Thursday, January 21, 2010

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Sekilas Tentang Hutan Lindung Tanjung Peropa

Tanjung Peropa merupakan kawasan konservasi suaka marga satwa yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) pada tahun 1986. Kawasan konservasi ini terletak di kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang diapit oleh pemukiman penduduk yaitu kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.

Kawasan seluas 38.937 hektar ini didalamnya terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian dengan metode jalur dan petak, di kawasan ini pada tahun 2003 lalu.

Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam.

Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna. Nah, proses ini berjalan dari tahun ketahun dan memungkinkan terbentuknya berbagai varian spesies unik yang memiliki endemic organisme tinggi.

Menurut Priehanto SP, staf ahli Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra bahwa pulau Sulawesi disebut-sebut sebagai wilayah yang memiliki tingkat endemitas tertinggi setelah Papua. Selain itu, dia juga memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna ke-tiga setelah Papua. Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri.

Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan. Priehanto menggambarkan, satwa Anoa (Buballusp), merupakan maskot fauna identitas Sulawesi Tenggara. Jumlah populasi dari tahun ke tahun hewan bertanduk itu, terus mengalami penurunan.

Pada tahun 2000 sampai 2003, Abdul Haris yang saat ini Wakadis Kehutanan Sultra, pernah melakukan penelitian mengenai Anoa di kawasan Konservasi Tanjung Peropa. Hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata populasi Anoa saat itu tinggal 5-6 ekor yang hidup di kawasan konservasi seluas 38.927 hektar ini. Bila diperkirakan dengan perbandingan luas hutan konservasi dengan kepadatan ideal (0,9 ekor/kilo meter), mestinya yang hewan Anoa yang tersisa adalah 350 ekor.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 merupakan peraturan yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Dalam PP itu dinyatakan bahwa satwa liar dan langka di Indonesi dibedakan menjadi dua golongan yaitu satwa tak dilindungai dan satwa yang dilindungi. Satwa yang dilindungai mencakup populasinya jarang atau mendekati kepunahan; biasanya karena populasinya sangat kecil dan tingkat pertumbuhannya lamban.

Karena itu polemik yang terjadi di Tanjung Peropa saat ini, tidak boleh dipandang sebelah mata. Adanya tuntutan masyarakat untuk segera dibukakan jalan dengan tidak mengorbankan kawasan Tanjung Peropa, menjadi tanda kalau perhatian pemerintah terhadap rakyatnya masih kurang. Belum lagi banyak kasus illegal loging di kawasan Tanjung Peropa yang telah mencuat akhir-akhir ini, menandakan bahwa tak ada perhatian cukup dari pemerintah terkait penegakan hukum di wilayah kawasan konservasi ini.

Padahal kata Priehanto, payung hukum untuk kegiatan perlindungan satwa ini sudah jelas, dan juga disertai sanksi pidana kepada pelanggarnya. Pengecualiannya adalah untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahun dan penyelamatan jenis satwa atau tumbuhan yang bersangkutan. Dia juga menyayangkan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas kasus di kawasan konservasi ini.

Selain sanksi hukum, penyuluhan dan sosialisasi pada warga juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Diluar dari berbagai upaya tersebut, tindakan yang harus diambil adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang memadai (preemtif), pengawasan (preventif) dan represif yakni tindakan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap satwa liar tanpa dilengkapi dokumen yang sah. Karena tanpa demikian yakinlah satwa dan tumbuhan di dalam kawasan Tanjung Peropa akan punah akibat ulah manusia itu sendiri. (kp)

No comments: