Saturday, January 30, 2010

OPINI

Pokok-pokok Pikiran Kaji Ulang Revisi Tata Ruang Wilayah Sultra (Bagian-2)

(Ahmad Zain/ Koalisi ngo penyelamat ekologi Genting-sultra )


Orientasi Pemerintah dan Permasalahan Yang Muncul

Penyusunan rencana tata ruang wilayah propensi salah satunya adalah mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang daerah (pasal 22 ayat 1c UU No.26 Thn 2007), serta memperhatikan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang kemudian dimuat kedalam arah pemanfaatan ruang wilayah propensi yang berisi indikasi program utama jangka menengah (pasal 23 ayat 1e UU No.26 Thn 2007). Hal ini mutlak dilakukan oleh pemerintah daerah Sulawesi tenggara guna: mewujutkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antara sector dan keharmonisan antar pemerintah daerah kabupaten/kota (Pasal 26 ayat 2d UU No.26 Thn 2007).

Jumlah penduduk Sulawesi tenggara dari angka Badan Pusat Statistik (BPS) Wilayah Sultra menunjukan angka 1.963.025 jiwa pada tahun 2005, jumlah ini kemudian mengalami kenaikan 5,70 % atau sama dengan 111.949 jiwa sehingga total jumlah penduduk mencapai 2.074.974 Jiwa pada tahun 2008. Ditahun yang sama pemerintah memperuntukan lahan bagi penduduk melalui kebijakan pemerintah terhadap pemanfaatan ruang adalah Areal Peruntukan Lain dengan jumlah 1.320.781,02 Ha pada tahun 2008 sehingga dari perbandingan angka rasio rata-rata untuk setiap jiwa mulai dari usia lahir dalam survey BPS sampai pada usia manula dapat menikmati lahan seluas 0,63 Ha per jiwa. Jadi sangat ironis bila langkah revisi tata ruang suptansi kehutanan yang di usulkan dengan menurunkan status kawasan hutan dengan alasan terjadinya kelangkaan tanah bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur serta pertanian dan budidaya.

Revisi tata ruang subtasi kehutanan oleh pemerintah mengorientasikan pada tiga sector : Peruntukan wilayah transmigrasi ; Sejumlah wilayah yang ditetapkan sebagai areal transmigrasi ternyata banyak menemukan masalah utamanya dalam hal izin/pelepasan kawasan belum dilakukan. Sementara penetapannya telah berlangsung dan secara otomatis proses pertumbuhan social ekonomi mengalami pertumbuhan namun disatu sisi mengalami masalah-masalah yang bersifat normative terkait dengan penetapan wilayah tranmigrasi tersebut sehingga masalah ini menjadi salah satu alasan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara merasa penting untuk merevisi Tata Ruang khusunya pada wilayah kawasan hutan. Selain peruntukan wilayah transmigrasi dalam revisi ini juga diperuntukan wilayah non transmigrasi” (sarana prasarana Sosial) yang sebenarnya juga memiliki ketersediaan lahan yang cukup memadai. Peruntukan wilayah budidaya dan pertanian dapat ditemukan secara kasat mata hampir diseluruh wilayah terdapat lahan yang belum secara maksimal tergarap (lahan tidur), peningkatan status areal peruntukan lain tidak serta merta perlu untuk ditingkatkan dengan alasan terbatasnya lahan budi daya dan pertanian masyarakat yang mencapai angka 149.263,48 Ha atau 11,30 %, justru pandangan ini terbalik jika banyaknya lahan yang belum maksimal di kelolah adalah karena lemahnya kapasitas masyarakat dan kurangnya perhatian/pelayanan pemerintah dan ketersedian infrastruktur yang tidak mendukung.


Semangat revisi tata ruang wilayah propensi suptansi kehutanan dengan alasan percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat sarat terhadap dampak penurunan kwaliatas ekologi. Telah digariskan dalam aturan penetapan kawasan berdasarkan petunjuk teknis kehutanan memperhatikan hasil scoring, kelerengan dan faktor ekosistim lainnya, sehingga dalam rencana revisi ini memperhatikan kriteria dan prinsip-prinsip tersebut. Demikian pula kebijakan pembangunan yang dirumuskan dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah daerah yang tidak memperhartikan nilai-nilai ekologi dan soial budaya justru akan lembih memperkeruh proses pembangunan itu sendiri. “Pembengunan yang menjadi harapan kita bersama diyakini akan selalu mengakibatkan perubahan social. Apakah kemudian terkait agenda revisi tata ruang yang terjadi hari ini telah memperhatiakn dimensi akuntabilitas social dalam artian terencana, pengelolaan ruang yang partisipatif, adil, transparan dan berkelanjutan, atau akankah proses pilihan kebijakan yang berdampak pada perubahan social dan ekologi disertai dengan kebijakan social dan pelesatian lingkungan?. Pengalaman panjang hampir disemua daerah di Indonesia yang menaglami Degradasi dan deforestasi hutan mengalami pergeseran pula pada nilai-nilai sosial dan budaya yang ada disekitar, akankah kenyataan ini semakin memperburuk kahuncuran ekologi?

Lagi-lagi rencana pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi (tambang dan perkebunan), terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di sulawesi tenggara.


Upaya pemerintah untuk merevisi tata ruang subtansi kehutanan yang ada, oleh sebagian pihak melihat bahwa upaya tersebut adalah dalam kerangka memutihkan beberapa wilayah yang telah bermasalah di sejumlah kawasan hutan.

PT. Damai Jaya Lestari, (perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi wilahyah Kecamatan Langgikima Kab. Konawe Utara dan wilayah Tangketada Kab. Kolaka mengajukan pelepasan status kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak

PT. Sultra Prima Lestari, (Perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi di wilayah Kab. Konawe Utara di ajukan permohonan pelepasan kepada mentri kehutanan namun hal ini pun ditolak

KP. PD. Sultra Utama (Pertambangan) telah mendapatkan izin Ekplorasi di dalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha.

PT. Ganesa Delta Pratama (Pertambangan) telah mendapatkan izin eksplorasi didalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluar 856 Ha

Pembukaan Jalan kabupaten dengan membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km, yang dilakukan oleh pemerintah Kab. Konawe Selatan.


Akan merusak Kawasan Ekologi Genting (KEG) :

Merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayati, dan keseimbangan suhu.

Merupakan Penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Merupakan Ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut


Pertimbangan terknis / sektoral

Status kawasan yang memiliki peruntukan dan fungsi kawasan yang berbeda sesuai dengan karakteristik ekosistim lingkangan kawasan itu sendiri, saat ini tengah terancam untuk diusulkan dalam revisi tata ruang suptasi kehutanan dalam periode pertama kali ini di Sultra. Keterancaman fungsi ekologi dan ekosistimnya termasuk masyarakat sekitar dan nilai-nilai yang ada pun menjadi bagiannya.


Kawasan hutan wilayah sultra yang tersebar didua belas wilayah administrasi kabupaten memiliki luas 2,493.218,98 Ha atau 62,97 % dari 3.814.000.00 Ha Luas wilayah Sulawesi Tenggara, tidak lepas dari lirikan rencana usulan dalam revisi ini. Berdasarkan SK.penunjukan Kawasan Hutan No. 454/Kpts-II/1999 menetapkan wilayah konservasi seluas 298.468,50 Ha atau sama dengan 7,83 persen dari luas keseluruhan wilayah sultra mengalami pergeseran atas usulan revisi seluar 38.972,85 Ha atau sama dengan 13,05 % penurunan status dengan tiga usulan perubahan dan peruntukan menjadi Hutan Produksi terbatas, Hutan Produksi dan Areal peruntukan lain. Hutan Lindung memiliki luas 1.105.778.35 Ha atau sama dengan 28,99 % dari luas wilayah sultra mengalami penurunan status mencakup hutan produksi terbatas, hutan produksi dan Areal peruntukan lain seluas 188.668,73 Ha atau sama dengan 17,06 % dari luas hutan sebelumnya, rencana usulan revisi perlu mempertimbangkan sebagaiman yang tertuang dalam peraturan pemerintah no 26 tahun 2008 tersebut dalam Pasal 57 Ayat (6) Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a) berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam b) memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami c). memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh d) memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia dan e). memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Untuk kawasan hutan lindung (HL) meski mengalami penurunan presentaser status namun dari status peruntukan dan difungsi kawasan yang lain (hutan produksi) mengalami penambahan seluas 37.249,46 Ha atau sama dengan 3,36 % total perubahan yang diusulkan menjadi 13,30 %. Telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah untuk Kriteria penetapan kawasan hutan lindung Pasal 55 ayat 1 menyatakan Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a). kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih. b). kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau c). kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut. Hutan Produksi Terbatas (HPT) memiliki luas 463.498,43 Ha atau sama dengan 12,15 % dari luas wilayah mengalami kenaikan fungsi seluas 130.523,42 Ha atau sama dengan 28,16 % sehingga luas total Status HPT menjadi 591.474,87 Ha, kenaiakan ini merupakan kontribusi dari penuruanan status kawasan konservasi 0,69 % dan Hutan Lindung 27,64 % namun disisi lain mengalami penurunan status untuk Areal Peruntukan Lain (APL) seluar 2.546,98 atau sama dengan 0,54 %. Hutan Produksi (HP) memiliki luas 490.849,45 Ha atau sama dengan 12,87 % dari luas wilayah sultra mengalami kenaikan fungsi menjadi 521.071,20, Ha atau sama dengan 13,74 %, penambahan luasan adalah kontribusi dari penurunan fungsi wilayah Konservasi seluas 6.748,35 Ha atau sama dengan 1,37 % dan penurunan fungsi Hutan Lindung seluas 60.722,86 Ha atau sama dengan 12,37 % kendati mengalami kenaikan status fungsi namun di sisis lain mengalami penurunan fungsi yang diperuntukan untuk Areal Peruntukan Lain (APL) dalam usulan revisi ini seluas 57.609,44 Ha atau sama dengan 11.73 % sehingga dapat dipastikan total kenaikan status mencapai 2,01 %. Hutan Produksi Konversi sebelum revisi memiliki luas wilayah 134.624,25 Ha atau sama dengan 3,53 % dari luas wilayah mengalami penurunan status sebagian menjadi Areal Peruntuakan Lain seluas 59.460,62 Ha atau sama dengan 44,16 %. Sementara luas Areal Peruntukan lain yang tersedia saat ditetapkannya luas wilayah Sulawesi Tenggara seluas 1.320.781,02 Ha atau sama dengan 34,63 % mengalami kenaikan seluas 149.263,48 atau sama dengan 11,30 % dari penurunan fungsi hutan Konservasi seluas 28.987,03 Ha (2,19 %), Hutan Lindung seluas 659,41 Ha (0,04 %), Hutan Produksi Terbatas 2.546,98 Ha (0,19 %), Hutan Produksi seluas 57.609,44 Ha (4,36 %) dan Hutan Produksi Konversi seluas 59.460,62 Ha (4.50 %).


Perubahan fungsi hutan yang dilakukan melalui usulan revisi ditetapkan oleh Mentri dengan berdasar pada hasil penelitian terpadu dengan mengunakan metode tertentu sesuai dengan peruntukan dan fungsi hutan itu sendiri. Pertimbangan usulan penurunan yang dilakuakan tidak hanya dengan mempertimbangkan fungsi ekosistim, fungsi penyangga air/serapan kelerengan dan berdasarkan tata cara dan kriteria lainnya dalam penetapan kawasan hutan yang lebih bersifat konservatif melainkan fungsi social, ekonomi dan budayapun harus menjadi pertimbangan didalamnya demi tercapainya kesejahtraan rakyat dan keadilan ekologi untuk generasi.


Dampak

Dampang dari penurunan status kawasan ekologi yang menjadi penyangga kehidupan dan ekosistim lingkungan memicu bermuara pada bencana ekologi dan social.

Dampak ekologi : menurunnya kualitas lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam terang membawa sejumlah dampak yang terjadi banjir dan tanah longsor kerap terjadi disejumlah desa di Sulawesi tenggara, kekeringan disejumlah aliran sungai akibat rusaknya mata air disepanjang das akibat tidak adalagi hutan tegakan pohon yang menahan air. Termasuk perubahan suhu dan curah hujan, serta badai angin dari sisi global.

Konflik social: tidak akuntabilatasnya proses yang dilakukan dalam merumuskan usulan revisi tata runang mengakibatkan munculnya sejumlah konflik dimasyarakat, fakta ini terjadi karena tidak ada peran serta masyarakat dalam menyusun revisi tersebut, wilayah yang secara terun-temurun dikelolah oleh masyarakat tergeser oleh kepentingan investasi akibatnya melahirkan konflik fetikal bahkan konflik horizontal.


Sikap Koalisi

Usulan revisi tata ruang wilayah propensi Sulawesi Tenggara subtansi kehutanan medorong reaksi para pihak terkait, sejumlah kalangan menilai bahwa usulan pemerintah daerah perlu untuk ditinjau kembali baik dari sisi tujuan orientasinya maupun teknis dan mekanismenya:

1. Evaluasi peruntukan revisi; Apakah benar adanya bahwa revisi RTRW-P Sultra merupakan kebutuhan pemukiman, dan trnasmigrasi serta untuk lahan perkebunan masyarakat, ataukah ini hanya jembatan pemerintah untuk mempermudah pemodal/infestor dalam mendapatkan kawasan yang mengandung kekayaan alam di dalamnya.

2. Penyelesaian konflik; Kalau benar adanya bahwa revisi RTRW-P Sultra diperuntukan untuk kebutuhan masyarakat, seharusnya lebih mengutamakan kawasan yang selama ini terjadi konnflik penguasaan lahan antara masyarakat dan pemerintah (Kontu-Muna, Masyarakat Adat Hukaya Laeya-TNRAW, dll)

3. Data base; Perlu kiranya pemerintah Provinsi Sultra untuk melakukan pendataan yang actual dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan, sebab data actual dilapangan menunjukan masih banyaknya lahan (APL) yang tidak terkelola dengan baik.

4. Perlunya tim bersama; rencana revisi RTRW-P substansi kehutanan Prov. Sultra dalam penyusunannya tidak transparan dan akuntabel, sehingga penting kiranya di bentuk Tim bersama untuk melakukan mapping dengan melibatkan stakeholder, serta melakukan konsultasi publik karena RTRW akan mempunyai dampak sistemik kepada semua sektor kehidupan dan bermasyarakat.

5. Memperhatikan persaratan/kriteria kawasan hutan ; Revisi RTRW-P substansi kehutanan Sultra tidak hanya mementingkan kepentingan sesaat dengan menurunkan status kawasan yang sesungguhnya menjadi kawasan Ekologi Genting.

6. Perubahan revisi tata ruang harus mengikuti hirarki penurunan status kawasan; usulan pemerintah Prov. Sultra sangat tidak masuk akal, dengan mengusulkan status kawasan Taman Nasional/ Suaka Marga Satwa (kawasan konservasi) langsung diturunkan statusnya menjadi Areal Peruntukan Lain (APL).

Penyakit DBD Mulai Mewabah

Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) melanda Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Ratusan penderita DBD hingga saat ini dirawat di sejumlah rumah sakit di kota ini. bahkan karena membludaknya jumlah pasien, pihak Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Tenggara dibuat kewalahan dan terpaksa merawat inap sejumlah pasien di lorong rumah sakit.


Banyak pasien terpaksa harus mendapat perawatan seadanya. Bahkan harus rela dirawat di lorong rumah sakit yang telah disulap menjadi ruang rawat inap. Menurut rumah sakit jumlah pasien DBD meningkat tajam sejak sepekan terakhir.”Kami kewalahan menangani pasien,”kata Masyta, Kepala Bidang Humas RSUD Sulawesi Tenggara.

Masyita mengaku sebagian besar para penderita DBD yang dirawat adalah anak-anak dan sebagian sisanya orang dewasa. Umumnya para pasien ini mengalami gejala demam yang cukup tinggi dan disertai mual dan muntah-muntah serta adanya tanda bintik-bintik merah di badan korban.

Sejumlah keluarga pasien nampak kuatir melihat kondisi anak mereka. Salah satunya adalah Rina, ibu pasien DBD yang kini dirawat di rumah sakit daerah sulawesi tenggara. Warga kelurahan Poasia, Kendari, ini mengaku sudah seminggu anaknya dirawat. “Hingga kini kondisi anak saya belum ada perubahan,”kata Rina, lirih.

Berdasarkan data rumah sakit, sejak awal bulan januari hingga akhir januari sudah terdapat kurang lebih seratus pasien lima puluh pasien yang dirawat. Dua diantaranya meninggal dunia. Sementara data Dinas kesehatan kota kendari warga yang meninggal akibat DBD mencapai lima orang.Diperkirakan jumlah penderita akan terus bertambah seiring perubahan cuaca dari musim panas ke musim hujan tahun ini.

Kurangnya kesadaran pada kondisi lingkungan menjadi penyebab merebaknya penyakit dbd yang terbilang mematikan ini. Ditambah lagi kurangnya kewaspasdaan masyarakat untuk segera membawa anak mereka ke rumah sakit, dimana rata-rata penderita dibawa sudah dalam kondisi kritis. Hal ini menambah daftar panjang pasien yang kritis, bahkan beberapa diantara pasien nyawanya tidak dapat tertolong lagi.

Wednesday, January 27, 2010

OPINI

Pokok-pokok Pikiran Kaji Ulang Revisi Tata Ruang Wilayah Sultra (Bagian-1)

(Ahmad Zain/ Koalisi ngo penyelamat ekologi Genting-sultra )

Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara yang saat ini tengah melakukan upaya untuk melakukan revisi Rencana Tata ruang wilayah sultra telah merumuskan dan mengahasilkan draf rancangan tataruang subtasi kehutanan wilayah Sulawesi Tenggara. Laju Pembangunan mengisaratkan pengaruh terhadap pemanfaatan dimensi ruang secara fisik sehingga mendorong pentingnya pengelolaan ruang lebih baik pula, terencana, adil, seimbang dan berkelanjutan. Demikian pula rencana pemerintah yang termuat dalam mandat revisi tata ruang yang diusulkan oleh pemerintah propensi Sulawesi Tenggara, bahwa dalam rangaka percepatan pembangunan wilayah Sulawesi tenggara dipandang perlu memaksimalkan pengelolaan “sumber daya alam” (baca; pidato sambutan gubernur dalam kunjungan Presiden Republik Indionesia bapak Susilo Bambang Yudoyono,Kendari tanggal 25 September 2008).

Sulawesi tenggara yang nota bene memiliki kakayaan sumber daya alam memang patut dibanggakan. Mengapa tidak, potensi kawasan hutan yang tersisa mencapai 62 % (Sumber data Kehutanan Propensi) menyimpan sejumlah kekayaan aneka ragam hayati dan nonhayati bahkan mineral. Namun disayangkan pengelolaan dan pemaanfaatan sumber-sumber alam baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui banyak menuai masalah, mulai dari masalah lingkungan, konflik social hinggap pada konflik politik.

Psikologi lingkungan hari ini terbelenggu oleh sebuah opsesi dan paradigma liberal, yang hanya meyakini bahwa perubahan dan kekuatan ekonomi kerakyatan hanya dapat digenjot oleh maksimalisasi pemanfaatan, pengelolaan sumber daya alam dengan mengeksploitasi sumber-sumbernya. Manusia (baca; rakyat) adalah sebagai subyek dari pembangunan, malah justru yang terjadi hari ini adalah masyarakat berada pada posisi dari rencana pembangunan, maka lahirlah kebijakan pembangunan yang selalu mengatas namakan Masyarakat, kesejahtraan, berkeadilan namun kenyataannya tidaklah dapat dirasakan langsung, malah justru melahirkan kesenjangan. Pada akhirnya masyarakat hanya bisa dijadikan obyek dari rencana pembangunan.

Dasar – dasar kebijakan

Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan saat itu pula wilayah Indonesia adalah satu kesatuan Ruang yang utuh yang menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia sebagaimana yang diamanahkan dalam pembukaan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan mengalami perubahan (Amendemen) yang salah satunya adalah mengakui kedaulatan segenap masyarakat adat. wilayah republic indonseia yang terbentang dari sabang sampai merokei adalah gugusan pulau yang memilki keaneka ragaman social, budaya dan ekologi yang tidak terpisahkan sehingga potensi ketersedian ruang adalah menjadi kekayaan bangsa yang perlu ditata baik fungsi dan pemanfaatannya bagi kesejahtraan segenap rakyat Indonesia. Maka dari itulah pemerintah Republic Indonesia mengeluarkan sebuah Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan ruang bagi hajat hidup rakyat Indonesia yang seyogyanya berasas dan bertujuan pada; keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan dan akuntabilitas sebagaimana disebutkan dalam BAB II pasal 2 UU No.26 Tahun 2007 pengganti undang-undang No.24 Tahun 1992. Kemudian diikuti dengan (peraturan pemerintah) PP. No 26 Tahun 2008 sesuai dengan pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai pertimbangan dalam peraturan pemerintah, pada tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan peraturan Daerah (PERDA) No. 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat tentu membawa dampak terhadap pemanfaatan ruang yang tinggi pula. Perluasan ruang pemukiman dan aktifitas pertanian, budidaya sebagai modal pemenuhan kebutuhan serta sarana dan prasarana sosial lainnya menjadi bagian dari pertumbuhan pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 17 ayat 1,2,3 dan4 yang memuat rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang, rencana pola ruang. Ketersediaan sumber-sumber yang bersifat alami sangat menentukan arah kebijakan pembangunan itu sendiri sebagai faktor pendukung paling mendasar, misalnya saja pada daerah aliran sungai (DAS), sebagai sumber pemasok air terhadap kebutuhan umat manusia dan budidaya pertanian serta industri baik yang berskala mikro maupun makro (BAB II, pasal 3 point a,b dan c UU No. 26 Thn 2007). Disinilah pemerintah sebagai pelayan public telah dipercayakan untuk menjamin kesejahtraan rakyat yang berdiam disuatu wilayah tertentu dengan memperhatikan keseimbangan pengelolaan dan pemanfaatan ruang secara adil dan berkenlanjutan. Pembangunan yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat (kebijakan social) adalah sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Orientasi kebijakan pembangunan tidak hanya bertumpu pada pengaruh pertumbuhan ekonomi global dimana segalanya lebih didominasi oleh kebijakan pasar. Masyarakat Sulawesi Tenggara saat ini mengalami massa transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat Industri, tidak serta merta ketersedian ruang lebih diperuntukan untuk pemenuhan investrasi bagi pemodal dalam pengembangan Ekonomi semata, namun penting diperhatikan inisitif model dan metode pengembangannya dalam pengelolan sumber daya alam dimasa transisi ini.

Rencana pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara untuk merevisi tata ruang Wilayah Sulawesi Tenggara substansi kehutanan sebagai mana yang diatur dalam Undang Undang No. 26 tahun 2007 pasal 16 masih bersifat subjektif, tidak mengakomodir peran serta masyarakat sebagai mana yang diatur Undang Undang No. 26 tahun 2007 BAB VIII pasal 65 ayat 1,2 dan 3, namun sangat disayangkan, Peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran Masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud Undang Undang No. 26 tahun 2007 pada pasal 65 ayat 1 Belum ditetapkan. Fakta lapangan menunjukan banyaknya industri raksasa yang hadir di Sulawesi Tenggara dalam kurun waktu 30 tahun tidak siknifikan memicu pertumbuhan ekonomi rakyat, sementara laju kerusakan sumber daya alam terus meningkat. (bersambung)

Tuesday, January 26, 2010

Menilik Nasib Perda Lingkungan Berbasis Masyarakat

Perda Lingkungan Berbasis Masyarakat seyogyanya segera diterapkan dimasyarakat oleh pemerintah khsusnya dalam pengabilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Namun harapan tersebut urung terwujud, bahkan belum perna sekalipun digunakan pemerintah dan masyarakat lingkungan di Sultra.

"Padahal kalau digunakan peranb serta masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dapat lebih dihargai,"kata Kasim, aktifis LSM sekaligus salah satu penginisiatif lahirnya perda tersebut.

Kasim mengaku heran jika pembahasan mengenai SDA seperti sektor pertambangan, hutan pemerintah  urung membuka lembaran aturan yang telah disah parlemen Tahun 2005 silam. "Ini ada apa,"kata Kasim terheran-heran.

Tak hanya Kasim sejumlah elemen pemerhati lingkungan mendesak pemerintah daerah untuk segera menerapkan aturan berkenaan den pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Hal ini melihat masih banyaknya kebijakan PSDA yang berorientasi eksploitatif seperti dikeluarkannya Ijin pertambangan dan periijinan sektor kehuatanan lainnya yang sifatnya hanya berorientasi PAD.

Hal lain yang tidak dilakukan pemerintah adalah belum menerapkan kebijakan mengenai pembentukan komisi teluk, komisi perairan dan beberapa kmisi yang sipatnya menyelamatkan area lingkungan yang telah mengalami kerusakan.

“Harusnya pemerintah segera memikirkan tindaklanjut pembentukan komisi yang sudah diatur dalam perda tersebut, sebab jika tidak keberadaan perda yang telah menghabiskan anggaran cukup besar dalam pembentukannya itu akan mubasir. Dan jika itu yang terjadi berarti pemerintah telah mengabaikan sebuah produk aturan yang telah dibuat bersama multistakholder tersebut,”kata Midwan, Koordinator Divisi Kampanye Green Press.

Belum efektifnya penerapan Perda yang disahkan dalam paripurna DPRD 2005 lalu tersebut, menunjukkan kurangnya inisiatif pemerintah dalam hal ini instansi teknis dalam menjalankan semua produk aturan yang ditelah dibuat sendiri. Juga menunjukkan kurangnya kepedulian pemerintah akan problem lingkungan yang terjadi di daerah ini.

Seperti diketahui sejak dua tahun silam Green Press bersama beberapa LSM di Kendari seperti CARE International Indonesia, LePMIL, Walhi, SULUH Indonesia dan NGO lainnya, Green Press turut memberikan kontribusi penting dalam mendorong proses komunikasi para pihak, terkait penyelamatan lingkungan.

Upaya Green Press bersama LSM lain dan juga Bappedalda Sulawesi berhasil mendorong lahirnya peraturan daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2005 tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis masyarakat. Sayang penerapan perda ini belum berjalan efektif oleh pemanku kepentingan terutama pemerintah.

Mencipta Brandad demi Masa Depan Pariwisata Wakatobi


Surga Nyata Bawah Laut di Tengah Segi Tiga Karang Dunia menjadi ikon kampanye pariwisata Kabupaten Wakotobi. Tak main-main, ikon yang juga visi pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam memajukan sektor pariwisatanya ini telah terdengar hingga ke belahan dunia. Semua ini berkat kerja keras Bupati Wakatobi, Ir Hugua, untuk terus mepromosikan wisata kebudayaan daerahnya ke sejumlah negara. Berikut wawancara dengan Bupati Wakatobi, Ir Hugua.

Pariwisata Wakatobi sudah dikenal sampai ke Berbagai Negara. Apa saja kiatnya?

Kalau kita bicara pariwisata sebenarnya kita berbicara branded. Yang berarti kita harus membangun image. Karena segala sesutunya, tugas manusia di bumi ini kan membangun image. Image negatif bagi pariwisata tidak ada gunanya, jadi kita harus bangun image positif. Langkah yang dilakukan pemerintah sekarang ini berdasarkan visi. Jadi, visi Wakatobi itu di tengah-tengah percaturan global, Wakatobi menawarkan satu ikon wisata andalan yakni “surga nyata bawa laut di pusat segi tiga karang dunia”. Itu brand atau merek yang pertama. Tapi kan mereka ini tidak cukup dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata dan dukungan semua pihak.

Tindakan nyata seperti apa?

Pariwisata itu adalah budaya. Jadi masyarakat Wakatobi harus berbudaya. Kita melihat kenapa banyak orang datang ke bali, bukan karena keindahan pantainya, tapi karena budayanya. Jadi, mau mengembangkan pariwisata kebudayaan maka masyarakat harus mengetahui apa itu budaya. Jadi ragam budaya yang kita tonjolkan lewat tarian, lewat pagelaran adat dan semuanya, sebetulnya hanya sebuah symbol. Intinya adalah menunjukkan kepada dunia bahwa masyarakat Wakatobi itu berbudaya. Misalnya, kalau ada tamu, sambut dengan ramah kedatangan mereka, hormati mereka, jika perlu jaga barang-barang mereka, jangan sampai ada kecurian atau ada gangguan yangmembuat tamu tidak nyaman. Karena orang berwisata itu mencari kenyamanan dan ketenangan diri. Sebab itu maka, kalau Sultra mau menempatkan diri sebagai kawasan pariwisata maka yang paling penting adalah bagaimana pemerintah daerah, masyarakat, pengusaha dan seluruh stakeholder, menjaga yang namanya budaya itu. Yah, kalau ada kerusuhan, ada tawuran, sebentar-sebentar turun ke jalan unjuk rasa, maka pariwisata sector pariwisata pasti terpengaruh.

Kenapa Anda begitu optimis dengan masa depan pawisata Wakatobi?

Saya berlatar belakang kan aktifis LSM, konsultan diberapa lembaga dunia seperti ADB, World Bank. Jadi sebelum saya jadi bupati, sudah lima seluruh benua di dunia ini saya datangi. Saya sudah banyak melihat, bagaimana pariwisata di Eropa, Asia, Afrika hingga Australia. Dari rangkaian perjalanan itu Saya punya kesimpulan bahwa Wakatobi punya keunikan. Tidak ada pulau di dunia ini seunik Wakatobi. Dan saya yakin bahwa Wakatobi ini kelas dunia. Kejernihan airnya, keindahan bawah lautnya, keindahan budayanya yang paling beragam di Sultra. Kenapa? Karena diapit oleh Flores, diapit Halmahera, pulau Buruh, Buton, Bonerate, yang semua ini menimbulkan akulturasi budaya. Dan itu terlihat di Wakatobi. Di sana ada budaya Flores, ada budaya Halmahera, ada budaya Bonerate, budaya Buton, budaya Muna terlihat di sana. Apalagi Kita punya dua even internasional. Yang pertama namanya ATL (Asosiasi Tradisi Lisan). Melalui even mendatangkan wisatawan-wisatawan mancanegara. Dengan peserta 300-an orang dari berbagai negara. Kenapa itu, karena negara-negara ini mengapresiasi Wakatobi sebagai daerah berbudaya. Bayangkan, sebuah kabupaten kecil membuat even untuk membangun negara. Kita bangun Indonesia ini dengan budaya. Ini kan sangat terhormat. Saya katakan ke mereka, di Wakatobi kan tidak ada hotel berbintang. Apa jawabannya? Kita datang menginap di rumah masyarakat dan itu adalah kebudayaan.

Bagaimana dukungan media pada sector pariwisata Wakatobi saat ini?

Dukungan sangat besar. Itu harus diakui. Pariwista Wakatobi tidak bisa dikenal orang, tanpa publikasi media. Hampir seluruh media hari ini memuat tentang Wakatobi. Bukan saja media-media nasional tapi juga media-media internasional seperti media di negara-negara Eropa dan Amerika. Baik media elektronik maupun media cetak, memuat tentang Wakatobi. Secara serentak media di Belanda, Singapura, Perancis, Virginia memuat tentang Wakatobi. Gencarnya pemberitaan wakatobi di media tentu saja memberi ‘getaran’ karena kita telah tetapkan strateginya mendunia. Dua atau tiga tahun kedepan baru akan kelihatan hasilnya. Wisatawan mancanegara akan datang dengan rute, Bali-Wakatobi, Makassar-Wakatobi dan Menado-Wakatobi dan itu MoU-nya telah kita tandatangani.

Adakah upaya Mensinergikan Pariwisata Wakatobi dengan Pariwisata Sultra?

Kita harus yakin. Wakatobi kan bagian dari Sultra. Bagian nasional. Jadi, Wakatobi itu mestinya masuk dalam regional strategic. Misalnya, antar bupati atau antar wakil bupati mengambil peran dimana dalam mensinergikan misi kepariwisataan ini. Lalu, Sultra juga harus menjadi bagian dari strategi nasional. Jadi masing-masing kabupaten harus konek. Harus ada interkoneksi. Jadi, Dinas Pariwisata Provinsi itu harus mempunyai kebijakan dasar dalam rangka men-chain, atau merantai, mengkoneksikan antara beberapa daerah dan mereka harus lebih aktif, menyampaikan potensi pariwisata di daerah ini secara nasional. Itu yang lebih penting. Membuat lebih awal itu penting, jadi visi, visi pariwisata Sultra itu apa. Sebagai bagian dari wilayah Sultra, Wakatobi punya komponen yang mendukung jika mengembangkan parisata Sultra. Misalnya, Wakatobi punya bawa laut, Buton ada keratonnya, Muna ada miniatur hutan jatinya, Kolaka dengan kota pelabuhannya, Bombana dengan pulau Sagorinya, ini diperlukan kebijakan secara provinsial yang disebut strategi regional di bidang pariwisata. Kalau dianggap berat untuk dilaksanakan maka Wakatobi akan jalan sendiri.

Apa strategi membangun sinergitas sector pariwisata antara wilayah di Sultra?

Sangat banyak strategi yang bisa dijalankan. Kita bisa membangun sinergitas hubungan pariwisata antarkabupaten. Kabupaten di Sultra. Kebetulan wakatobi sudah memiliki jaringan website yang telah mendunia. Kalau mau silahkan linking ke Website WWW.Wakatobi.Info. Ini salah satu upaya saya, tapi ini formal. Saya menawarkan kepada provinsi. Website Wakatobi itu kalau dilihat penampilannya bukan seperti website Pemda yang ada selama ini yang penuh dengan data-data statistik, bukan berapa industri, bukan berapa kavling tanah, berapa jumlah ayam, kambing, sapi dan sebagainya. Yang kita tawarkan adalah daya tarik pariwisata dan kekayaan kazanah budaya kita yang indah-indah itu. Temasuk keragaman sumber daya alam seperti keragaman mahluk bawah laut itu, dengan harapan bias menarik minat orang untuk melihat dan pada akhirnya mau datang ke daerah kita.(*)

Monday, January 25, 2010

Kerusakan Hutan Penyebab Banjir Bandang


Kerusakan hutan di kawasan pegunungan mekongga menjadi penyebab utama banjir bandang di Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ini terlihat dari material berada di bekas lokasi banjir di lima desa yang tertimpa bencana. Material sepeti kayu gelondongan sisa hasil tebangan dan lumpur yang terbawa menunjukkan ada jejak kerusakan dalam kawasan.

Puluhan kayu berdiameter antara 50- 70 Cm yang sudah diberi nomor juga ditemukan di lokasi banjir. Kayu-kayu ini diduga milik perusahan kayu yang kini beroperasi di sekitar kawasan hutan mekongga.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang berkunjung ke lokasi banjir bandang di Kolaka Utara hingga tercengang-cengang melihat fakta banyaknya kayu sis olahan di lokasi banjir. Tak urung Nur Alam pun mengaku prihatin dengan maraknya pembalakan liar di kawasan hutan Kolaka dan Kolaka Utara sehingga menyebabkan bencana banjir bandang.

Gubernur meminta agar pemerintah daerah segera menindak tegas para pelaku pembalakan liar di kawasan tersebut. "Saya sudah melihat langsung ke lokasi banjir dan disana terdapat sisa hasil tebangan berupa kayu olahan. Pemda Kolaka Utara sebaiknya segera membenahi dan menertibakan para pembalak liar,"kata Nur Alam, Sabtu (23/1) .

Para pencinta alam bahkan berani mengklaim jika kerusakan hutan tersebut merupakan hasil ilegal logging yang kini marak di kawasan pegnungan mekongga.

"Beberapa kali kami melakukan perjalan menunju puncak pegunungan Mekongga kami menemukan jejak pembalakan liar besar-besaran.
Bahkan sudah terdapat jalur mobil yang menuju pos empat jalur Mekongga,"kata Irfan, seorang pencinta alam dari gugus rimba Sultra.

Irfan yang menunjukkan peta lokasi pegunungan Mekongga ini menduga perusahaan kayu yang kini beroperasi dalam kawasan berada di balik kerusakan kawasan ini. "Pemeritah Kolaka seharusnya segera menindak para pengusaha kayu yang beroperasi di sekitar lokasi,"kata Irfan.

Selain kerusakan hutan akibat ilegal logging, aktifitas pembukaan kawasan perkebunan rakyat dengan cara menkonversi hutan menjadi lahan perkebunan juga diduga menjadi penyumbang kerusakan lingkungan di daerah Kolaka Utara.

Jejak perkebunan telah terlihat membentang saat memasuki pintu kawasan Kabupaten Kolaka hingga Kolaka Utara. Warga yang gemar menanam tanaman produkstif jangka panjang seperti kakao dan cengkeh dan lada terlihat sejauh mata memandang. Tak heran di dua daerah ini 10 tahun silam masyarakatnya pernah mengalami 'booming' hasil pertanian.

Pegunungan Mekongga sendiri merupakan kawasan yang menyimpan resapan air cukup besar yang mengalir ke seluruh sungai di kawasan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Diantara sungai yang menerima limpahan air dari Mekongga yakni sungai Tinukari dan Lasusua.

Bukan kali ini saja Kolaka Utara dilanda banjir bandang. Tahun 2008 silam, wilayah yang telah telah lima tahun memisahkan diri dari kabupaten induk Kolaka ini juga dilanda banjir bandang, tepatnya di Kecamatan Rante Angin. Terdapat dua desa tertimba bencana dimana banjir besar merendam ratusan rumah dan puluhan diantaranya rusak parah. Meski tidak ada korban jiwa, namun bencana tersebut menyebabkan kerugian cukup besar bagi masyarakat yang terkena banjir.

Dan tahun 2010 ini Kabupaten Kolaka Utara membali tertimpa bencana dan telah menelan korban jiwa 10 orang tewas dan 5 orang dinyatakan hilang dan diduga telah tewas.

Saturday, January 23, 2010

Jumlah Korban Tewas Bertambah










Jumlah korban tewas akibat banjir bandang yang menerjang dua desa masing di Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara terus bertambah. Sabtu sore sore warga bersama tim SAR Kolaka kembali menemukan tiga mayat di Sungai Batuganda sekitar lima ratus meter dari pemukiman warga. Korban ditemukan tertimbun Lumpur dan tersangkut pada rimbunan bamboo. Penemuan mayat ini menambah jumlah korban tewas menjadi delapan orang.
Petugas sempat membawa jenasah korban ke Rumah Sakit Lasusua untuk diotopsi. Sejumlah keluarga korban langsung histeris di rumah sakit, saat mengetahui korban tewas akibat terseret banjir.
Data satuan koordinasi penaggulangan bencana alam sulawesi tenggara mencatat hingga sabtu malam sudah delapan orang ditemukan tewas akibat terjangan banjir banding, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah menyusul sejumlah nama yang dinyatakan hilang oleh keluarganya. Petugas medis juga berusaha memberikan bantuan medis kepada sejumlah korban.

Hingga kini warga masih memilih bertahan di rumah mereka dan tidur seadanya dilantai rumah yang telah rusak. Namun warga terpaka harus mengungsi ke desa tetangga yang tidak terendam banjir.

Banjir bandang menerjang sejumlah wilayah di Kecamatan Lasusua disebabkan meluapnya tiga sungai yaitu, sungai Lasusua, Sungai Rante Limbong dan Sungai Salumeja. Tingginya curah hujan dan adanya kerusakan hutan disepanjang sungai akibat ilegal logging menjadi penyebab utama melupanya air.

Kepala Desa Rante Limbong, Abdul Halim mengatakan banjir bandang terjadi secara tiba-tiba dan di luar dugaan warga. Sebab hujan yang turun sebenarnya tidak terlalu deras meski berlangsung sejak maghrib. "Sebelum banjir datang Saya sempat mendengar suara gemuruh. Waktu Saya keluar cek beberapa rumah warga sudah mulai terendam banjir, Saya langsung perintahkan warga untuk mengungsi," terang Abdul Halim

Wakil Ketua DPRD Kolaka Utara, Anton yang dihubungi mengatakan, korban terbanyak berasal dari Desa Batu Ganda dan Rante Limbong. "Sampai sekarang tim gabungan SAR, TNI/Polri, Pemkab Kolut dan warga masih terus mencari korban hilang itu. Sementara korban selamat telah dievakuasi ke tempat yang aman," terang Anton.

Kabag Humas Pemkab Kolaka Utara, Tahrim Modi mengaku, selain Rante Limbong dan Batu Ganda, beberapa desa juga terendam banjir antara satu hingga satu setengah meter, daerah yang terendam banjir tersebut meliputi Desa Patowonua, Tojabi dan Kelurahan Lasusua. "Saat ini Pemkab Kolut telah menyalurkan berbagai bantuan obat-obatan dan makanan. Korban luka-luka saat ini sudah mendapat perawatan di rumah sakit Jafar Harus Lasusua," terang Tahrim.

Friday, January 22, 2010

Banjir Bandang Terjang Dua Desa, Lima orang tewas, Delapan Hilang









Banjir bandang menerjang dua desa masing-masing Desa Watuganda dan Desa Rantelimbong, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, Jumat dini hari.
Akibatnya lima orang dinyatakan tewas dan delapan orang lainnya dinyatakan hilang. Para korban yang tewas masing-masing, Supu (60 tahun), Nining (30 tahun), Febi (7 tahun), Ferdi (5 tahun) dan Ahsan (7 tahun).

"Ke lima korban tewas adalah warga Desa Batuganda. Kelimanya masih satu keluarga,"kata Drs Tahrim MSi, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pemerintah Kolaka Utara, Jumat (22/1).
Tim SAR dibantu relawan dari warga sekitar telah mencoba menyurusi sungai Watuganda untuk mencari keberadaan para korban yang hilang.

"Kemungkinan besar para korban yang hilang telah tewas mengingat rumah para korban berada disekitar bantaran sungai,"kata Tahrim.

Munawarah saksi mata mengungkap banjir melanda saat sebagian besar warga tengah terlelap, sehingga tidak sempat menyelamatkan diri. "Saat itu ketinggian air mencapai dua meter akibat sungai Batuganda meluap,"kata Munawara, warga Watuganda.
Maraknya penggundulan hutan di hulu sungai ditanbah curah hujan yang tinggi diduga menjadi penyebab meluap sungai Batuganda.
Tak hanya korban jiwa, puluhan rumah serta kendaraan warga rusak berat diterjang banjir. Untuk sementara warga terpaka harus mengungsi ke desa tetangga yang tidak terendam banjir. Hingga kini belum diketahui besar kerugian yang diakibatkan banjir tersebut.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam melalui satuan penanggulangan bencana alam daerah langsung memerintahkan untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan ke daerah yang tertimpa bencana alam tersebut. "Saya telah menginstruksikan untuk segera mengirim bantuan obat-obatan dan makanan ke lokasi bencana,"kata Nur Alam usai rapat koordinasi tanggap darurat bencana dengan dinas terkait dan pemerintah Kabupaten Kolaka Utara.

Thursday, January 21, 2010

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Tanjung Peropa merupakan kawasan konservasi suaka marga satwa yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) pada tahun 1986. Kawasan konservasi ini terletak di kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang diapit oleh pemukiman penduduk yaitu kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.

Kawasan seluas 38.937 hektar ini didalamnya terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian dengan metode jalur dan petak, di kawasan ini pada tahun 2003 lalu.

Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam.

Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna. Nah, proses ini berjalan dari tahun ketahun dan memungkinkan terbentuknya berbagai varian spesies unik yang memiliki endemic organisme tinggi.

Menurut Priehanto SP, staf ahli Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra bahwa pulau Sulawesi disebut-sebut sebagai wilayah yang memiliki tingkat endemitas tertinggi setelah Papua. Selain itu, dia juga memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna ke-tiga setelah Papua. Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri.

Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan. Priehanto menggambarkan, satwa Anoa (Buballusp), merupakan maskot fauna identitas Sulawesi Tenggara. Jumlah populasi dari tahun ke tahun hewan bertanduk itu, terus mengalami penurunan.

Pada tahun 2000 sampai 2003, Abdul Haris yang saat ini Wakadis Kehutanan Sultra, pernah melakukan penelitian mengenai Anoa di kawasan Konservasi Tanjung Peropa. Hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata populasi Anoa saat itu tinggal 5-6 ekor yang hidup di kawasan konservasi seluas 38.927 hektar ini. Bila diperkirakan dengan perbandingan luas hutan konservasi dengan kepadatan ideal (0,9 ekor/kilo meter), mestinya yang hewan Anoa yang tersisa adalah 350 ekor.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 merupakan peraturan yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Dalam PP itu dinyatakan bahwa satwa liar dan langka di Indonesi dibedakan menjadi dua golongan yaitu satwa tak dilindungai dan satwa yang dilindungi. Satwa yang dilindungai mencakup populasinya jarang atau mendekati kepunahan; biasanya karena populasinya sangat kecil dan tingkat pertumbuhannya lamban.

Karena itu polemik yang terjadi di Tanjung Peropa saat ini, tidak boleh dipandang sebelah mata. Adanya tuntutan masyarakat untuk segera dibukakan jalan dengan tidak mengorbankan kawasan Tanjung Peropa, menjadi tanda kalau perhatian pemerintah terhadap rakyatnya masih kurang. Belum lagi banyak kasus illegal loging di kawasan Tanjung Peropa yang telah mencuat akhir-akhir ini, menandakan bahwa tak ada perhatian cukup dari pemerintah terkait penegakan hukum di wilayah kawasan konservasi ini.

Padahal kata Priehanto, payung hukum untuk kegiatan perlindungan satwa ini sudah jelas, dan juga disertai sanksi pidana kepada pelanggarnya. Pengecualiannya adalah untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahun dan penyelamatan jenis satwa atau tumbuhan yang bersangkutan. Dia juga menyayangkan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas kasus di kawasan konservasi ini.

Selain sanksi hukum, penyuluhan dan sosialisasi pada warga juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Diluar dari berbagai upaya tersebut, tindakan yang harus diambil adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang memadai (preemtif), pengawasan (preventif) dan represif yakni tindakan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap satwa liar tanpa dilengkapi dokumen yang sah. Karena tanpa demikian yakinlah satwa dan tumbuhan di dalam kawasan Tanjung Peropa akan punah akibat ulah manusia itu sendiri. (kp)

Polisi Didesak Selesaikan Kasus Hukum Penyerobotan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Peropa

Sejumlah aktifis LSM lingkungan hidup mendesak pengusutan kasus penyerobotan kawasan hutan lindung Tanjung Peropa yang dilakukan dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan dalih membangun jalan penghubung antara kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.

Menurut para aktifis LSM, kinerja polisi sangat lamban dan terkesan tidak serius mengungkap kasus penyerobotan hutan lindung peropa tersebut. “Penyidikan polisi sudah berlangsung kurang lebih setahun lamanya, tapi hingga kini belum ada titik terang penyelesaian kasus tersebut. Karena itu sikap kepolisian patut dipertanyakan,"kata Iwan, Koordinator advokasi Perkumpulan Green Press, sebuah lembaga perkumpulan wartawan lingkungan di Kendari.

Menurut Iwan seharusnya kepolisian bisa lebih transparan pada kasus ini agar publik mengetahui kejelasan hukum kasus ini. "Beberapa kali kami mempertanyakan langsung ke kepolisian, tapi polisi selalu menjawab bahwa masih terus melakukan penyidikan. Tentu saja sikap polisi ini menimbulkan kecurigaan,"katanya.

Hal senada diungkapkan Hartono, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara. "Proses penyiidikan tindak pidana kehutanan ini telah dimulai sejak pertengan Mei 2008, namun hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan. Penyidikan kasus tanjung peropa sangat tidak transparan. Polisi seolah menyembunyikan kasus ini dari publik dan sampai hari ini tidak pernah ada ujung kejelasan penyelesaiannya. Kami kawatir kasus ini akan 'dipetieskan' polisi," kata Hartono.

Hasil investigasi bersama antara Green Press, Walhi dan tim kecil WWF Indonesia di Kendari mendapatkan data luasan kawasan yang telah rusak mencapai bentang 9 KM meter yang telah dibuat jalan. Jalan ini membelah kawasan Tanjung Peropa yang dimulai dari Kecamatan Moramo Utara. Hasil pengecekan titik koordinat di lapangan diketahui pembukaan jalan tersebut selain masuk dalam kawasan konservasi suaka margasatwa tanjung peropa sepanjang 17 KM di kecamatan laonti, juga masuk melalui kawasan hutan lindung tanjung peropa sepanjang 9 KM di Kecamatan Moramo Utara.

Ke tiga lembaga ini kemudian mempersoalkan kegiatan yang dilakukan pemerintah konawe selatan tersebut. "Kegiatan pembangunan jalan dalam kawasan itu adalah bentuk arogansi kekuasaan yang cenderung mengabaikan perundangan yang ada. ”Kami melihat bentuk arogansi yang dipertontonkan pemda konawe selatan dengan kekuasaan yang ada bupati leluasa menabrak aturan yang telah ada,”kata Hartono.

Walhi juga menganggap pemerintah konawe selatan tidak memiliki itikad memberikan perlindungan lingkungan terutama memproteksi kawasan-kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung yang ada di daerah itu. Kasus penyerobotan itu sendiri dinilai melanggar UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan Undang Konservasi Sumber Daya Alam Nomor 5 tahun 1990.

Tak hanya aktifis lingkungan yang mempersolakan kasus penyerobotan tersebut melainkan juga pemerhati masalah korupsi. Asnar dari Forum Penegak Hukum Sulawesi Tenggara mensinyalir adanya dugaan korupsi pada proye pembangunan jalan di kawasan hutan lindung tersebut. Pasalnya dana yang digelontorkan tidak sedikit.

Menurut Asnar, Tahun 2006 , atas persetujuan DPRD, pemerintah Kabupaten Konawe Selatan telah membuat peraturan daerah terkait pembangunan jalan penghubung antara Kecamatan Laonti dan Kecamatan Moramo. rencana pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti dengan menganggarkan dana melalui APBD secara keseluruhan sebesar Rp 4,460 miliar masing-masing pembangunan jalan Lapuko-Tambolosu sebesar Rp 2,600 Miliar dan Rp 950 juta melalui kegiatan swakelola oleh dinas PU Konawe Selatan.

Namun tahun 2008 proyek ini terhenti menyusul protes Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara yang menganggap pembangunan jalan dalam kawasan tersebut melanggar undang-undang.

“Gagalnya pembangunan jalan ini memicu terjadinya kerugian keuangan Negara yang tidak sedikit,"kata Asnar.

Kasus Hutan Lindung Tanjung Peropa ini juga sempat dipersoalkan Kantor Balai Koservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara. Bahkan BKSDA menilai tindakan pemerintah kabupaten Konawe selatan sebagai tindakan penyerobotan kawasan konservasi/ suaka margasatwa. Kasus ini resmi dilaporkan ke Polda Sulawesi Tenggara pada tanggal 13 Mei 2008.

Berdasarkan laporan tersebut Polda Sulawesi Tenggara bersama BKSDA dan BIPHUT Kendari melakukan pengecekan lapangan pada tanggal 21 Mei 2008 untuk memastikan letak lokasi yang dibuka untuk pembuatan jalan. Diantara saksi yang diperiksa adalah para petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dalam laporan ke polisi BKSDA menganggap kebijakan membongkar kawasan lindung Tanjung Peropa merupakan kegiatan ilegal karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Ironisnya kegiatan pembukaan jalan dengan cara membongkar kawasan ini belum mendapat ijin dari Menteri Kehutanan sebagai pemegang otoritas atas ijin kawasan. “Apa yang dilakukan pemeritah konawe selatan itu adalah kagiatan illegal tanpa koordinasi dengan instansi berwenang,”kata Priehanto petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BKSDA yang juga menjadi saksi kasus tersebut.

Bupati Konawe Selatan, Drs H Imran Msi menilai pembangunan jalan di kawasan hutan lindung tersebut semata-mata hanya untuk membuka akses antara daerah Kecamatan Laonti dan Moramo. ”Daerah ini sangat terisolir dari daerah lainnya di Konawe Selatan. Ini menjadi tugas pemerintah menjawab tuntutan aspirasi masyarakat Laonti,”kata Imran.

Sementara Kabid Humas Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara AKBP Fahrurozi mengaku telah memulai melakukan penyidikan kasus kawasan tanjung peropa tersebut dan telah mengambil keterangan sejumlah saksi dari instansi berwenanag seperti BKSDA dan kehutanan sulawesi tenggara, serta keterangan pejabatan di instansi pemerintah kabupaten konawe selatan seperti Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas Kehutanan Konawe Selatan. "Yang jelas kasus ini masih dalam penyidikan polisi,"katanya.

Tuesday, January 19, 2010

Diperas Oknum Jaksa, Ibu Rumah Tangga Mengadu ke LBH

Merasa diperas oleh oknum jaksa, Wandofera, (60 tahun), seorang ibu rumah tangga asal Kelurahan Unaaha, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, Selasa (19/1), siang.

Di hadapan sejumlah prakjtisi LBH Kendari, Waondofera dengan gamblang menceritakan kronologi dugaan kasus pemerasan yang dialaminya itu. Kejadian pemerasan tersebut berlangsung pertengahan Desember 2009 lalu.
Saat itu Waondofera bertandang ke kantor kejaksaan negeri kendari untuk menemui Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan perkembangan hukum kasus Laode Rahmat, putranya.

Putra bungsu Waondofera yang masih terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Teknik ini tersandung kasus penganiayaan seorang dosennya di Universitas Haluoleo.

Ketika itu pertemuan berlangsung di ruang kerja oknum jaksa. Tanpa sungkan oknum jaksa berinisial Md langsung meminta sejumlah uang pada Waondofera sebesar tiga juta rupiah.

“Kepada jaksa saya mengaku tidak memiliki uang sebesar itu, sebab, saya berasal dari keluarga tidak mampu,”kata Waondofera.

Namun sang jaksa tetap ngotot membujuk Waondofera. “Ia (oknum jaksa, Red) beralasan uang tiga juta rupiah akan dibagi pada kepala kejari dan hakim yang menyidangkan kasus tersebut dan menjamin hukuman anak saya diringankan,”ungkap Waondofera.

Meski harus berutang, Waondofera menyanggupi menyediakan uang, namun hanya sebesar dua juta rupiah.

“Uang dua juta rupiah saya serahkannya pada jaksa Md di ruangan kerjanya dua hari kemudian,”kata Waondofera.

“Saya tidak bohong. Saya berani disumpah pocong,”tegas Waondofera,

Waondofera mengaku meski tidak memiliki bukti berupa kuitansi namun ia memiliki saksi mata yang menyaksikan penyerahan uang tersebut. Namun janji untuk meringankan hukuman anaknya tidak dipenuhi sang oknum jaksa. Merasa ditipu Waondofera kemudian mengadukan kasus pemerasan tersebut ke LBH Kendari.

“Kami telah menerima pengaduan dari ibu Waondofera. Namun belum secara resmi melaporkan kasus tersebut,”kata Anselmus SH, pengacara LBH Kendari
Menurut anselmus pihaknya masih akan mendalami kasus tersebut sekaligus menguji keseriusan Waondofera membongkar kasus tersebut.

“Dalam kacamata hokum kasus yang dialami ibu Waondofera fera tersebut sebagai kasus pemerasan dan dapat dikategorikan sebagai mafia hokum,”kata Anselmus. Karena itu LBH Kendari berencana akan melaporkan kasus Waondofera ini ke Satuan Tugas pemberantasan mafia hukum bentukan presiden.

Sementara itu, jaksa Md yang dituding memeras saat hendak dikonfirmasi tidak berada di kantornya.

Kepala Kejaksaan Negeri Kendari, Dedi Setiadi SH mengaku baru mengetahui adanya laporan warga terkait dugaan kasus perasan yang dilakukan bawahannya tersebut. “Saya baru mengetahui dari rekan-rekan wartawan,”kata Dedi Setiadi.

Namun Dedi yang telah tiga tahun menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Kendari ini menyangsikan kebenaran laporan ibu waondofera tersebut. Seolah membela anggotanya Dedi Setiadi mengatakan jika laporan tersebut adalah fitnah. “Jika laporan tidak terbukti, maka saya akan menuntut Waondofera dengan tuduhan pencemaran nama baik,”kata Dedi Setiadi.

Dedi mengaku akan mendalami kasus ini dan berencana memanggil oknum jaksa yang dituduh melakukan pemerasan untuk dikonfirmasi perihal kebenaran kasus tersebut.

Thursday, January 14, 2010

Menanti Hilangnya Denyut Kehidupan di Teluk Kendari

Keringat menguncur dari dahi Lasmin (38 tahun). Bersama dua rekannya, Siang itu pria bertubuh jangkung ini harus memikul perahu rowing miliknya jauh ke tengah laut. Maklum air laut baru naik semata kaki. Jadi Lasmin masih harus berjalan memikul perahu sejauh empat ratus meter.

Lasmin adalah atlit dayung senior ini andalan Sulawesi Tenggara. Di Teluk Kendari itulah Lasmin berlatih. Hasilnya Lasmin dan kawan-kawan kerap mengharumkan nama daerah Sulawesi Tenggara di ajang lomba dayung baik yang bersakala nasional maupun internasional.

Namun kini hati Lasmin dan atlit dayung lainnya tengah gundah. Pasalnya kini kondisi Teluk Kendari semakin dangkal. Sementara saat latihan para atlit membutuhkan ait laut yang dalam agar dayung perahu bias bergerak leluasa.
Menurut Lasmin kondisi teluk kendari saat ini sangat kontras dengan kondisi sepuluh tahun silam. “Dulu, saat latihan perahu yang akan digunakan latihan tidak kami pikul jauh ke tengah laut. Perahu cukup kami turunkan dari sasana pelatihan dayung ke laut lewat bibir dermaga kecil ini,”kata Lasmin yang ditemui di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) yang terletak di Kelurahan Benubenua, Kota Kendari.

Lasmin prihatin. Pria asal kebupaten Konawe ini menganggap kondisi teluk kendari dalam fase serius. “Jika tidak segera dikeruk maka akan menjadi daratan luas. Dan kondisi ini berpengaruh besar pada proses latihan para atlit dayung Sultra,”kata Lasmin.

Baginya keberadaan teluk kendari memilik arti sangat penting. Karena selama tiga dekade para atlit dayung berlatih dayung di tempat ini. Dari teluk Kendari ini pula lahir sejumlah atlit-atlit dayun handal milik Sulawesi Tenggara.

Tak hanya itu kondisi teluk kendari juga mengakibatkan terjadinya kevakuman kegiatan olahraga dayung yang bersifat resmi. Tahun 1986 Teluk Kendari pernah dijadikan sebagai salah satu arena kejuaraan nasional (kejurnas) dayung di Indonesia. Kendari menjadi tuan rumah kejurnas dayung pertama kali pada November 1986.

Olahraga dayung memang merupakan cabang andalan Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan, atlet dayung Sulawesi Tenggara sering mengukuhkan diri sebagai pedayung terkuat di Asia Tenggara, sebagai anggota kontingen Indonesia dalam SEA Games.

Untuk menghargai prestasi itu, pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional kemudian mendirikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) di Kendari, khusus untuk cabang dayung. Mereka yang diterima mengikuti pendidikan di PPLP adalah calon pedayung yunior berumur 14-15 tahun dengan tinggi badan minimal 165 cm untuk putri dan putra 170 cm.

Gedung PPLP tersebut terletak di salah satu sudut pantai Teluk Kendari. Warga kota dapat menyaksikan para peserta PPLP itu menjalani latihan setiap hari. Belakangan ini bukan hanya atlet cabang dayung yang digodok di situ, tetapi juga atlet cabang atletik, sepak takraw, dan silat.

Pendangkalan teluk yang menjadi akses utama ibu kota Provinsi Sultra itu kini sudah pada tahap memprihatinkan. Pada saat air surut diperkirakan 60 persen perairan teluk sudah berwujud daratan. Akibatnya, alur pelayaran dan ruang gerak kapal, termasuk armada perikanan, menjadi makin terbatas.

Tak hanya para atlit dayung yang merasa resah. Sejumlah pemilik kapal yang selama ini berlayar juga mengeluhkan kondisi teluk Kendari yang semakin hari semakin dangkal. Jangankan kapal berbobot besar yang kesulitan masuk ke teluk, kapal berbobot kecil pun kini semakin sulit. “Butuh perhatian ekstra mencari lokasi kedalaman untuk bias berlabuh ke dermaga,”kata Adi pemilik kapal ikan. Padahal kapal milik adi hanya memiliki bobot muatan 100 groos tone.

Sepuluh tahun silam Kapal Pelni seperti KM Ceremai dan KM Bukit Siguntang masih dapat sandar ke pelabuhan Kendari. Tapi kini tidak lagi. Satusatunya kapal milik PT Pelni yang dapat sandar hanyalah KM Tilongkabila yang melayani rute Kota Kendari – Ambon.

Selain karena pendangkalan, alur masuk ke teluk terbilang sempit. Ditambah maraknya pemukiman disepanjang Pulau Bungukutoko yang terletak tepat di mulut teluk. Karena itu, setiap kapal berukuran di atas 3.000 DWT membutuhkan gerakan zig-zag untuk mencapai perairan lebih luas dan selanjutnya mencari tempat berlabuh di perairan pelabuhan.

Perairan teluk memiliki luas sekitar 17,75 km2 dengan total panjang garis pantai kurang lebih 85,85 km, berbentuk hampir seperti segitiga. Alur sempitnya tadi berada di bagian timur, dan makin ke barat alurnya makin melebar. Pantai utara Teluk Kendari merupakan kaki Gunung Nipanipa sehingga agak terjal.

Kondisi kerusakan teluk kendari tak lepas dari lemahnya perhatian Pemerintah Kota Kendari. Banyak warga kota yang berdiam di lereng gunung baik penduduk lama maupun pendatang baru dibiarkan merambah hutan untuk lokasi perumahan dan kebutuhan hidup lainnya. Tak hanya itu secara semena-mena juga para pemilik modal menggusur perbukitan di beberapa ruas jalan utama, masih di kaki pegunungan Nipanipa, untuk kepentingan investasi di bidang properti yaitu bisnis rumah toko (ruko). “Perambahan dan pengusuran bukit menjadi salah satu penyumbang pendangkalan teluk,”kata Midwan Divisi Lingkungan, Green Press, Sulawesi Tenggara.

Menurut Midwan kerusakan hutan di pegunungan Nipanipa menyebabkan terjadinya erosi yang membawa lumpur, pasir, sampah dan limbah rumah tangga, serta berbagai material lainnya ke Teluk Kendari. Sisa-sisa lumpur dan pasir dari kegiatan penggusuran bukit juga segera dihanyutkan banjir ke teluk pada musim hujan. Selain itu kegiatan pemerintah sendiri yang mempercepat lajunya sedimentasi adalah pembangunan jaringan jalan, terutama ruas-ruas jalan yang berlokasi di bibir pantai teluk.

Ditambahkan Arief dari Arief Rachman, Kordinator Green Community YPSHK Sultra, pembangunan jalan tersebut diawal dengan pengurukan rawa-rawa dan empang milik penduduk. Lahan tersebut sebelumnya merupakan hutan bakau. Sampai saat ini telah dibangun jalan yang melingkar mengikuti lingkaran garis pantai teluk. “ Pembangunan jalan tersebut tidak atau belum dilengkapi pembuatan jalur hijau di arah teluk yang akan berfungsi sebagai kawasan penyangga untuk menghambat laju sedimentasi,”kata Arief.

Demikian pula pemusnahan ekosistem mangrove untuk kepentingan permukiman, pertambakan, dan pembangunan prasarana jalan lebih mempercepat proses pendangkalan Teluk Kendari. Dalam analisis data tim kecil WWF Kendari, luas hutan bakau di pantai teluk pada tahun 1995 tercatat tinggal sekitar 69,85 hektar. Ini menunjukkan, kesewenang-wenangan manusia terhadap alam memang tak terbendung, sebab berdasarkan hasil penelitian tahun 1960 luas hutan bakau di teluk ini masih sekitar 543,58 hektar. Sisa hutan bakau tersebut makin habis pula, akibat perluasan lahan tambak oleh warga kota. Kawasan sabuk hijau (green belt) pun yang berfungsi sebagai penyangga telah berangsur lenyap dan menjadi lahan tambak. Padahal sabuk hijau mutlak disediakan sebagai kawasan lindung dalam rangka mempertahankan hutan mangrove.

Jalur lain yang berkontribusi pada penyusutan Teluk Kendari menjadi daratan adalah jaringan sungai dan anak sungai yang bermuara di teluk itu. Jaringan sungai tersebut membawa lumpur, pasir, dan material lainnya ke teluk pada saat banjir di musim hujan. Sebagian sungai di Kota Kendari telah menjadi sungai mati, dan baru berair serta banjir bila musim hujan datang. Hal itu membuktikan parahnya kerusakan hutan di daerah tangkapan hujan (catchment area) dalam ekosistem DAS (daerah aliran sungai).

DAS terbesar di kawasan teluk adalah DAS Wanggu dengan luas wilayah 32.389 hektar. Wilayah DAS ini membentang dari pegunungan Boroboro, Wolasi hingga Teluk Kendari yang mencakup tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kendari serta dua kecamatan di Kota Kendari sendiri. Karena itu dibutuhkan kebijakan terpadu pemerintah kabupaten dan kota untuk memulihkan kerusakan DAS tersebut.

Tekanan akibat laju degradasi di kawasan teluk memang terbilang besar. Masa depan teluk Kendari kian suram menyusul dugaan pencemaran limbanh industri dan rumah tangga. Manajer Program Pesisir dan Laut Walhi Sulawesi Tenggara, Ismalik Ohasi mengungkapkan teluk kendari kini tercemar logam berat seperti Merkuri (Hg) dan Cadmium (Cd). Dan kadar pencemarannya tergolong tinggi sehingga menggangu kelangsungan biota yang ada seperti ikan dan kerang-kerangan.

Hasil penelitian Walhi, kandungan logam berat yang ada di perairan Teluk Kendari melampaui ambang batas normal satu baku mutu lingkungan yang disyaratkan dalam Kepmen KLH Nomor 02/1988 yaitu sebesar 0,003 ppm. Hal itu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia yang mengkonsumsi biota laut yang ada di Teluk Kendari.

Disebutkan, logam berat yang masuk ke Teluk Kendari bersumber dari sejumlah aktifitas yang ada di sekitarnya. Sumber itu diantaranya, kegiatan industri seperti pabrik, coldstorage, pangkalan minyak. Kegiatan pertanian dan perikanan serta kegiatan rumah tangga hotel, termasuk reklamasi pantai. Dugaan pencemaran berat bahan kimia juga diperkuat hasil penelitian Lembaga Kajian Advokasi kesehatan dan Lingkungan Sulawesi Tenggara yang telah menganalisa kandungan merkuri dan cadmium pada beberapa sample kerang (polymesoda sp) dan sedimen tanah.

Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2006 mengambil sample di enam titik lokasi yang seluruhnya di teluk kendari. Sampel itu lalu diteliti di laboratorium balai riset perikanan budidaya dan air payau di Makassar, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil analisi kandungan merkuri pada semua kerang yang dijadikan sample diperoleh data kandungan merkuru berada diantara 0,5371 ppm – 0,7180 ppm, sedangkan pada sediment antara 0,39 sampai 1,47. Angka ini menurut Muhtar Kumkelo Direktur Lembaga Kajian Advokasi kesehatan dan Lingkungan Sulawesi Tenggara berada di atas ambang standar kandungan merkuri pada biota laut yang ditetapkan WHO yakni sebesar 0,005 ppm. “Itu artinya kandungan merkuri di teluk kendari telah tercemar berat merkuri,”kata Muhtar Kumkelo.

Mustar Kumkelo mengaku penyebab terjadinya pencemaran merkuri dan cadmium tersebut diakibatkan aktifitas manusia diantaranya penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dibagian hulu atau sepanjang sungai sungai wanggu dan Mandonga. Penyebab lain dan yang paling besar pengaruhnya adalah akibat limbah baik rumah tangga maupun industri.

Hasil temuan kandungan mekuri dan cadmium ini membuat Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Kendari tertarik mengadakan penelitian terhadap kadar toksin biota laut yang ada di Teluk Kendari.

Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bapedalda Kota Kendari, Ir.Hj.Supiati,MP, mengaku pihaknya akan segera melakukan penelitian. Penelitian ini rencananya akan bekerjasama dengan kalangan akademisi dari lembaga penelitian Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari.

Salah satu upaya tindak lanjut yang dilakukan Bapedalda Sultra, terkait hasil penelitian yang menyatakan bahwa teluk Kendari telah tercemar oleh logam berat berbahaya adalah melakukan penelitian terhadap kadar toksin pada biota laut di Teluk Kendari. Menurutnya, diperlukan beberapa instrumen anatara lain biota laut, sedimen dan kualitas air di teluk Kendari untuk mendapatkan keakuratan data.

"Bapedalda akan bermitra dengan Unhalu dalam menjalankan penelitian sehingga kita bisa mendapatkan data yang akurat mengenai kondisi biota di Teluk Kendari," terang Supiati.

Walaupun Supiati belum bisa menjelaskan mengenai teknis pelaksanaannya, namun kesiapan sumberdaya manusia dan ketersediaan dana untuk penelitian ini diyakininya telah siap. Menurut Sufiati, dana yang tersedia saat ini sekitar Rp 32 juta rupiah. "Dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Kendari," jelas Supiati.

Sementara mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sultra H La Ode Ali Hanafi, mengatakan kian prihatin dengan kerusakan ekosistem Tahura Murhum. Baginya keruskan Tahura Murhum merupakan salah satu sumber pendangkalan Teluk Kendari. Perambahan hutan menyebabkan terjadinya erosi dan banjir yang membawa lumpur serta material lainnya ke perairan teluk.

Kawasan hutan Gunung Nipanipa yang telah ditetapkan sebagai Tahura Murhum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 12 Juni 1995 meliputi kawasan seluas 8.146 hektar. Sebagian besar (5.100 ha) tahura itu terletak di wilayah Kabupaten Konawe dan sisanya di Kota Kendari.

Karena terdesak pertumbuhan penduduk di sekitarnya, Tahura Murhum sekarang bukan lagi merupakan habitat nyaman bagi satwa liar khas Sulawesi, seperti anoa, kuskus, musang sulawesi, rangkong, elang laut, dan berbagai jenis kupu-kupu. Salah satu petunjuk kerusakan tersebut adalah lenyapnya satwa liar anoa dari kawasan taman hutan raya itu.

”Yang paling menyedihkan anoa telah lenyap sama sekali. Padahal, di era 1970-an satwa yang menjadi maskot Provinsi Sulawesi Tenggara itu masih menjadi pengawal hutan Gunung Nipanipa yang menjadi dinding alam Teluk Kendari,” turur Ali.

Ia mengatakan, tujuan Pemerintah Provinsi Sultra mengusulkan kelompok hutan Gunung Nipanipa menjadi tahura adalah untuk mengembangkan laboratorium alam bagi fauna dan flora khas Sulawesi dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan pariwisata, selain upaya pelestarian. Tujuan lainnya adalah untuk menghambat laju pendangkalan Teluk Kendari yang bersumber dari kawasan hutan Gunung Nipapa. Kecuali kerusakan ekosistem Tahura Murhum, penyumbang lain pendangkalan adalah aliran lumpur dari Sungai Wanggu yang bermuara di teluk itu.

Menurut Ali Hanafi, Pemprov Sultra berencana melepaskan kembali anoa ke kawasan Tahura Murhum. Namun, sebelum itu harus didahului pemulihan ekosistem untuk menciptakan habitat alami bagi satwa tersebut.

Terkait dengan itu Tahura Murhum harus benar-benar dijadikan kawasan hutan tertutup yang tak boleh dijamah manusia. Komposisi hutan dan sumber air yang menjadi habitat asli anoa harus dilestarikan.

Saturday, January 9, 2010

Press Release Green Press

Mandeknya Penanganan Kasus Perambahan Hutan Lindung dan Kawasan Suaka Alam Margasatwa Tanjung Peropa

Dasar Pemikiran

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Tanjung Peropa ditetapkan berdasarkan SK Menhut nomo 393/kpts-II/86 tanggal 23 desember 1986 tentang penetapan kompleks hutan tanjung peropa seluas 38.000 hekatr sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan suaka alam cq suaka margasatwa .

Didalam kawasan ini terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.

Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian di kawasan ini pada tahun 2003 lalu. Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.

Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam. (data WWF Indonesia)
Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna.
Pada tahun 2000 sampai 2003 Kehutanan Sultra melakukan penelitian mengenai Anoa di kawasan Konservasi Tanjung Peropa. Hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata populasi Anoa saat itu tinggal 5-6 ekor yang hidup di kawasan konservasi seluas 38.927 hektar ini. Bila diperkirakan dengan perbandingan luas hutan konservasi dengan kepadatan ideal (0,9 ekor/kilo meter), mestinya yang hewan Anoa yang tersisa adalah 350 ekor.
Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri. Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 merupakan peraturan yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999. Dalan PP itu dinyatakan bahwa satwa liar dan langka di Indonesi dibedakan menjadi dua golongan yaitu satwa tak dilindungai dan satwa yang dilindungi. Satwa yang dilindungai mencakup populasinya jarang atau mendekati kepunahan; biasanya karena populasinya sangat kecil dan tingkat pertumbuhannya lamban.
Tekanan perusakan yang terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan margasatwa Tanjung Peropa saat ini telah ckup tinggi dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Maraknya kasus illegal loging di kawasan Tanjung Peropa yang telah mencuat akhir-akhir ini, menandakan bahwa tak ada perhatian cukup dari pemerintah terkait penegakan hukum di wilayah kawasan konservasi ini.
Padahal payung hukum untuk kegiatan perlindungan satwa ini sudah jelas, dan juga disertai sanksi pidana kepada pelanggarnya.

Kasus penyerobotan kawasan hutan lindungn dan kawasan margasatwa Tanjung Peropa yang dilakukan pemerintah Kabupaten Konawe Selatan telah menambah daftar panjang kurangnya penegakan hukum di sektor kehutanan di kawasan ini. Penyebotan kawasan hutan lindung dengan dalih membangun jalan penghubung antara kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti merupakan bukti nyata kurangnya itikat baik penegakan hukum lingkungan.

Kasus ini bermula saat Desember 2006 silam Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan sendiri mengeluarkan kebijakan membuat jalan di kawasan suaka margasatwa Tanjung Peropa dengan alasan untuk mendekatkan akses pelayanan masyarakat, mengingat daerah Kecamatan Laonti cukup terisolir dari daerah-daerah sekitarnya. Kebijakan.

Ironisnya keseriusan untuk membangun infrastruktur jalan ini mendapat persetujuan DPRD Konawe Selatan. Hal ini dapat dilihat dari anggaran APBD Tahun 2006 - 2007 yang setujui bersama sebesar 4.460.000.000 (4,460 M), dengan rincian TA 2006 Jalan Lapuko-Tambolosu sebesar 2.600.000.000. TA 2007 sebesar 950 juta melalui kegiatan swakelola oleh dinas PU konsel.

Ironisnya kegiatan pembukaan jalan dengan cara membongkar kawasan ini belum mendapat ijin dari Menteri Kehutanan sebagai pemegang otoritas atas pemberian ijin kawasan. Kolaborasi antara Pemda Konsel bersama DPRD Konsel itu adalah kegiatan illegal tanpa koordinasi dengan instansi berwenang dan telah bertindak sendiri tanpa mengindahkan aturan UU yang berlaku.

Kebijakan membongkar kawasan hutan lindung ini telah mendapat penentangan dari BKSDA Sulawesi Tenggara. BKSDA menganggap pembukaan jalan di kawasan Tanjung Peropa merupakan kegiatan ilegal karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Berdasarkan pasal 19 ayat 1 dan 3 UU nomor 5 tahun 1990 tentang sumberdaya alam hayati dan ekosostemnya jo pasal 50 ayat 2 huruf a dan b UU nomr 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada poin a meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli, setiap orang dilarang mengerjakan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, setiap orang di;aramg merambah kawasan hutan, yaitu melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Sesuai pasal 40 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 1diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah dan pasal 78 ayat 2 UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan bahwa pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a, huruf b, diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak lima miliyar rupiah. Oleh karena telah terjadi dugaan adanya tindak pidana kehutanan berupa kegiatan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah berupa pembuatan jalan di kawasan suaka margasatwa tanjung peropa sesuai poin 2 di atas, maka untuk kelancaranb proses hukum lebih lanjut oleh pihak yang berwajib sesuai perundang-undangan yang berlaku kami mohon agar tempat kejadian perkara (TKP) berupa jalan tersebut ditutup untuk akses dalam bentuk kegiatan apapun dengan cara membuat batas penghalang permanent atau melakukan pemutusan badan jalan.


Tanggal 23 juni 2008 melalui surat bernomor s.879 /BKSDA-1/2008 perihal penyerobotan kawasan konservasi untuk pembuatan jalan BKSDA Sulawesi Tenggara menyurati Direktur Jenderal PHKA Dephut di Jakarta menindaklanjuti surat BKSDA sebelumnya bernomor s.620/BKSDA-1/2008 tanggal 8 mei 2008 perihal tersebut BKSDA menyampaikan penyerobotan kawasan konservasi/ Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan telah dilaporkan ke Polda pada tanggal 13 Mei 2008. Berdasarkan laporan tersebut maka pihak Direktrur Reskrim Polda Sultra bersama BKSDA Sultra dan BIPHUT kendari melakukan pengecekan lapangan pada tanggal 21 Mei 2008 untuk memastikan letak lokasi yang dibuka untuk pembuatan jalan. Hasil pengecekan titik koordinat di lapangan di ketahui bahwa pembukaan jalan tersebut selain masuk dalam kawasan konservasi suaka margasatwa tanjung peropa (17 KM) di kecamatan laonti juga masuk melalui kawasan hutan lindung Tanjung Peropa 9 KM di Lapuko Kecamatan Moramo.


Point Sikap Lembaga Green Prees

1. Mendesak Instansi teknis dan instansi hukum untuk menegakan hukum di seluruh kawasan lindung dan kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara sesuai Undang-Undang yang berlaku
2. Mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara untuk memberikan informasi pada masyarakat terkait penanganan kasus Tanjung Peropa sebagai bentuk tanggung jawab transparansi penegakan hukum di daerah Sulawesi Tenggara
3. Sebagai lembaga advokasi lingkungan, organisasi Green Press mempertanyakan belum adanya kejelasan langkah-langkah hukum berupa penyidikan kasus perambahan kawasan tanjung peropa oleh aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara padahal kasus ini sudah setahun lebih yang penyidikan dimulai sejak pertengahan Mei 2008. Namun hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan dan masih melakukan pemeriksaan saksi-saksi. Pertanyaannya kenapa belum ada penetapan tersangka kasus Tanjung Peropa ?
4. Mendesak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk mengusut kasus dugaan korupsi terkait dengan pengaggaran jalan Lapuko-Laonti sebesa 4,6 Miliar melalui APBD Konawe Selatan Tahun Anggaran 2006- TA 2007

REVISI TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA SUBTANSI KEHUTANAN ”ANCAM KEBERLANJUTAN KAWASAN EKOLOGI”

Tim terpadu Revisi Tata Ruang Wilayah kawasan hutan sultra telah melakukan survey kelapangan terhadap usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) subtansi kehutanan pada tanggal 27 – 31 Desember 2009 dengan matriks usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan :Inisiatif Gubernur Sulawesi Tenggara (H. Nur Alam, SE) untuk melakukan rencana revisi Tata ruang wilayah tidak terlepas dari arahan dan saran Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono ”Saat kunjukan kerja di Kendari Sulawesi Tenggara, Tanggal 25 September 2008 terhadap laporan dan permohonan gubernur Sulawesi Tenggara yang minta kebijakan khusus tentang percepatan pembengunan melalui pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam maka saat itu di Instruksikan oleh presiden untuk segera menyusun konsep percepatan pembangunan yang dimaksut untuk dibahas di Jakarta” Dari hasil Investigasi dan Kajian sejumlah LSM lokal di Sulawesi Tenggara menemukan beberapa fakta dan dampak yang akan muncul akibat usulan revisi sampai pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Sejumlah kawasan yang masuk kedalam usulan revisi tata ruang merupakan Kawasan Ekologi genting (KEG), merupakan kawasan yang memiliki keaneka ragaman bio diversity yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural darat maupun pesisir laut. Kawasan Ekologi Genting (KEG) sebagai penyangga kehidupan; a. Merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayatai, dan keseimbangan suhu.b. Merupakan Penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan.c. Merupakan Ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut. Semangat pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi (tambang dan perkebunan), terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit disulawesi tenggara, antara lain;- PT. Damai Jaya Lestari, (perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi wilahyah Kecamatan Langgikima Kab. Konawe Utara dan wilayah Tangketada Kab. Kolaka mengajukan pelepasan status kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak, - PT. Sultra Prima Lestari, (Perkebunan kelapa sawit) dihutan produksi di wilayah Kab. Konawe Utara di ajukan permohonan pelepasan kepada mentri kehutanan namun hal ini pun ditolak. - KP. PD. Sultra Utama (Pertambangan) telah mendapatkan izin Ekplorasi di dalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha. - PT. Ganesa Delta Pratama (Pertambangan) telah mendapatkan izin eksplorasi didalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluar 856 Ha - Pembukaan Jalan kabupaten dengan membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km, yang dilakukan oleh pemerintah Kab. Konawe Selatan..Dengan melihat fakta tersebut maka kami :1. Mendesak Menti Kehutanan untuk tidak menyetujui usulan revisi Rencana Tataruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010. 2. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk transparan terhadap sumber Anggaran tim terpadu revisi Tata Ruang Wilayah sulawesi tenggara.3. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi tenggara harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang mengakibatkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan disulawesi tenggara.4. Mendesak Polda Sultra untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sejumlah perusahaan yang melakukan aktifitas didalam kawasan hutan negara tanpa alas hak. Demikian Pernyatan ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terimah kasih.Kendari, 6 Januari 2010KOALISI NGO PENYELAMAT KAWASAN EKOLOGIWALHI-SULTRA, YASCITA, YPSHK, MEDIKRA, TELAPAK SULAWESI BAGIAN SELATAN, CIDES