Saturday, January 9, 2010

Press Release Green Press

Mandeknya Penanganan Kasus Perambahan Hutan Lindung dan Kawasan Suaka Alam Margasatwa Tanjung Peropa

Dasar Pemikiran

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Tanjung Peropa ditetapkan berdasarkan SK Menhut nomo 393/kpts-II/86 tanggal 23 desember 1986 tentang penetapan kompleks hutan tanjung peropa seluas 38.000 hekatr sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan suaka alam cq suaka margasatwa .

Didalam kawasan ini terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.

Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian di kawasan ini pada tahun 2003 lalu. Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.

Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam. (data WWF Indonesia)
Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna.
Pada tahun 2000 sampai 2003 Kehutanan Sultra melakukan penelitian mengenai Anoa di kawasan Konservasi Tanjung Peropa. Hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata populasi Anoa saat itu tinggal 5-6 ekor yang hidup di kawasan konservasi seluas 38.927 hektar ini. Bila diperkirakan dengan perbandingan luas hutan konservasi dengan kepadatan ideal (0,9 ekor/kilo meter), mestinya yang hewan Anoa yang tersisa adalah 350 ekor.
Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri. Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 merupakan peraturan yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan peraturan lain yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999. Dalan PP itu dinyatakan bahwa satwa liar dan langka di Indonesi dibedakan menjadi dua golongan yaitu satwa tak dilindungai dan satwa yang dilindungi. Satwa yang dilindungai mencakup populasinya jarang atau mendekati kepunahan; biasanya karena populasinya sangat kecil dan tingkat pertumbuhannya lamban.
Tekanan perusakan yang terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan margasatwa Tanjung Peropa saat ini telah ckup tinggi dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Maraknya kasus illegal loging di kawasan Tanjung Peropa yang telah mencuat akhir-akhir ini, menandakan bahwa tak ada perhatian cukup dari pemerintah terkait penegakan hukum di wilayah kawasan konservasi ini.
Padahal payung hukum untuk kegiatan perlindungan satwa ini sudah jelas, dan juga disertai sanksi pidana kepada pelanggarnya.

Kasus penyerobotan kawasan hutan lindungn dan kawasan margasatwa Tanjung Peropa yang dilakukan pemerintah Kabupaten Konawe Selatan telah menambah daftar panjang kurangnya penegakan hukum di sektor kehutanan di kawasan ini. Penyebotan kawasan hutan lindung dengan dalih membangun jalan penghubung antara kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti merupakan bukti nyata kurangnya itikat baik penegakan hukum lingkungan.

Kasus ini bermula saat Desember 2006 silam Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan sendiri mengeluarkan kebijakan membuat jalan di kawasan suaka margasatwa Tanjung Peropa dengan alasan untuk mendekatkan akses pelayanan masyarakat, mengingat daerah Kecamatan Laonti cukup terisolir dari daerah-daerah sekitarnya. Kebijakan.

Ironisnya keseriusan untuk membangun infrastruktur jalan ini mendapat persetujuan DPRD Konawe Selatan. Hal ini dapat dilihat dari anggaran APBD Tahun 2006 - 2007 yang setujui bersama sebesar 4.460.000.000 (4,460 M), dengan rincian TA 2006 Jalan Lapuko-Tambolosu sebesar 2.600.000.000. TA 2007 sebesar 950 juta melalui kegiatan swakelola oleh dinas PU konsel.

Ironisnya kegiatan pembukaan jalan dengan cara membongkar kawasan ini belum mendapat ijin dari Menteri Kehutanan sebagai pemegang otoritas atas pemberian ijin kawasan. Kolaborasi antara Pemda Konsel bersama DPRD Konsel itu adalah kegiatan illegal tanpa koordinasi dengan instansi berwenang dan telah bertindak sendiri tanpa mengindahkan aturan UU yang berlaku.

Kebijakan membongkar kawasan hutan lindung ini telah mendapat penentangan dari BKSDA Sulawesi Tenggara. BKSDA menganggap pembukaan jalan di kawasan Tanjung Peropa merupakan kegiatan ilegal karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang mengatur wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Berdasarkan pasal 19 ayat 1 dan 3 UU nomor 5 tahun 1990 tentang sumberdaya alam hayati dan ekosostemnya jo pasal 50 ayat 2 huruf a dan b UU nomr 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada poin a meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli, setiap orang dilarang mengerjakan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, setiap orang di;aramg merambah kawasan hutan, yaitu melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Sesuai pasal 40 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 1diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah dan pasal 78 ayat 2 UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan bahwa pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a, huruf b, diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak lima miliyar rupiah. Oleh karena telah terjadi dugaan adanya tindak pidana kehutanan berupa kegiatan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah berupa pembuatan jalan di kawasan suaka margasatwa tanjung peropa sesuai poin 2 di atas, maka untuk kelancaranb proses hukum lebih lanjut oleh pihak yang berwajib sesuai perundang-undangan yang berlaku kami mohon agar tempat kejadian perkara (TKP) berupa jalan tersebut ditutup untuk akses dalam bentuk kegiatan apapun dengan cara membuat batas penghalang permanent atau melakukan pemutusan badan jalan.


Tanggal 23 juni 2008 melalui surat bernomor s.879 /BKSDA-1/2008 perihal penyerobotan kawasan konservasi untuk pembuatan jalan BKSDA Sulawesi Tenggara menyurati Direktur Jenderal PHKA Dephut di Jakarta menindaklanjuti surat BKSDA sebelumnya bernomor s.620/BKSDA-1/2008 tanggal 8 mei 2008 perihal tersebut BKSDA menyampaikan penyerobotan kawasan konservasi/ Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan telah dilaporkan ke Polda pada tanggal 13 Mei 2008. Berdasarkan laporan tersebut maka pihak Direktrur Reskrim Polda Sultra bersama BKSDA Sultra dan BIPHUT kendari melakukan pengecekan lapangan pada tanggal 21 Mei 2008 untuk memastikan letak lokasi yang dibuka untuk pembuatan jalan. Hasil pengecekan titik koordinat di lapangan di ketahui bahwa pembukaan jalan tersebut selain masuk dalam kawasan konservasi suaka margasatwa tanjung peropa (17 KM) di kecamatan laonti juga masuk melalui kawasan hutan lindung Tanjung Peropa 9 KM di Lapuko Kecamatan Moramo.


Point Sikap Lembaga Green Prees

1. Mendesak Instansi teknis dan instansi hukum untuk menegakan hukum di seluruh kawasan lindung dan kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara sesuai Undang-Undang yang berlaku
2. Mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara untuk memberikan informasi pada masyarakat terkait penanganan kasus Tanjung Peropa sebagai bentuk tanggung jawab transparansi penegakan hukum di daerah Sulawesi Tenggara
3. Sebagai lembaga advokasi lingkungan, organisasi Green Press mempertanyakan belum adanya kejelasan langkah-langkah hukum berupa penyidikan kasus perambahan kawasan tanjung peropa oleh aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara padahal kasus ini sudah setahun lebih yang penyidikan dimulai sejak pertengahan Mei 2008. Namun hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan dan masih melakukan pemeriksaan saksi-saksi. Pertanyaannya kenapa belum ada penetapan tersangka kasus Tanjung Peropa ?
4. Mendesak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk mengusut kasus dugaan korupsi terkait dengan pengaggaran jalan Lapuko-Laonti sebesa 4,6 Miliar melalui APBD Konawe Selatan Tahun Anggaran 2006- TA 2007

No comments: