Thursday, January 14, 2010

Menanti Hilangnya Denyut Kehidupan di Teluk Kendari

Keringat menguncur dari dahi Lasmin (38 tahun). Bersama dua rekannya, Siang itu pria bertubuh jangkung ini harus memikul perahu rowing miliknya jauh ke tengah laut. Maklum air laut baru naik semata kaki. Jadi Lasmin masih harus berjalan memikul perahu sejauh empat ratus meter.

Lasmin adalah atlit dayung senior ini andalan Sulawesi Tenggara. Di Teluk Kendari itulah Lasmin berlatih. Hasilnya Lasmin dan kawan-kawan kerap mengharumkan nama daerah Sulawesi Tenggara di ajang lomba dayung baik yang bersakala nasional maupun internasional.

Namun kini hati Lasmin dan atlit dayung lainnya tengah gundah. Pasalnya kini kondisi Teluk Kendari semakin dangkal. Sementara saat latihan para atlit membutuhkan ait laut yang dalam agar dayung perahu bias bergerak leluasa.
Menurut Lasmin kondisi teluk kendari saat ini sangat kontras dengan kondisi sepuluh tahun silam. “Dulu, saat latihan perahu yang akan digunakan latihan tidak kami pikul jauh ke tengah laut. Perahu cukup kami turunkan dari sasana pelatihan dayung ke laut lewat bibir dermaga kecil ini,”kata Lasmin yang ditemui di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) yang terletak di Kelurahan Benubenua, Kota Kendari.

Lasmin prihatin. Pria asal kebupaten Konawe ini menganggap kondisi teluk kendari dalam fase serius. “Jika tidak segera dikeruk maka akan menjadi daratan luas. Dan kondisi ini berpengaruh besar pada proses latihan para atlit dayung Sultra,”kata Lasmin.

Baginya keberadaan teluk kendari memilik arti sangat penting. Karena selama tiga dekade para atlit dayung berlatih dayung di tempat ini. Dari teluk Kendari ini pula lahir sejumlah atlit-atlit dayun handal milik Sulawesi Tenggara.

Tak hanya itu kondisi teluk kendari juga mengakibatkan terjadinya kevakuman kegiatan olahraga dayung yang bersifat resmi. Tahun 1986 Teluk Kendari pernah dijadikan sebagai salah satu arena kejuaraan nasional (kejurnas) dayung di Indonesia. Kendari menjadi tuan rumah kejurnas dayung pertama kali pada November 1986.

Olahraga dayung memang merupakan cabang andalan Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan, atlet dayung Sulawesi Tenggara sering mengukuhkan diri sebagai pedayung terkuat di Asia Tenggara, sebagai anggota kontingen Indonesia dalam SEA Games.

Untuk menghargai prestasi itu, pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional kemudian mendirikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) di Kendari, khusus untuk cabang dayung. Mereka yang diterima mengikuti pendidikan di PPLP adalah calon pedayung yunior berumur 14-15 tahun dengan tinggi badan minimal 165 cm untuk putri dan putra 170 cm.

Gedung PPLP tersebut terletak di salah satu sudut pantai Teluk Kendari. Warga kota dapat menyaksikan para peserta PPLP itu menjalani latihan setiap hari. Belakangan ini bukan hanya atlet cabang dayung yang digodok di situ, tetapi juga atlet cabang atletik, sepak takraw, dan silat.

Pendangkalan teluk yang menjadi akses utama ibu kota Provinsi Sultra itu kini sudah pada tahap memprihatinkan. Pada saat air surut diperkirakan 60 persen perairan teluk sudah berwujud daratan. Akibatnya, alur pelayaran dan ruang gerak kapal, termasuk armada perikanan, menjadi makin terbatas.

Tak hanya para atlit dayung yang merasa resah. Sejumlah pemilik kapal yang selama ini berlayar juga mengeluhkan kondisi teluk Kendari yang semakin hari semakin dangkal. Jangankan kapal berbobot besar yang kesulitan masuk ke teluk, kapal berbobot kecil pun kini semakin sulit. “Butuh perhatian ekstra mencari lokasi kedalaman untuk bias berlabuh ke dermaga,”kata Adi pemilik kapal ikan. Padahal kapal milik adi hanya memiliki bobot muatan 100 groos tone.

