemekaran. Dan kedua saat bersama pelaksana pejabat bupati  Buton Utara kedua Ridwan Zakaria, yang pada  pemilukada April 2010 lalu terpilih menjadi bupati difinitif. 

Suatu ketika, di Medio November 2008 silam, Bupati Ridwan Zakaria, mengajak beberapa wartawan memantau kondisi hutan Buton Utara . Daerah yang dituju adalah Kecamatan Kabowa. Tak sengaja rombongan berpapasan dengan para pencuri kayu. Melihat hal ini Bupati bahkan sempat mengejar para pembalak liar tersebut dan berhasil menangkap tiga pelaku. Saat diinterogasi bupati, para pelaku mengaku hanyalah suruhan dari seorang cukong kayu asal daerah ereke. Bupati kemudian meminta polisi kehutanan segera memproses hukum dan menyita kayu-kayu tersebut.

Masih dalam perjalan itu juga rombongan wartawan lagi-lagi menemukan ratusan kayu gelondongan di pinggir laut. Bahkan kayu yang telah dinomor tersebut sebagian sengaja ditenggelamkan ke laut denan alat pemberat. Penemuan kayu ini tentu menambah daftar parahnya kerusakan hutan di daerah tersebut. Kepolisian Daerah Sultra dalam beberapa tahun belakangan juga kerap menangkap kapal yang tengah mengangkut kayu. Setelah diperiksa kayu-kayu tersebut berasal dari hutan-huta di Buton Utara. Kayu-kayu ini akan dipasarkan ke daerah Sulawesi Selatan.   

Maraknya praktik ilegal logging di daerah itu tentu memiliki korelasi yang kuat dengan rusaknya jalan di Buton Utara. Sebab di jalan tersebut seluruh kayu gelondongan curian diangkut dengan menggunakan truk. Hutan alamnya dirusak sekaligus jalannya. Bisa dibayangkan berapa kerugian yang diterima daerah akibat ulah para pencuri kayu.  Belum lagi sumbangsih yang diakibatkan  dari kerusakan hutan, berupa banjir dan longsor. Tahun 2007 silam, di daerah Desa Laea pernah mendapat luapan banjir besar, hingga merendam rumah-rumah warga sekitar.  Tak heran warga lokal meminta pemerintah untuk segera menindak para pelaku pembalakan liar di daerah ini. "Kami harap pemerintah segera menindak para pelaku,"harap Asdar.

Kondisi serba kekurangan di daerah yang baru mekar ini tentu sangat beralasan. Pasalnya anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat masih jauh dari harapan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum dapat diandalkan pemerintah kabupaten  untuk pembangunan plus pengawasan. Melihat grafik PAD Buton Utara selama dua tahun  belakangan masih berada dikisaran tiga miliiar rupiah . PAD ini dipungut dari sejumlah sektor keuangan seperti pajak dan hasil bumi masyarakat.  Belum tergenjotnya PAD ini juga terkait belum adanya pemimpin bupati yang definitif. Sehingga anggaran masih tergantung pada pemerintah pusat.

Selama mekar pemerintah baru membangun infrastruktur berupa sarana perkantoran pemerintah saja. Ini dilakukan demi kelancaran pelayanan masyarakat. Sejumlah bangunan perkantoran telah berdiri kokoh di sejumlah tempat. Namun areal perkantoran bupati belum terbangun. Sayangnya, beberapa unit kantor dinas yang telah dibangun dibiarkan terlantar bahkan pintunya tampak disegel dengan kayu. Beberapa informasi yang berhasil dikorek menyebutkan jika pembangunan kantor tersebut bermasalah, terutama soal pembebasan lahan. Umumnya masih tanah masyarakat yang belum diganti rugi. Ada dua kantor yang 'bernasib sial' ini yakni kantor dinas pendidikan yang sudah dipenuhi rumput ilalang. Sayang memang, padahal kantor   ini telah dibangun tiga tahun silam.

Sunday, May 23, 2010

Edisi Ekspedisi Sultra

Mulai edisi Mei 2010 di blog ini akan saya akan mencoba mengupas ekspedisi kecil-kecilan mengelilingi sulawesi tenggara  yang ternyata memiliki kekayaan kazanah budaya dan tentu saja ragam probematika era otonomi daerah dan berpengaruh pada kondisi lingkungan di daerah kabupaten. Saya akan  mengupas dalam tulisan panjang serta dilengkapi dengan dokumentasi foto.

Friday, May 14, 2010

TNRAW Terendam Banjir


Sebagian besar kawasan taman nasional rawa aopa terendam banjir akibat tingginya curah hujan di kawasan tersebut.  foto: Lukman 

Wednesday, May 12, 2010

Diduga Ada Mafia Tambang di Kolaka

Komisi I DPRD Siap Lapor KPK dan Satgas Mafia Hukum

Amburadulnya pengelolaan Pertambangan di Kolaka menjadi perhatian wakil rakyat setempat, khususnya bagi anggota Komisi I DPRD. Pimpinan alat kelengkapan Dewan yang membidangi masalah pertambangan tersebut.

Joni Syamsuddin bersama Wakil Ketua, Suardi Pato dan Sekretarisnya,Syahrul Beddu bahkan mengancam akan melaporkan sejumlah kasus pertambangan di Kolaka pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Satgas Mafia Hukum, Kapolri dan Mentri Kehutanan.

Dari penelusuran awal Komisi I, sejumlah permasalahan pengelolaan tambang di Kolaka disimpulkan sangat kompleks. Mulai dari penambangan yang diduga dilakukan pada areal Hutan Lindung tanpa melalui izin pinjam pakai kawasan dari Mentri Kehutanan,menambang diluar diluar titik koordinat semestinya sehingga mencaplok sebahgian areal PT Antam.

Itu dibuktikan degan adanya surat keberatan dari PT Antam yang ditujukan kepada Dinas Pertambangan kolaka.“belumlagi masalah ketidak jelasan kontribusi PAD dari sektor pertambangan yang sejauh ini sangat minim. Untuk itu kami mendesak Bupati segera menghentikan aktifitas pertambangan sebelum ada kejelasan perizinan maupun kontribusi bagi PAD,” tegas syahrul Beddu.
 
Mereka menengarai,sejumlah pejabat di Kolaka terlibat grafitasi yang diberikan oleh pemegang Kuasa Pertambangan dalam bentuk fee royalty atau saham kosong dari setiap pengapalan hasil tambang.

Ketua Komisi I, Joni syamsuddin mengatakan kehadiran KP tidak memberikan asas mamfaat bagi masyarakat yang ada di tingkat operasi pertambangan dan peningkatan PAD Kabupaten Kolaka. Salah satu buktinya APBD Kolaka justru mengalami devisit.”

"Kita juga mengharapkan perhatian Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk segera membentuk tim verifikasi penyimpangan kegiatan pertambangan yang diduga telah terjadi di Kolaka,” ujar mantan Lawyer ini.

Satu suara dengan dua rekanya,Suarti Pato pun menambahkan, pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan tak terkontrol telah memberikan dampak bagi masyarakat.

Pemegang KP hanya melakukan pengerukan tanpa melakukan rehabilitasi pasca tambang.”

Akibatnya warga yang paling merasakan dampak kerusakan lingkungan,”tandas politisi Hanura ini.(kepos)

Tuesday, May 11, 2010

Masyarakat Adat Asera Usir Perusahaan Sawit dan Pertambangan

Ratusan warga Desa Sabandete dan Desa Walandawe, Kecamatan Asera , Kabupaten
Konawe Utara , Provinsi Sulawesi Tenggara membakar dan menebang seluruh pohon kelapa sawit yang berada di areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sultra Prima Lestari.

Tindakan massa petani tersebut dipicu sikap sawit PT Sultra Prima Lestari
yang hingga kini terus memperluas lahan perkebunan mereka sehhingga mencamplok tanah adat di dua desa tesrebut. Warga bersama tokoh adat telah berkali-kali mengingatkan agar pihak perusahaan agar segera menghentikan aktifitas penenaman namun tidak diindahkan.

Tindakan itu kemudian memicu kemarahan warga dan terpaksa memasuki areal konsesi sawit PT Sultra Prima Lestari dan menebang seluruh tanaman kepala sawit yang berada di areal seluas enam ratus henktar tersebut lalu membakarnya. Tak sampai disitu warga juga melarang seluruh kendaraan perusahaan melintas di kawasan tersebut.

Polisi yang tiba di lokasi tidak dapat berbuat banyak melihat tindakan warga, Polisi sempat melakukan mediasi dengan mempertemukan warga dan pihak perusahaan, namun tidak berhasil mencapai kesepakatan.

Masyarakat adat Desa Sabandete dan Desa Walandawe menolak keberadaan sawit PT Sultra Prima Lestari dan PT Pertambangan Bumi Indonesia karena telah mengambil tanah-tanah mereka. “Ini tanah adapt kami dan perusahaan tidak berhak mengeksploitasi tanah-tanah ini,”kata Idris, tokoh adat desa Walandawe.

Masyarakat Adat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, merupakan satu kesatuan hukum, adat istiadat dan geografis yang masih hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah Sambandete-Walandawe adalah yang dimaksud oleh Undang-Undang karena keberadaanya telah lama jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka.

Tetapi hal ini terkesan diabaikan oleh pemerintah khususnya Bupati Konawe Utara yang dalam proses penyelesaian sengketa Tanah adat Sambandete-Walandawe yang telah di serobot oleh PT. Sultra Prima Lestari (perkebunan Sawit) dan PT. Pertambangan Bumi Indonesia (Tambang Nikel) terkesan lambat dan sangat berlarut-larut.

Kesepakatan awal antara pemerintah selaku pemberi izin kepada perusahaan yang beroperasi di atas tanah Adat dengan Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe bahwa semua aktifitas diatas lahan akan di hentikan, tetapi sampai hari ini perusahaan – perusahaan yang ada di lahan tanah Adat bahkan semakin memperluas areal kawasan kelolanya.

Perlu untuk kita ketahui bahwa Eksekutif dan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah melakukan peninjauan lokasi, dan telah di temukan bukti-bukti bahwa banar adanya Lahan tersebut merupakan Tanah Adat masyarakat Adat Sabandete dan Walandawe yang telah turun-temurun di kuasai dan di manfaatkan oleh masyarakat secara arif dan berkelanjutan.

Sehingga secara kelembagaan DPRD Kabupaten Konawe Utara telah mengirimkan surat ke pihak eksekutif / Bupati untuk menerbitkan Surat Keputusan untuk mengakui lahan tersebut sebagai Tanah Adat masyarakat Adat Sambandete-Walandawe, tetapi sampai detik ini Bupati tidak melaksanakannya.

Adapun point-point tuntutan warga yakni menuntut pemerintah daerah Konawe Utara untuk segera mencabut Ijin Usaha Perkebunan Sawit (PT. Sultra Prima Lestari/SPL) dan Ijin Usaha Pertambangan (PT. Pertambangan Bumi Indonesia/PBI) Pada Kawasan tanah Adat Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe.

Menuntut Pemerintah/Bupati Konawe Utara untuk mengeluarkan Surat Keputusan pengakuan atas tanah adat Masyarakat Adat Sabandete-Walandawe, hal ini merujuk kepada hasil peninjauan lapangan dan Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten Konawe Utara.

Menuntut Perusahaan Perkebunan (PT. Sultra Prima Lestari/SPL) dan Pertambangan (PT. Pertambangan Bumi Indonesia/PBI) Yang Beroperasi pada Kawasan tanah Adat Masyarakat Adat Sambandete-Walandawe Untuk segera mengosongkan lahan

Banjir Rendam Tujuh Desa, Wakil Bupati Tuding Akibat Penggundulan Hutan

Banjir merendam  tujuh desa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara,  Senin siang. Desa-desa  yang terendam banjir ini adalah Desa  Gunung Jaya, Wande,  Dangia dan Poleang yang berada di Kecamatan Ladongi serta Desa Pungguloko dan Desa Tokai di Kecamatan Polipolia.
Banjir diakibatkan  curah hujan yang cukup tinggi  yang mengguyur selama dua hari belakangan. Tingginya genangan air sempat mengganggu arus tranportasi desa sehingga sebagian warga memanfaatkan kesempatan  untuk mendapatkan uang dengan cara menyewakan rakit untuk mengangkut kerndaraan bermotor yang terjebak banjir .
Selain itu air juga merendam ratusan rumah yang membuat warga terpaksa  mengevakuasi barang-barang mereka ke tempat yang lebih tinggi .
Banjir juga ratusan hektar areal persawahan yang siap panen serta merobohkan sebuah jembatan yang menghubungkan dua desa di kecamatan hingga terputus.
Warga mengeluhkan kegiatan penggundulan hutan disekitar wilayah mereka sehingga menyebabkan terjadinya baniir. “Banjir ini baru terjadi selama lima belas tahun terakhir. Hutan-hutan di sekitar desa mulai gundul  akibat maraknya illegal  logging,”kata Sudirman, warga desa  Tokai.
Warga meminta pemerintah untuk segera turun tangan menindak para pelaku pembalakan liar tersebut.
Wakil Bupati Kolaka , Amir Sahaka yang meninjau lokasi banjir  mengatakan selain curah hujan yang cukup tinggi penyebab banjir diduga akibat penggundulan hutan di wilayah kecamatan tersebut.

“Kami segera akan menerjunkan tim kehutana untuk mendeteksi aktifitas perambahan  hutan. Ini tentu tidak bias dibiarkan karena akan membawa bencana bagi warga sekitar,”tegas Amir Sahaka.
Beruntung banjir kali ini tidak menelan korban jiwa.

Saturday, January 30, 2010

OPINI

Pokok-pokok Pikiran Kaji Ulang Revisi Tata Ruang Wilayah Sultra (Bagian-2)

(Ahmad Zain/ Koalisi ngo penyelamat ekologi Genting-sultra )


Orientasi Pemerintah dan Permasalahan Yang Muncul

Penyusunan rencana tata ruang wilayah propensi salah satunya adalah mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang daerah (pasal 22 ayat 1c UU No.26 Thn 2007), serta memperhatikan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang kemudian dimuat kedalam arah pemanfaatan ruang wilayah propensi yang berisi indikasi program utama jangka menengah (pasal 23 ayat 1e UU No.26 Thn 2007). Hal ini mutlak dilakukan oleh pemerintah daerah Sulawesi tenggara guna: mewujutkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antara sector dan keharmonisan antar pemerintah daerah kabupaten/kota (Pasal 26 ayat 2d UU No.26 Thn 2007).

Jumlah penduduk Sulawesi tenggara dari angka Badan Pusat Statistik (BPS) Wilayah Sultra menunjukan angka 1.963.025 jiwa pada tahun 2005, jumlah ini kemudian mengalami kenaikan 5,70 % atau sama dengan 111.949 jiwa sehingga total jumlah penduduk mencapai 2.074.974 Jiwa pada tahun 2008. Ditahun yang sama pemerintah memperuntukan lahan bagi penduduk melalui kebijakan pemerintah terhadap pemanfaatan ruang adalah Areal Peruntukan Lain dengan jumlah 1.320.781,02 Ha pada tahun 2008 sehingga dari perbandingan angka rasio rata-rata untuk setiap jiwa mulai dari usia lahir dalam survey BPS sampai pada usia manula dapat menikmati lahan seluas 0,63 Ha per jiwa. Jadi sangat ironis bila langkah revisi tata ruang suptansi kehutanan yang di usulkan dengan menurunkan status kawasan hutan dengan alasan terjadinya kelangkaan tanah bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur serta pertanian dan budidaya.

Revisi tata ruang subtasi kehutanan oleh pemerintah mengorientasikan pada tiga sector : Peruntukan wilayah transmigrasi ; Sejumlah wilayah yang ditetapkan sebagai areal transmigrasi ternyata banyak menemukan masalah utamanya dalam hal izin/pelepasan kawasan belum dilakukan. Sementara penetapannya telah berlangsung dan secara otomatis proses pertumbuhan social ekonomi mengalami pertumbuhan namun disatu sisi mengalami masalah-masalah yang bersifat normative terkait dengan penetapan wilayah tranmigrasi tersebut sehingga masalah ini menjadi salah satu alasan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara merasa penting untuk merevisi Tata Ruang khusunya pada wilayah kawasan hutan. Selain peruntukan wilayah transmigrasi dalam revisi ini juga diperuntukan wilayah non transmigrasi” (sarana prasarana Sosial) yang sebenarnya juga memiliki ketersediaan lahan yang cukup memadai. Peruntukan wilayah budidaya dan pertanian dapat ditemukan secara kasat mata hampir diseluruh wilayah terdapat lahan yang belum secara maksimal tergarap (lahan tidur), peningkatan status areal peruntukan lain tidak serta merta perlu untuk ditingkatkan dengan alasan terbatasnya lahan budi daya dan pertanian masyarakat yang mencapai angka 149.263,48 Ha atau 11,30 %, justru pandangan ini terbalik jika banyaknya lahan yang belum maksimal di kelolah adalah karena lemahnya kapasitas masyarakat dan kurangnya perhatian/pelayanan pemerintah dan ketersedian infrastruktur yang tidak mendukung.


Semangat revisi tata ruang wilayah propensi suptansi kehutanan dengan alasan percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat sarat terhadap dampak penurunan kwaliatas ekologi. Telah digariskan dalam aturan penetapan kawasan berdasarkan petunjuk teknis kehutanan memperhatikan hasil scoring, kelerengan dan faktor ekosistim lainnya, sehingga dalam rencana revisi ini memperhatikan kriteria dan prinsip-prinsip tersebut. Demikian pula kebijakan pembangunan yang dirumuskan dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah daerah yang tidak memperhartikan nilai-nilai ekologi dan soial budaya justru akan lembih memperkeruh proses pembangunan itu sendiri. “Pembengunan yang menjadi harapan kita bersama diyakini akan selalu mengakibatkan perubahan social. Apakah kemudian terkait agenda revisi tata ruang yang terjadi hari ini telah memperhatiakn dimensi akuntabilitas social dalam artian terencana, pengelolaan ruang yang partisipatif, adil, transparan dan berkelanjutan, atau akankah proses pilihan kebijakan yang berdampak pada perubahan social dan ekologi disertai dengan kebijakan social dan pelesatian lingkungan?. Pengalaman panjang hampir disemua daerah di Indonesia yang menaglami Degradasi dan deforestasi hutan mengalami pergeseran pula pada nilai-nilai sosial dan budaya yang ada disekitar, akankah kenyataan ini semakin memperburuk kahuncuran ekologi?

Lagi-lagi rencana pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi (tambang dan perkebunan), terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di sulawesi tenggara.


Upaya pemerintah untuk merevisi tata ruang subtansi kehutanan yang ada, oleh sebagian pihak melihat bahwa upaya tersebut adalah dalam kerangka memutihkan beberapa wilayah yang telah bermasalah di sejumlah kawasan hutan.

PT. Damai Jaya Lestari, (perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi wilahyah Kecamatan Langgikima Kab. Konawe Utara dan wilayah Tangketada Kab. Kolaka mengajukan pelepasan status kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak

PT. Sultra Prima Lestari, (Perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi di wilayah Kab. Konawe Utara di ajukan permohonan pelepasan kepada mentri kehutanan namun hal ini pun ditolak

KP. PD. Sultra Utama (Pertambangan) telah mendapatkan izin Ekplorasi di dalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha.

PT. Ganesa Delta Pratama (Pertambangan) telah mendapatkan izin eksplorasi didalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluar 856 Ha

Pembukaan Jalan kabupaten dengan membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km, yang dilakukan oleh pemerintah Kab. Konawe Selatan.


Akan merusak Kawasan Ekologi Genting (KEG) :

Merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayati, dan keseimbangan suhu.

Merupakan Penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Merupakan Ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut


Pertimbangan terknis / sektoral

Status kawasan yang memiliki peruntukan dan fungsi kawasan yang berbeda sesuai dengan karakteristik ekosistim lingkangan kawasan itu sendiri, saat ini tengah terancam untuk diusulkan dalam revisi tata ruang suptasi kehutanan dalam periode pertama kali ini di Sultra. Keterancaman fungsi ekologi dan ekosistimnya termasuk masyarakat sekitar dan nilai-nilai yang ada pun menjadi bagiannya.


Kawasan hutan wilayah sultra yang tersebar didua belas wilayah administrasi kabupaten memiliki luas 2,493.218,98 Ha atau 62,97 % dari 3.814.000.00 Ha Luas wilayah Sulawesi Tenggara, tidak lepas dari lirikan rencana usulan dalam revisi ini. Berdasarkan SK.penunjukan Kawasan Hutan No. 454/Kpts-II/1999 menetapkan wilayah konservasi seluas 298.468,50 Ha atau sama dengan 7,83 persen dari luas keseluruhan wilayah sultra mengalami pergeseran atas usulan revisi seluar 38.972,85 Ha atau sama dengan 13,05 % penurunan status dengan tiga usulan perubahan dan peruntukan menjadi Hutan Produksi terbatas, Hutan Produksi dan Areal peruntukan lain. Hutan Lindung memiliki luas 1.105.778.35 Ha atau sama dengan 28,99 % dari luas wilayah sultra mengalami penurunan status mencakup hutan produksi terbatas, hutan produksi dan Areal peruntukan lain seluas 188.668,73 Ha atau sama dengan 17,06 % dari luas hutan sebelumnya, rencana usulan revisi perlu mempertimbangkan sebagaiman yang tertuang dalam peraturan pemerintah no 26 tahun 2008 tersebut dalam Pasal 57 Ayat (6) Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a) berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam b) memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami c). memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh d) memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia dan e). memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Untuk kawasan hutan lindung (HL) meski mengalami penurunan presentaser status namun dari status peruntukan dan difungsi kawasan yang lain (hutan produksi) mengalami penambahan seluas 37.249,46 Ha atau sama dengan 3,36 % total perubahan yang diusulkan menjadi 13,30 %. Telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah untuk Kriteria penetapan kawasan hutan lindung Pasal 55 ayat 1 menyatakan Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a). kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih. b). kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau c). kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut. Hutan Produksi Terbatas (HPT) memiliki luas 463.498,43 Ha atau sama dengan 12,15 % dari luas wilayah mengalami kenaikan fungsi seluas 130.523,42 Ha atau sama dengan 28,16 % sehingga luas total Status HPT menjadi 591.474,87 Ha, kenaiakan ini merupakan kontribusi dari penuruanan status kawasan konservasi 0,69 % dan Hutan Lindung 27,64 % namun disisi lain mengalami penurunan status untuk Areal Peruntukan Lain (APL) seluar 2.546,98 atau sama dengan 0,54 %. Hutan Produksi (HP) memiliki luas 490.849,45 Ha atau sama dengan 12,87 % dari luas wilayah sultra mengalami kenaikan fungsi menjadi 521.071,20, Ha atau sama dengan 13,74 %, penambahan luasan adalah kontribusi dari penurunan fungsi wilayah Konservasi seluas 6.748,35 Ha atau sama dengan 1,37 % dan penurunan fungsi Hutan Lindung seluas 60.722,86 Ha atau sama dengan 12,37 % kendati mengalami kenaikan status fungsi namun di sisis lain mengalami penurunan fungsi yang diperuntukan untuk Areal Peruntukan Lain (APL) dalam usulan revisi ini seluas 57.609,44 Ha atau sama dengan 11.73 % sehingga dapat dipastikan total kenaikan status mencapai 2,01 %. Hutan Produksi Konversi sebelum revisi memiliki luas wilayah 134.624,25 Ha atau sama dengan 3,53 % dari luas wilayah mengalami penurunan status sebagian menjadi Areal Peruntuakan Lain seluas 59.460,62 Ha atau sama dengan 44,16 %. Sementara luas Areal Peruntukan lain yang tersedia saat ditetapkannya luas wilayah Sulawesi Tenggara seluas 1.320.781,02 Ha atau sama dengan 34,63 % mengalami kenaikan seluas 149.263,48 atau sama dengan 11,30 % dari penurunan fungsi hutan Konservasi seluas 28.987,03 Ha (2,19 %), Hutan Lindung seluas 659,41 Ha (0,04 %), Hutan Produksi Terbatas 2.546,98 Ha (0,19 %), Hutan Produksi seluas 57.609,44 Ha (4,36 %) dan Hutan Produksi Konversi seluas 59.460,62 Ha (4.50 %).


Perubahan fungsi hutan yang dilakukan melalui usulan revisi ditetapkan oleh Mentri dengan berdasar pada hasil penelitian terpadu dengan mengunakan metode tertentu sesuai dengan peruntukan dan fungsi hutan itu sendiri. Pertimbangan usulan penurunan yang dilakuakan tidak hanya dengan mempertimbangkan fungsi ekosistim, fungsi penyangga air/serapan kelerengan dan berdasarkan tata cara dan kriteria lainnya dalam penetapan kawasan hutan yang lebih bersifat konservatif melainkan fungsi social, ekonomi dan budayapun harus menjadi pertimbangan didalamnya demi tercapainya kesejahtraan rakyat dan keadilan ekologi untuk generasi.


Dampak

Dampang dari penurunan status kawasan ekologi yang menjadi penyangga kehidupan dan ekosistim lingkungan memicu bermuara pada bencana ekologi dan social.

Dampak ekologi : menurunnya kualitas lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam terang membawa sejumlah dampak yang terjadi banjir dan tanah longsor kerap terjadi disejumlah desa di Sulawesi tenggara, kekeringan disejumlah aliran sungai akibat rusaknya mata air disepanjang das akibat tidak adalagi hutan tegakan pohon yang menahan air. Termasuk perubahan suhu dan curah hujan, serta badai angin dari sisi global.

Konflik social: tidak akuntabilatasnya proses yang dilakukan dalam merumuskan usulan revisi tata runang mengakibatkan munculnya sejumlah konflik dimasyarakat, fakta ini terjadi karena tidak ada peran serta masyarakat dalam menyusun revisi tersebut, wilayah yang secara terun-temurun dikelolah oleh masyarakat tergeser oleh kepentingan investasi akibatnya melahirkan konflik fetikal bahkan konflik horizontal.


Sikap Koalisi

Usulan revisi tata ruang wilayah propensi Sulawesi Tenggara subtansi kehutanan medorong reaksi para pihak terkait, sejumlah kalangan menilai bahwa usulan pemerintah daerah perlu untuk ditinjau kembali baik dari sisi tujuan orientasinya maupun teknis dan mekanismenya:

1. Evaluasi peruntukan revisi; Apakah benar adanya bahwa revisi RTRW-P Sultra merupakan kebutuhan pemukiman, dan trnasmigrasi serta untuk lahan perkebunan masyarakat, ataukah ini hanya jembatan pemerintah untuk mempermudah pemodal/infestor dalam mendapatkan kawasan yang mengandung kekayaan alam di dalamnya.

2. Penyelesaian konflik; Kalau benar adanya bahwa revisi RTRW-P Sultra diperuntukan untuk kebutuhan masyarakat, seharusnya lebih mengutamakan kawasan yang selama ini terjadi konnflik penguasaan lahan antara masyarakat dan pemerintah (Kontu-Muna, Masyarakat Adat Hukaya Laeya-TNRAW, dll)

3. Data base; Perlu kiranya pemerintah Provinsi Sultra untuk melakukan pendataan yang actual dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan, sebab data actual dilapangan menunjukan masih banyaknya lahan (APL) yang tidak terkelola dengan baik.

4. Perlunya tim bersama; rencana revisi RTRW-P substansi kehutanan Prov. Sultra dalam penyusunannya tidak transparan dan akuntabel, sehingga penting kiranya di bentuk Tim bersama untuk melakukan mapping dengan melibatkan stakeholder, serta melakukan konsultasi publik karena RTRW akan mempunyai dampak sistemik kepada semua sektor kehidupan dan bermasyarakat.

5. Memperhatikan persaratan/kriteria kawasan hutan ; Revisi RTRW-P substansi kehutanan Sultra tidak hanya mementingkan kepentingan sesaat dengan menurunkan status kawasan yang sesungguhnya menjadi kawasan Ekologi Genting.

6. Perubahan revisi tata ruang harus mengikuti hirarki penurunan status kawasan; usulan pemerintah Prov. Sultra sangat tidak masuk akal, dengan mengusulkan status kawasan Taman Nasional/ Suaka Marga Satwa (kawasan konservasi) langsung diturunkan statusnya menjadi Areal Peruntukan Lain (APL).

Penyakit DBD Mulai Mewabah

Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) melanda Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Ratusan penderita DBD hingga saat ini dirawat di sejumlah rumah sakit di kota ini. bahkan karena membludaknya jumlah pasien, pihak Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Tenggara dibuat kewalahan dan terpaksa merawat inap sejumlah pasien di lorong rumah sakit.


Banyak pasien terpaksa harus mendapat perawatan seadanya. Bahkan harus rela dirawat di lorong rumah sakit yang telah disulap menjadi ruang rawat inap. Menurut rumah sakit jumlah pasien DBD meningkat tajam sejak sepekan terakhir.”Kami kewalahan menangani pasien,”kata Masyta, Kepala Bidang Humas RSUD Sulawesi Tenggara.

Masyita mengaku sebagian besar para penderita DBD yang dirawat adalah anak-anak dan sebagian sisanya orang dewasa. Umumnya para pasien ini mengalami gejala demam yang cukup tinggi dan disertai mual dan muntah-muntah serta adanya tanda bintik-bintik merah di badan korban.

Sejumlah keluarga pasien nampak kuatir melihat kondisi anak mereka. Salah satunya adalah Rina, ibu pasien DBD yang kini dirawat di rumah sakit daerah sulawesi tenggara. Warga kelurahan Poasia, Kendari, ini mengaku sudah seminggu anaknya dirawat. “Hingga kini kondisi anak saya belum ada perubahan,”kata Rina, lirih.

Berdasarkan data rumah sakit, sejak awal bulan januari hingga akhir januari sudah terdapat kurang lebih seratus pasien lima puluh pasien yang dirawat. Dua diantaranya meninggal dunia. Sementara data Dinas kesehatan kota kendari warga yang meninggal akibat DBD mencapai lima orang.Diperkirakan jumlah penderita akan terus bertambah seiring perubahan cuaca dari musim panas ke musim hujan tahun ini.

Kurangnya kesadaran pada kondisi lingkungan menjadi penyebab merebaknya penyakit dbd yang terbilang mematikan ini. Ditambah lagi kurangnya kewaspasdaan masyarakat untuk segera membawa anak mereka ke rumah sakit, dimana rata-rata penderita dibawa sudah dalam kondisi kritis. Hal ini menambah daftar panjang pasien yang kritis, bahkan beberapa diantara pasien nyawanya tidak dapat tertolong lagi.

Wednesday, January 27, 2010

OPINI

Pokok-pokok Pikiran Kaji Ulang Revisi Tata Ruang Wilayah Sultra (Bagian-1)

(Ahmad Zain/ Koalisi ngo penyelamat ekologi Genting-sultra )

Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara yang saat ini tengah melakukan upaya untuk melakukan revisi Rencana Tata ruang wilayah sultra telah merumuskan dan mengahasilkan draf rancangan tataruang subtasi kehutanan wilayah Sulawesi Tenggara. Laju Pembangunan mengisaratkan pengaruh terhadap pemanfaatan dimensi ruang secara fisik sehingga mendorong pentingnya pengelolaan ruang lebih baik pula, terencana, adil, seimbang dan berkelanjutan. Demikian pula rencana pemerintah yang termuat dalam mandat revisi tata ruang yang diusulkan oleh pemerintah propensi Sulawesi Tenggara, bahwa dalam rangaka percepatan pembangunan wilayah Sulawesi tenggara dipandang perlu memaksimalkan pengelolaan “sumber daya alam” (baca; pidato sambutan gubernur dalam kunjungan Presiden Republik Indionesia bapak Susilo Bambang Yudoyono,Kendari tanggal 25 September 2008).

Sulawesi tenggara yang nota bene memiliki kakayaan sumber daya alam memang patut dibanggakan. Mengapa tidak, potensi kawasan hutan yang tersisa mencapai 62 % (Sumber data Kehutanan Propensi) menyimpan sejumlah kekayaan aneka ragam hayati dan nonhayati bahkan mineral. Namun disayangkan pengelolaan dan pemaanfaatan sumber-sumber alam baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui banyak menuai masalah, mulai dari masalah lingkungan, konflik social hinggap pada konflik politik.

Psikologi lingkungan hari ini terbelenggu oleh sebuah opsesi dan paradigma liberal, yang hanya meyakini bahwa perubahan dan kekuatan ekonomi kerakyatan hanya dapat digenjot oleh maksimalisasi pemanfaatan, pengelolaan sumber daya alam dengan mengeksploitasi sumber-sumbernya. Manusia (baca; rakyat) adalah sebagai subyek dari pembangunan, malah justru yang terjadi hari ini adalah masyarakat berada pada posisi dari rencana pembangunan, maka lahirlah kebijakan pembangunan yang selalu mengatas namakan Masyarakat, kesejahtraan, berkeadilan namun kenyataannya tidaklah dapat dirasakan langsung, malah justru melahirkan kesenjangan. Pada akhirnya masyarakat hanya bisa dijadikan obyek dari rencana pembangunan.

Dasar – dasar kebijakan

Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan saat itu pula wilayah Indonesia adalah satu kesatuan Ruang yang utuh yang menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia sebagaimana yang diamanahkan dalam pembukaan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan mengalami perubahan (Amendemen) yang salah satunya adalah mengakui kedaulatan segenap masyarakat adat. wilayah republic indonseia yang terbentang dari sabang sampai merokei adalah gugusan pulau yang memilki keaneka ragaman social, budaya dan ekologi yang tidak terpisahkan sehingga potensi ketersedian ruang adalah menjadi kekayaan bangsa yang perlu ditata baik fungsi dan pemanfaatannya bagi kesejahtraan segenap rakyat Indonesia. Maka dari itulah pemerintah Republic Indonesia mengeluarkan sebuah Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan ruang bagi hajat hidup rakyat Indonesia yang seyogyanya berasas dan bertujuan pada; keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan dan akuntabilitas sebagaimana disebutkan dalam BAB II pasal 2 UU No.26 Tahun 2007 pengganti undang-undang No.24 Tahun 1992. Kemudian diikuti dengan (peraturan pemerintah) PP. No 26 Tahun 2008 sesuai dengan pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai pertimbangan dalam peraturan pemerintah, pada tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan peraturan Daerah (PERDA) No. 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat tentu membawa dampak terhadap pemanfaatan ruang yang tinggi pula. Perluasan ruang pemukiman dan aktifitas pertanian, budidaya sebagai modal pemenuhan kebutuhan serta sarana dan prasarana sosial lainnya menjadi bagian dari pertumbuhan pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 17 ayat 1,2,3 dan4 yang memuat rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang, rencana pola ruang. Ketersediaan sumber-sumber yang bersifat alami sangat menentukan arah kebijakan pembangunan itu sendiri sebagai faktor pendukung paling mendasar, misalnya saja pada daerah aliran sungai (DAS), sebagai sumber pemasok air terhadap kebutuhan umat manusia dan budidaya pertanian serta industri baik yang berskala mikro maupun makro (BAB II, pasal 3 point a,b dan c UU No. 26 Thn 2007). Disinilah pemerintah sebagai pelayan public telah dipercayakan untuk menjamin kesejahtraan rakyat yang berdiam disuatu wilayah tertentu dengan memperhatikan keseimbangan pengelolaan dan pemanfaatan ruang secara adil dan berkenlanjutan. Pembangunan yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat (kebijakan social) adalah sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Orientasi kebijakan pembangunan tidak hanya bertumpu pada pengaruh pertumbuhan ekonomi global dimana segalanya lebih didominasi oleh kebijakan pasar. Masyarakat Sulawesi Tenggara saat ini mengalami massa transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat Industri, tidak serta merta ketersedian ruang lebih diperuntukan untuk pemenuhan investrasi bagi pemodal dalam pengembangan Ekonomi semata, namun penting diperhatikan inisitif model dan metode pengembangannya dalam pengelolan sumber daya alam dimasa transisi ini.

Rencana pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara untuk merevisi tata ruang Wilayah Sulawesi Tenggara substansi kehutanan sebagai mana yang diatur dalam Undang Undang No. 26 tahun 2007 pasal 16 masih bersifat subjektif, tidak mengakomodir peran serta masyarakat sebagai mana yang diatur Undang Undang No. 26 tahun 2007 BAB VIII pasal 65 ayat 1,2 dan 3, namun sangat disayangkan, Peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran Masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud Undang Undang No. 26 tahun 2007 pada pasal 65 ayat 1 Belum ditetapkan. Fakta lapangan menunjukan banyaknya industri raksasa yang hadir di Sulawesi Tenggara dalam kurun waktu 30 tahun tidak siknifikan memicu pertumbuhan ekonomi rakyat, sementara laju kerusakan sumber daya alam terus meningkat. (bersambung)

Tuesday, January 26, 2010

Menilik Nasib Perda Lingkungan Berbasis Masyarakat

Perda Lingkungan Berbasis Masyarakat seyogyanya segera diterapkan dimasyarakat oleh pemerintah khsusnya dalam pengabilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Namun harapan tersebut urung terwujud, bahkan belum perna sekalipun digunakan pemerintah dan masyarakat lingkungan di Sultra.

"Padahal kalau digunakan peranb serta masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dapat lebih dihargai,"kata Kasim, aktifis LSM sekaligus salah satu penginisiatif lahirnya perda tersebut.

Kasim mengaku heran jika pembahasan mengenai SDA seperti sektor pertambangan, hutan pemerintah  urung membuka lembaran aturan yang telah disah parlemen Tahun 2005 silam. "Ini ada apa,"kata Kasim terheran-heran.

Tak hanya Kasim sejumlah elemen pemerhati lingkungan mendesak pemerintah daerah untuk segera menerapkan aturan berkenaan den pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Hal ini melihat masih banyaknya kebijakan PSDA yang berorientasi eksploitatif seperti dikeluarkannya Ijin pertambangan dan periijinan sektor kehuatanan lainnya yang sifatnya hanya berorientasi PAD.

Hal lain yang tidak dilakukan pemerintah adalah belum menerapkan kebijakan mengenai pembentukan komisi teluk, komisi perairan dan beberapa kmisi yang sipatnya menyelamatkan area lingkungan yang telah mengalami kerusakan.

“Harusnya pemerintah segera memikirkan tindaklanjut pembentukan komisi yang sudah diatur dalam perda tersebut, sebab jika tidak keberadaan perda yang telah menghabiskan anggaran cukup besar dalam pembentukannya itu akan mubasir. Dan jika itu yang terjadi berarti pemerintah telah mengabaikan sebuah produk aturan yang telah dibuat bersama multistakholder tersebut,”kata Midwan, Koordinator Divisi Kampanye Green Press.

Belum efektifnya penerapan Perda yang disahkan dalam paripurna DPRD 2005 lalu tersebut, menunjukkan kurangnya inisiatif pemerintah dalam hal ini instansi teknis dalam menjalankan semua produk aturan yang ditelah dibuat sendiri. Juga menunjukkan kurangnya kepedulian pemerintah akan problem lingkungan yang terjadi di daerah ini.

Seperti diketahui sejak dua tahun silam Green Press bersama beberapa LSM di Kendari seperti CARE International Indonesia, LePMIL, Walhi, SULUH Indonesia dan NGO lainnya, Green Press turut memberikan kontribusi penting dalam mendorong proses komunikasi para pihak, terkait penyelamatan lingkungan.

Upaya Green Press bersama LSM lain dan juga Bappedalda Sulawesi berhasil mendorong lahirnya peraturan daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2005 tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis masyarakat. Sayang penerapan perda ini belum berjalan efektif oleh pemanku kepentingan terutama pemerintah.

Mencipta Brandad demi Masa Depan Pariwisata Wakatobi


Surga Nyata Bawah Laut di Tengah Segi Tiga Karang Dunia menjadi ikon kampanye pariwisata Kabupaten Wakotobi. Tak main-main, ikon yang juga visi pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam memajukan sektor pariwisatanya ini telah terdengar hingga ke belahan dunia. Semua ini berkat kerja keras Bupati Wakatobi, Ir Hugua, untuk terus mepromosikan wisata kebudayaan daerahnya ke sejumlah negara. Berikut wawancara dengan Bupati Wakatobi, Ir Hugua.

Pariwisata Wakatobi sudah dikenal sampai ke Berbagai Negara. Apa saja kiatnya?

Kalau kita bicara pariwisata sebenarnya kita berbicara branded. Yang berarti kita harus membangun image. Karena segala sesutunya, tugas manusia di bumi ini kan membangun image. Image negatif bagi pariwisata tidak ada gunanya, jadi kita harus bangun image positif. Langkah yang dilakukan pemerintah sekarang ini berdasarkan visi. Jadi, visi Wakatobi itu di tengah-tengah percaturan global, Wakatobi menawarkan satu ikon wisata andalan yakni “surga nyata bawa laut di pusat segi tiga karang dunia”. Itu brand atau merek yang pertama. Tapi kan mereka ini tidak cukup dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata dan dukungan semua pihak.

Tindakan nyata seperti apa?

Pariwisata itu adalah budaya. Jadi masyarakat Wakatobi harus berbudaya. Kita melihat kenapa banyak orang datang ke bali, bukan karena keindahan pantainya, tapi karena budayanya. Jadi, mau mengembangkan pariwisata kebudayaan maka masyarakat harus mengetahui apa itu budaya. Jadi ragam budaya yang kita tonjolkan lewat tarian, lewat pagelaran adat dan semuanya, sebetulnya hanya sebuah symbol. Intinya adalah menunjukkan kepada dunia bahwa masyarakat Wakatobi itu berbudaya. Misalnya, kalau ada tamu, sambut dengan ramah kedatangan mereka, hormati mereka, jika perlu jaga barang-barang mereka, jangan sampai ada kecurian atau ada gangguan yangmembuat tamu tidak nyaman. Karena orang berwisata itu mencari kenyamanan dan ketenangan diri. Sebab itu maka, kalau Sultra mau menempatkan diri sebagai kawasan pariwisata maka yang paling penting adalah bagaimana pemerintah daerah, masyarakat, pengusaha dan seluruh stakeholder, menjaga yang namanya budaya itu. Yah, kalau ada kerusuhan, ada tawuran, sebentar-sebentar turun ke jalan unjuk rasa, maka pariwisata sector pariwisata pasti terpengaruh.

Kenapa Anda begitu optimis dengan masa depan pawisata Wakatobi?

Saya berlatar belakang kan aktifis LSM, konsultan diberapa lembaga dunia seperti ADB, World Bank. Jadi sebelum saya jadi bupati, sudah lima seluruh benua di dunia ini saya datangi. Saya sudah banyak melihat, bagaimana pariwisata di Eropa, Asia, Afrika hingga Australia. Dari rangkaian perjalanan itu Saya punya kesimpulan bahwa Wakatobi punya keunikan. Tidak ada pulau di dunia ini seunik Wakatobi. Dan saya yakin bahwa Wakatobi ini kelas dunia. Kejernihan airnya, keindahan bawah lautnya, keindahan budayanya yang paling beragam di Sultra. Kenapa? Karena diapit oleh Flores, diapit Halmahera, pulau Buruh, Buton, Bonerate, yang semua ini menimbulkan akulturasi budaya. Dan itu terlihat di Wakatobi. Di sana ada budaya Flores, ada budaya Halmahera, ada budaya Bonerate, budaya Buton, budaya Muna terlihat di sana. Apalagi Kita punya dua even internasional. Yang pertama namanya ATL (Asosiasi Tradisi Lisan). Melalui even mendatangkan wisatawan-wisatawan mancanegara. Dengan peserta 300-an orang dari berbagai negara. Kenapa itu, karena negara-negara ini mengapresiasi Wakatobi sebagai daerah berbudaya. Bayangkan, sebuah kabupaten kecil membuat even untuk membangun negara. Kita bangun Indonesia ini dengan budaya. Ini kan sangat terhormat. Saya katakan ke mereka, di Wakatobi kan tidak ada hotel berbintang. Apa jawabannya? Kita datang menginap di rumah masyarakat dan itu adalah kebudayaan.

Bagaimana dukungan media pada sector pariwisata Wakatobi saat ini?

Dukungan sangat besar. Itu harus diakui. Pariwista Wakatobi tidak bisa dikenal orang, tanpa publikasi media. Hampir seluruh media hari ini memuat tentang Wakatobi. Bukan saja media-media nasional tapi juga media-media internasional seperti media di negara-negara Eropa dan Amerika. Baik media elektronik maupun media cetak, memuat tentang Wakatobi. Secara serentak media di Belanda, Singapura, Perancis, Virginia memuat tentang Wakatobi. Gencarnya pemberitaan wakatobi di media tentu saja memberi ‘getaran’ karena kita telah tetapkan strateginya mendunia. Dua atau tiga tahun kedepan baru akan kelihatan hasilnya. Wisatawan mancanegara akan datang dengan rute, Bali-Wakatobi, Makassar-Wakatobi dan Menado-Wakatobi dan itu MoU-nya telah kita tandatangani.

Adakah upaya Mensinergikan Pariwisata Wakatobi dengan Pariwisata Sultra?

Kita harus yakin. Wakatobi kan bagian dari Sultra. Bagian nasional. Jadi, Wakatobi itu mestinya masuk dalam regional strategic. Misalnya, antar bupati atau antar wakil bupati mengambil peran dimana dalam mensinergikan misi kepariwisataan ini. Lalu, Sultra juga harus menjadi bagian dari strategi nasional. Jadi masing-masing kabupaten harus konek. Harus ada interkoneksi. Jadi, Dinas Pariwisata Provinsi itu harus mempunyai kebijakan dasar dalam rangka men-chain, atau merantai, mengkoneksikan antara beberapa daerah dan mereka harus lebih aktif, menyampaikan potensi pariwisata di daerah ini secara nasional. Itu yang lebih penting. Membuat lebih awal itu penting, jadi visi, visi pariwisata Sultra itu apa. Sebagai bagian dari wilayah Sultra, Wakatobi punya komponen yang mendukung jika mengembangkan parisata Sultra. Misalnya, Wakatobi punya bawa laut, Buton ada keratonnya, Muna ada miniatur hutan jatinya, Kolaka dengan kota pelabuhannya, Bombana dengan pulau Sagorinya, ini diperlukan kebijakan secara provinsial yang disebut strategi regional di bidang pariwisata. Kalau dianggap berat untuk dilaksanakan maka Wakatobi akan jalan sendiri.

Apa strategi membangun sinergitas sector pariwisata antara wilayah di Sultra?

Sangat banyak strategi yang bisa dijalankan. Kita bisa membangun sinergitas hubungan pariwisata antarkabupaten. Kabupaten di Sultra. Kebetulan wakatobi sudah memiliki jaringan website yang telah mendunia. Kalau mau silahkan linking ke Website WWW.Wakatobi.Info. Ini salah satu upaya saya, tapi ini formal. Saya menawarkan kepada provinsi. Website Wakatobi itu kalau dilihat penampilannya bukan seperti website Pemda yang ada selama ini yang penuh dengan data-data statistik, bukan berapa industri, bukan berapa kavling tanah, berapa jumlah ayam, kambing, sapi dan sebagainya. Yang kita tawarkan adalah daya tarik pariwisata dan kekayaan kazanah budaya kita yang indah-indah itu. Temasuk keragaman sumber daya alam seperti keragaman mahluk bawah laut itu, dengan harapan bias menarik minat orang untuk melihat dan pada akhirnya mau datang ke daerah kita.(*)

Monday, January 25, 2010

Kerusakan Hutan Penyebab Banjir Bandang


Kerusakan hutan di kawasan pegunungan mekongga menjadi penyebab utama banjir bandang di Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ini terlihat dari material berada di bekas lokasi banjir di lima desa yang tertimpa bencana. Material sepeti kayu gelondongan sisa hasil tebangan dan lumpur yang terbawa menunjukkan ada jejak kerusakan dalam kawasan.

Puluhan kayu berdiameter antara 50- 70 Cm yang sudah diberi nomor juga ditemukan di lokasi banjir. Kayu-kayu ini diduga milik perusahan kayu yang kini beroperasi di sekitar kawasan hutan mekongga.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang berkunjung ke lokasi banjir bandang di Kolaka Utara hingga tercengang-cengang melihat fakta banyaknya kayu sis olahan di lokasi banjir. Tak urung Nur Alam pun mengaku prihatin dengan maraknya pembalakan liar di kawasan hutan Kolaka dan Kolaka Utara sehingga menyebabkan bencana banjir bandang.

Gubernur meminta agar pemerintah daerah segera menindak tegas para pelaku pembalakan liar di kawasan tersebut. "Saya sudah melihat langsung ke lokasi banjir dan disana terdapat sisa hasil tebangan berupa kayu olahan. Pemda Kolaka Utara sebaiknya segera membenahi dan menertibakan para pembalak liar,"kata Nur Alam, Sabtu (23/1) .

Para pencinta alam bahkan berani mengklaim jika kerusakan hutan tersebut merupakan hasil ilegal logging yang kini marak di kawasan pegnungan mekongga.

"Beberapa kali kami melakukan perjalan menunju puncak pegunungan Mekongga kami menemukan jejak pembalakan liar besar-besaran.
Bahkan sudah terdapat jalur mobil yang menuju pos empat jalur Mekongga,"kata Irfan, seorang pencinta alam dari gugus rimba Sultra.

Irfan yang menunjukkan peta lokasi pegunungan Mekongga ini menduga perusahaan kayu yang kini beroperasi dalam kawasan berada di balik kerusakan kawasan ini. "Pemeritah Kolaka seharusnya segera menindak para pengusaha kayu yang beroperasi di sekitar lokasi,"kata Irfan.