Sepuluh tahun silam Kapal Pelni seperti KM Ceremai dan KM Bukit Siguntang masih dapat sandar ke pelabuhan Kendari. Tapi kini tidak lagi. Satusatunya kapal milik PT Pelni yang dapat sandar hanyalah KM Tilongkabila yang melayani rute Kota Kendari – Ambon.

Selain karena pendangkalan, alur masuk ke teluk terbilang sempit. Ditambah maraknya pemukiman disepanjang Pulau Bungukutoko yang terletak tepat di mulut teluk. Karena itu, setiap kapal berukuran di atas 3.000 DWT membutuhkan gerakan zig-zag untuk mencapai perairan lebih luas dan selanjutnya mencari tempat berlabuh di perairan pelabuhan.

Perairan teluk memiliki luas sekitar 17,75 km2 dengan total panjang garis pantai kurang lebih 85,85 km, berbentuk hampir seperti segitiga. Alur sempitnya tadi berada di bagian timur, dan makin ke barat alurnya makin melebar. Pantai utara Teluk Kendari merupakan kaki Gunung Nipanipa sehingga agak terjal.

Kondisi kerusakan teluk kendari tak lepas dari lemahnya perhatian Pemerintah Kota Kendari. Banyak warga kota yang berdiam di lereng gunung baik penduduk lama maupun pendatang baru dibiarkan merambah hutan untuk lokasi perumahan dan kebutuhan hidup lainnya. Tak hanya itu secara semena-mena juga para pemilik modal menggusur perbukitan di beberapa ruas jalan utama, masih di kaki pegunungan Nipanipa, untuk kepentingan investasi di bidang properti yaitu bisnis rumah toko (ruko). “Perambahan dan pengusuran bukit menjadi salah satu penyumbang pendangkalan teluk,”kata Midwan Divisi Lingkungan, Green Press, Sulawesi Tenggara.

Menurut Midwan kerusakan hutan di pegunungan Nipanipa menyebabkan terjadinya erosi yang membawa lumpur, pasir, sampah dan limbah rumah tangga, serta berbagai material lainnya ke Teluk Kendari. Sisa-sisa lumpur dan pasir dari kegiatan penggusuran bukit juga segera dihanyutkan banjir ke teluk pada musim hujan. Selain itu kegiatan pemerintah sendiri yang mempercepat lajunya sedimentasi adalah pembangunan jaringan jalan, terutama ruas-ruas jalan yang berlokasi di bibir pantai teluk.

Ditambahkan Arief dari Arief Rachman, Kordinator Green Community YPSHK Sultra, pembangunan jalan tersebut diawal dengan pengurukan rawa-rawa dan empang milik penduduk. Lahan tersebut sebelumnya merupakan hutan bakau. Sampai saat ini telah dibangun jalan yang melingkar mengikuti lingkaran garis pantai teluk. “ Pembangunan jalan tersebut tidak atau belum dilengkapi pembuatan jalur hijau di arah teluk yang akan berfungsi sebagai kawasan penyangga untuk menghambat laju sedimentasi,”kata Arief.

Demikian pula pemusnahan ekosistem mangrove untuk kepentingan permukiman, pertambakan, dan pembangunan prasarana jalan lebih mempercepat proses pendangkalan Teluk Kendari. Dalam analisis data tim kecil WWF Kendari, luas hutan bakau di pantai teluk pada tahun 1995 tercatat tinggal sekitar 69,85 hektar. Ini menunjukkan, kesewenang-wenangan manusia terhadap alam memang tak terbendung, sebab berdasarkan hasil penelitian tahun 1960 luas hutan bakau di teluk ini masih sekitar 543,58 hektar. Sisa hutan bakau tersebut makin habis pula, akibat perluasan lahan tambak oleh warga kota. Kawasan sabuk hijau (green belt) pun yang berfungsi sebagai penyangga telah berangsur lenyap dan menjadi lahan tambak. Padahal sabuk hijau mutlak disediakan sebagai kawasan lindung dalam rangka mempertahankan hutan mangrove.

Jalur lain yang berkontribusi pada penyusutan Teluk Kendari menjadi daratan adalah jaringan sungai dan anak sungai yang bermuara di teluk itu. Jaringan sungai tersebut membawa lumpur, pasir, dan material lainnya ke teluk pada saat banjir di musim hujan. Sebagian sungai di Kota Kendari telah menjadi sungai mati, dan baru berair serta banjir bila musim hujan datang. Hal itu membuktikan parahnya kerusakan hutan di daerah tangkapan hujan (catchment area) dalam ekosistem DAS (daerah aliran sungai).

DAS terbesar di kawasan teluk adalah DAS Wanggu dengan luas wilayah 32.389 hektar. Wilayah DAS ini membentang dari pegunungan Boroboro, Wolasi hingga Teluk Kendari yang mencakup tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kendari serta dua kecamatan di Kota Kendari sendiri. Karena itu dibutuhkan kebijakan terpadu pemerintah kabupaten dan kota untuk memulihkan kerusakan DAS tersebut.

Tekanan akibat laju degradasi di kawasan teluk memang terbilang besar. Masa depan teluk Kendari kian suram menyusul dugaan pencemaran limbanh industri dan rumah tangga. Manajer Program Pesisir dan Laut Walhi Sulawesi Tenggara, Ismalik Ohasi mengungkapkan teluk kendari kini tercemar logam berat seperti Merkuri (Hg) dan Cadmium (Cd). Dan kadar pencemarannya tergolong tinggi sehingga menggangu kelangsungan biota yang ada seperti ikan dan kerang-kerangan.

Hasil penelitian Walhi, kandungan logam berat yang ada di perairan Teluk Kendari melampaui ambang batas normal satu baku mutu lingkungan yang disyaratkan dalam Kepmen KLH Nomor 02/1988 yaitu sebesar 0,003 ppm. Hal itu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia yang mengkonsumsi biota laut yang ada di Teluk Kendari.

Disebutkan, logam berat yang masuk ke Teluk Kendari bersumber dari sejumlah aktifitas yang ada di sekitarnya. Sumber itu diantaranya, kegiatan industri seperti pabrik, coldstorage, pangkalan minyak. Kegiatan pertanian dan perikanan serta kegiatan rumah tangga hotel, termasuk reklamasi pantai. Dugaan pencemaran berat bahan kimia juga diperkuat hasil penelitian Lembaga Kajian Advokasi kesehatan dan Lingkungan Sulawesi Tenggara yang telah menganalisa kandungan merkuri dan cadmium pada beberapa sample kerang (polymesoda sp) dan sedimen tanah.

Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2006 mengambil sample di enam titik lokasi yang seluruhnya di teluk kendari. Sampel itu lalu diteliti di laboratorium balai riset perikanan budidaya dan air payau di Makassar, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil analisi kandungan merkuri pada semua kerang yang dijadikan sample diperoleh data kandungan merkuru berada diantara 0,5371 ppm – 0,7180 ppm, sedangkan pada sediment antara 0,39 sampai 1,47. Angka ini menurut Muhtar Kumkelo Direktur Lembaga Kajian Advokasi kesehatan dan Lingkungan Sulawesi Tenggara berada di atas ambang standar kandungan merkuri pada biota laut yang ditetapkan WHO yakni sebesar 0,005 ppm. “Itu artinya kandungan merkuri di teluk kendari telah tercemar berat merkuri,”kata Muhtar Kumkelo.

Mustar Kumkelo mengaku penyebab terjadinya pencemaran merkuri dan cadmium tersebut diakibatkan aktifitas manusia diantaranya penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dibagian hulu atau sepanjang sungai sungai wanggu dan Mandonga. Penyebab lain dan yang paling besar pengaruhnya adalah akibat limbah baik rumah tangga maupun industri.

Hasil temuan kandungan mekuri dan cadmium ini membuat Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Kendari tertarik mengadakan penelitian terhadap kadar toksin biota laut yang ada di Teluk Kendari.

Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bapedalda Kota Kendari, Ir.Hj.Supiati,MP, mengaku pihaknya akan segera melakukan penelitian. Penelitian ini rencananya akan bekerjasama dengan kalangan akademisi dari lembaga penelitian Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari.

Salah satu upaya tindak lanjut yang dilakukan Bapedalda Sultra, terkait hasil penelitian yang menyatakan bahwa teluk Kendari telah tercemar oleh logam berat berbahaya adalah melakukan penelitian terhadap kadar toksin pada biota laut di Teluk Kendari. Menurutnya, diperlukan beberapa instrumen anatara lain biota laut, sedimen dan kualitas air di teluk Kendari untuk mendapatkan keakuratan data.

"Bapedalda akan bermitra dengan Unhalu dalam menjalankan penelitian sehingga kita bisa mendapatkan data yang akurat mengenai kondisi biota di Teluk Kendari," terang Supiati.

Walaupun Supiati belum bisa menjelaskan mengenai teknis pelaksanaannya, namun kesiapan sumberdaya manusia dan ketersediaan dana untuk penelitian ini diyakininya telah siap. Menurut Sufiati, dana yang tersedia saat ini sekitar Rp 32 juta rupiah. "Dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Kendari," jelas Supiati.

Sementara mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sultra H La Ode Ali Hanafi, mengatakan kian prihatin dengan kerusakan ekosistem Tahura Murhum. Baginya keruskan Tahura Murhum merupakan salah satu sumber pendangkalan Teluk Kendari. Perambahan hutan menyebabkan terjadinya erosi dan banjir yang membawa lumpur serta material lainnya ke perairan teluk.

Kawasan hutan Gunung Nipanipa yang telah ditetapkan sebagai Tahura Murhum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 12 Juni 1995 meliputi kawasan seluas 8.146 hektar. Sebagian besar (5.100 ha) tahura itu terletak di wilayah Kabupaten Konawe dan sisanya di Kota Kendari.

Karena terdesak pertumbuhan penduduk di sekitarnya, Tahura Murhum sekarang bukan lagi merupakan habitat nyaman bagi satwa liar khas Sulawesi, seperti anoa, kuskus, musang sulawesi, rangkong, elang laut, dan berbagai jenis kupu-kupu. Salah satu petunjuk kerusakan tersebut adalah lenyapnya satwa liar anoa dari kawasan taman hutan raya itu.

”Yang paling menyedihkan anoa telah lenyap sama sekali. Padahal, di era 1970-an satwa yang menjadi maskot Provinsi Sulawesi Tenggara itu masih menjadi pengawal hutan Gunung Nipanipa yang menjadi dinding alam Teluk Kendari,” turur Ali.

Ia mengatakan, tujuan Pemerintah Provinsi Sultra mengusulkan kelompok hutan Gunung Nipanipa menjadi tahura adalah untuk mengembangkan laboratorium alam bagi fauna dan flora khas Sulawesi dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan pariwisata, selain upaya pelestarian. Tujuan lainnya adalah untuk menghambat laju pendangkalan Teluk Kendari yang bersumber dari kawasan hutan Gunung Nipapa. Kecuali kerusakan ekosistem Tahura Murhum, penyumbang lain pendangkalan adalah aliran lumpur dari Sungai Wanggu yang bermuara di teluk itu.

Menurut Ali Hanafi, Pemprov Sultra berencana melepaskan kembali anoa ke kawasan Tahura Murhum. Namun, sebelum itu harus didahului pemulihan ekosistem untuk menciptakan habitat alami bagi satwa tersebut.

Terkait dengan itu Tahura Murhum harus benar-benar dijadikan kawasan hutan tertutup yang tak boleh dijamah manusia. Komposisi hutan dan sumber air yang menjadi habitat asli anoa harus dilestarikan.

1 comment:

Anonymous said...

Jangan cuma penelitian doank.. tapi harus ada aksi nyata juga dari dinas terkait untuk menghentikan semua pengrusakan lingkungan yg ada di Kendari..