Selain kerusakan hutan akibat ilegal logging, aktifitas pembukaan kawasan perkebunan rakyat dengan cara menkonversi hutan menjadi lahan perkebunan juga diduga menjadi penyumbang kerusakan lingkungan di daerah Kolaka Utara.

Jejak perkebunan telah terlihat membentang saat memasuki pintu kawasan Kabupaten Kolaka hingga Kolaka Utara. Warga yang gemar menanam tanaman produkstif jangka panjang seperti kakao dan cengkeh dan lada terlihat sejauh mata memandang. Tak heran di dua daerah ini 10 tahun silam masyarakatnya pernah mengalami 'booming' hasil pertanian.

Pegunungan Mekongga sendiri merupakan kawasan yang menyimpan resapan air cukup besar yang mengalir ke seluruh sungai di kawasan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Diantara sungai yang menerima limpahan air dari Mekongga yakni sungai Tinukari dan Lasusua.

Bukan kali ini saja Kolaka Utara dilanda banjir bandang. Tahun 2008 silam, wilayah yang telah telah lima tahun memisahkan diri dari kabupaten induk Kolaka ini juga dilanda banjir bandang, tepatnya di Kecamatan Rante Angin. Terdapat dua desa tertimba bencana dimana banjir besar merendam ratusan rumah dan puluhan diantaranya rusak parah. Meski tidak ada korban jiwa, namun bencana tersebut menyebabkan kerugian cukup besar bagi masyarakat yang terkena banjir.

Dan tahun 2010 ini Kabupaten Kolaka Utara membali tertimpa bencana dan telah menelan korban jiwa 10 orang tewas dan 5 orang dinyatakan hilang dan diduga telah tewas.

Saturday, January 23, 2010

Jumlah Korban Tewas Bertambah










Jumlah korban tewas akibat banjir bandang yang menerjang dua desa masing di Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara terus bertambah. Sabtu sore sore warga bersama tim SAR Kolaka kembali menemukan tiga mayat di Sungai Batuganda sekitar lima ratus meter dari pemukiman warga. Korban ditemukan tertimbun Lumpur dan tersangkut pada rimbunan bamboo. Penemuan mayat ini menambah jumlah korban tewas menjadi delapan orang.
Petugas sempat membawa jenasah korban ke Rumah Sakit Lasusua untuk diotopsi. Sejumlah keluarga korban langsung histeris di rumah sakit, saat mengetahui korban tewas akibat terseret banjir.
Data satuan koordinasi penaggulangan bencana alam sulawesi tenggara mencatat hingga sabtu malam sudah delapan orang ditemukan tewas akibat terjangan banjir banding, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah menyusul sejumlah nama yang dinyatakan hilang oleh keluarganya. Petugas medis juga berusaha memberikan bantuan medis kepada sejumlah korban.

Hingga kini warga masih memilih bertahan di rumah mereka dan tidur seadanya dilantai rumah yang telah rusak. Namun warga terpaka harus mengungsi ke desa tetangga yang tidak terendam banjir.

Banjir bandang menerjang sejumlah wilayah di Kecamatan Lasusua disebabkan meluapnya tiga sungai yaitu, sungai Lasusua, Sungai Rante Limbong dan Sungai Salumeja. Tingginya curah hujan dan adanya kerusakan hutan disepanjang sungai akibat ilegal logging menjadi penyebab utama melupanya air.

Kepala Desa Rante Limbong, Abdul Halim mengatakan banjir bandang terjadi secara tiba-tiba dan di luar dugaan warga. Sebab hujan yang turun sebenarnya tidak terlalu deras meski berlangsung sejak maghrib. "Sebelum banjir datang Saya sempat mendengar suara gemuruh. Waktu Saya keluar cek beberapa rumah warga sudah mulai terendam banjir, Saya langsung perintahkan warga untuk mengungsi," terang Abdul Halim

Wakil Ketua DPRD Kolaka Utara, Anton yang dihubungi mengatakan, korban terbanyak berasal dari Desa Batu Ganda dan Rante Limbong. "Sampai sekarang tim gabungan SAR, TNI/Polri, Pemkab Kolut dan warga masih terus mencari korban hilang itu. Sementara korban selamat telah dievakuasi ke tempat yang aman," terang Anton.

Kabag Humas Pemkab Kolaka Utara, Tahrim Modi mengaku, selain Rante Limbong dan Batu Ganda, beberapa desa juga terendam banjir antara satu hingga satu setengah meter, daerah yang terendam banjir tersebut meliputi Desa Patowonua, Tojabi dan Kelurahan Lasusua. "Saat ini Pemkab Kolut telah menyalurkan berbagai bantuan obat-obatan dan makanan. Korban luka-luka saat ini sudah mendapat perawatan di rumah sakit Jafar Harus Lasusua," terang Tahrim.

Friday, January 22, 2010

Banjir Bandang Terjang Dua Desa, Lima orang tewas, Delapan Hilang









Banjir bandang menerjang dua desa masing-masing Desa Watuganda dan Desa Rantelimbong, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, Jumat dini hari.
Akibatnya lima orang dinyatakan tewas dan delapan orang lainnya dinyatakan hilang. Para korban yang tewas masing-masing, Supu (60 tahun), Nining (30 tahun), Febi (7 tahun), Ferdi (5 tahun) dan Ahsan (7 tahun).

"Ke lima korban tewas adalah warga Desa Batuganda. Kelimanya masih satu keluarga,"kata Drs Tahrim MSi, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pemerintah Kolaka Utara, Jumat (22/1).
Tim SAR dibantu relawan dari warga sekitar telah mencoba menyurusi sungai Watuganda untuk mencari keberadaan para korban yang hilang.

"Kemungkinan besar para korban yang hilang telah tewas mengingat rumah para korban berada disekitar bantaran sungai,"kata Tahrim.

Munawarah saksi mata mengungkap banjir melanda saat sebagian besar warga tengah terlelap, sehingga tidak sempat menyelamatkan diri. "Saat itu ketinggian air mencapai dua meter akibat sungai Batuganda meluap,"kata Munawara, warga Watuganda.
Maraknya penggundulan hutan di hulu sungai ditanbah curah hujan yang tinggi diduga menjadi penyebab meluap sungai Batuganda.
Tak hanya korban jiwa, puluhan rumah serta kendaraan warga rusak berat diterjang banjir. Untuk sementara warga terpaka harus mengungsi ke desa tetangga yang tidak terendam banjir. Hingga kini belum diketahui besar kerugian yang diakibatkan banjir tersebut.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam melalui satuan penanggulangan bencana alam daerah langsung memerintahkan untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan ke daerah yang tertimpa bencana alam tersebut. "Saya telah menginstruksikan untuk segera mengirim bantuan obat-obatan dan makanan ke lokasi bencana,"kata Nur Alam usai rapat koordinasi tanggap darurat bencana dengan dinas terkait dan pemerintah Kabupaten Kolaka Utara.

Thursday, January 21, 2010

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Tanjung Peropa merupakan kawasan konservasi suaka marga satwa yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) pada tahun 1986. Kawasan konservasi ini terletak di kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang diapit oleh pemukiman penduduk yaitu kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.

Kawasan seluas 38.937 hektar ini didalamnya terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian dengan metode jalur dan petak, di kawasan ini pada tahun 2003 lalu.

Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam.

Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna. Nah, proses ini berjalan dari tahun ketahun dan memungkinkan terbentuknya berbagai varian spesies unik yang memiliki endemic organisme tinggi.

Menurut Priehanto SP, staf ahli Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra bahwa pulau Sulawesi disebut-sebut sebagai wilayah yang memiliki tingkat endemitas tertinggi setelah Papua. Selain itu, dia juga memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna ke-tiga setelah Papua. Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri.

Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan. Priehanto menggambarkan, satwa Anoa (Buballusp), merupakan maskot fauna identitas Sulawesi Tenggara. Jumlah populasi dari tahun ke tahun hewan bertanduk itu, terus mengalami penurunan.

Pada tahun 2000 sampai 2003, Abdul Haris yang saat ini Wakadis Kehutanan Sultra, pernah melakukan penelitian mengenai Anoa di kawasan Konservasi Tanjung Peropa. Hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata populasi Anoa saat itu tinggal 5-6 ekor yang hidup di kawasan konservasi seluas 38.927 hektar ini. Bila diperkirakan dengan perbandingan luas hutan konservasi dengan kepadatan ideal (0,9 ekor/kilo meter), mestinya yang hewan Anoa yang tersisa adalah 350 ekor.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 merupakan peraturan yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Dalam PP itu dinyatakan bahwa satwa liar dan langka di Indonesi dibedakan menjadi dua golongan yaitu satwa tak dilindungai dan satwa yang dilindungi. Satwa yang dilindungai mencakup populasinya jarang atau mendekati kepunahan; biasanya karena populasinya sangat kecil dan tingkat pertumbuhannya lamban.

Karena itu polemik yang terjadi di Tanjung Peropa saat ini, tidak boleh dipandang sebelah mata. Adanya tuntutan masyarakat untuk segera dibukakan jalan dengan tidak mengorbankan kawasan Tanjung Peropa, menjadi tanda kalau perhatian pemerintah terhadap rakyatnya masih kurang. Belum lagi banyak kasus illegal loging di kawasan Tanjung Peropa yang telah mencuat akhir-akhir ini, menandakan bahwa tak ada perhatian cukup dari pemerintah terkait penegakan hukum di wilayah kawasan konservasi ini.

Padahal kata Priehanto, payung hukum untuk kegiatan perlindungan satwa ini sudah jelas, dan juga disertai sanksi pidana kepada pelanggarnya. Pengecualiannya adalah untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahun dan penyelamatan jenis satwa atau tumbuhan yang bersangkutan. Dia juga menyayangkan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas kasus di kawasan konservasi ini.

Selain sanksi hukum, penyuluhan dan sosialisasi pada warga juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Diluar dari berbagai upaya tersebut, tindakan yang harus diambil adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang memadai (preemtif), pengawasan (preventif) dan represif yakni tindakan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap satwa liar tanpa dilengkapi dokumen yang sah. Karena tanpa demikian yakinlah satwa dan tumbuhan di dalam kawasan Tanjung Peropa akan punah akibat ulah manusia itu sendiri. (kp)

Polisi Didesak Selesaikan Kasus Hukum Penyerobotan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Peropa

Sejumlah aktifis LSM lingkungan hidup mendesak pengusutan kasus penyerobotan kawasan hutan lindung Tanjung Peropa yang dilakukan dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan dalih membangun jalan penghubung antara kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.

Menurut para aktifis LSM, kinerja polisi sangat lamban dan terkesan tidak serius mengungkap kasus penyerobotan hutan lindung peropa tersebut. “Penyidikan polisi sudah berlangsung kurang lebih setahun lamanya, tapi hingga kini belum ada titik terang penyelesaian kasus tersebut. Karena itu sikap kepolisian patut dipertanyakan,"kata Iwan, Koordinator advokasi Perkumpulan Green Press, sebuah lembaga perkumpulan wartawan lingkungan di Kendari.

Menurut Iwan seharusnya kepolisian bisa lebih transparan pada kasus ini agar publik mengetahui kejelasan hukum kasus ini. "Beberapa kali kami mempertanyakan langsung ke kepolisian, tapi polisi selalu menjawab bahwa masih terus melakukan penyidikan. Tentu saja sikap polisi ini menimbulkan kecurigaan,"katanya.

Hal senada diungkapkan Hartono, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara. "Proses penyiidikan tindak pidana kehutanan ini telah dimulai sejak pertengan Mei 2008, namun hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan. Penyidikan kasus tanjung peropa sangat tidak transparan. Polisi seolah menyembunyikan kasus ini dari publik dan sampai hari ini tidak pernah ada ujung kejelasan penyelesaiannya. Kami kawatir kasus ini akan 'dipetieskan' polisi," kata Hartono.

Hasil investigasi bersama antara Green Press, Walhi dan tim kecil WWF Indonesia di Kendari mendapatkan data luasan kawasan yang telah rusak mencapai bentang 9 KM meter yang telah dibuat jalan. Jalan ini membelah kawasan Tanjung Peropa yang dimulai dari Kecamatan Moramo Utara. Hasil pengecekan titik koordinat di lapangan diketahui pembukaan jalan tersebut selain masuk dalam kawasan konservasi suaka margasatwa tanjung peropa sepanjang 17 KM di kecamatan laonti, juga masuk melalui kawasan hutan lindung tanjung peropa sepanjang 9 KM di Kecamatan Moramo Utara.

Ke tiga lembaga ini kemudian mempersoalkan kegiatan yang dilakukan pemerintah konawe selatan tersebut. "Kegiatan pembangunan jalan dalam kawasan itu adalah bentuk arogansi kekuasaan yang cenderung mengabaikan perundangan yang ada. ”Kami melihat bentuk arogansi yang dipertontonkan pemda konawe selatan dengan kekuasaan yang ada bupati leluasa menabrak aturan yang telah ada,”kata Hartono.

Walhi juga menganggap pemerintah konawe selatan tidak memiliki itikad memberikan perlindungan lingkungan terutama memproteksi kawasan-kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung yang ada di daerah itu. Kasus penyerobotan itu sendiri dinilai melanggar UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan Undang Konservasi Sumber Daya Alam Nomor 5 tahun 1990.

Tak hanya aktifis lingkungan yang mempersolakan kasus penyerobotan tersebut melainkan juga pemerhati masalah korupsi. Asnar dari Forum Penegak Hukum Sulawesi Tenggara mensinyalir adanya dugaan korupsi pada proye pembangunan jalan di kawasan hutan lindung tersebut. Pasalnya dana yang digelontorkan tidak sedikit.

Menurut Asnar, Tahun 2006 , atas persetujuan DPRD, pemerintah Kabupaten Konawe Selatan telah membuat peraturan daerah terkait pembangunan jalan penghubung antara Kecamatan Laonti dan Kecamatan Moramo. rencana pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti dengan menganggarkan dana melalui APBD secara keseluruhan sebesar Rp 4,460 miliar masing-masing pembangunan jalan Lapuko-Tambolosu sebesar Rp 2,600 Miliar dan Rp 950 juta melalui kegiatan swakelola oleh dinas PU Konawe Selatan.

Namun tahun 2008 proyek ini terhenti menyusul protes Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara yang menganggap pembangunan jalan dalam kawasan tersebut melanggar undang-undang.

“Gagalnya pembangunan jalan ini memicu terjadinya kerugian keuangan Negara yang tidak sedikit,"kata Asnar.

Kasus Hutan Lindung Tanjung Peropa ini juga sempat dipersoalkan Kantor Balai Koservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara. Bahkan BKSDA menilai tindakan pemerintah kabupaten Konawe selatan sebagai tindakan penyerobotan kawasan konservasi/ suaka margasatwa. Kasus ini resmi dilaporkan ke Polda Sulawesi Tenggara pada tanggal 13 Mei 2008.

Berdasarkan laporan tersebut Polda Sulawesi Tenggara bersama BKSDA dan BIPHUT Kendari melakukan pengecekan lapangan pada tanggal 21 Mei 2008 untuk memastikan letak lokasi yang dibuka untuk pembuatan jalan. Diantara saksi yang diperiksa adalah para petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dalam laporan ke polisi BKSDA menganggap kebijakan membongkar kawasan lindung Tanjung Peropa merupakan kegiatan ilegal karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Ironisnya kegiatan pembukaan jalan dengan cara membongkar kawasan ini belum mendapat ijin dari Menteri Kehutanan sebagai pemegang otoritas atas ijin kawasan. “Apa yang dilakukan pemeritah konawe selatan itu adalah kagiatan illegal tanpa koordinasi dengan instansi berwenang,”kata Priehanto petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BKSDA yang juga menjadi saksi kasus tersebut.

Bupati Konawe Selatan, Drs H Imran Msi menilai pembangunan jalan di kawasan hutan lindung tersebut semata-mata hanya untuk membuka akses antara daerah Kecamatan Laonti dan Moramo. ”Daerah ini sangat terisolir dari daerah lainnya di Konawe Selatan. Ini menjadi tugas pemerintah menjawab tuntutan aspirasi masyarakat Laonti,”kata Imran.

Sementara Kabid Humas Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara AKBP Fahrurozi mengaku telah memulai melakukan penyidikan kasus kawasan tanjung peropa tersebut dan telah mengambil keterangan sejumlah saksi dari instansi berwenanag seperti BKSDA dan kehutanan sulawesi tenggara, serta keterangan pejabatan di instansi pemerintah kabupaten konawe selatan seperti Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas Kehutanan Konawe Selatan. "Yang jelas kasus ini masih dalam penyidikan polisi,"katanya.