Saturday, February 21, 2009

OPINI

Mari Menghutankan Kembali Desa Kita

By Line: Abdul Haris Tamburaka

Sejak musim hujan tahun 2008 ini Jazirah Sulawesi Tenggara dilanda banjir. Banjir tahun ini lebih buruk dari tahun- tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan curah hujan yang sangat tinggi tahun ini. Jika terjadi hujan dua hari berturut- turut, banjir pasti akan terjadi.

Laju reboisasi tak lagi mampu membendung laju pembalakan liar (illegal logging) secara sporadis di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, maka hari-hari terakhir hutan didaerah itu kian terbentang dihadapan mata. tutupan hutan (canopy) yang dulunya masih menghijau, dalam paruh waktu yang sangat cepat berubah menjadi petakan-petakan hamparan lahan kosong. Kini lahan-lahan kosong itu berubah menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu siap memuntahkan bencana tanah longsor disertai aliran air bah dan siap meluluhlantakkan perkampungan masyarakat yang tersebar diseantero Kabupaten Konawe Selatan.

Banyak sekali LSM yang konsen pada urusan lingkungan hidup telah memprotes aksi pembalakan liar yang terjadi didaerah itu kian menggila selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Angka kerusakkan hutan mencapai separuh hutan yang tersebar di wilayah Konawe Selatan yang diperkirakan mencapai kurang lebih 60 persen.

Kerusakan hutan yang paling dominan utamanya di areal hutan jati yang luasnya mencapai kurang lebih 24.538,29 Ha. Sementara, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat angka kerusakan hutan telah mencapai 63% dari seluruh luas hutan jati di wilayah Konawe Selatan.

Laju deforestrasi sumberdaya hutan ini, paling terbesar disebabkan oleh aksi pembalakan liar (illegal logging), utamanya yang diprakarsai oleh sejumlah pengusaha kayu illegal atau cukong yang memanfaatkan masyarakat lapisan bawah yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Kuatnya desakan ekonomi dan himpitan kemiskinan yang melilit sebagian besar masyarakat konsel, mengakibatkan masyarakat berfikir jangka pendek, utamanya dalam mencari sumber-sumber pendapatan ekonomi untuk menunjang keberlangsungan hidup (survive).

Satu-satunya pilihan untuk bisa survive, masyarakat yang umumnya petani terpaksa beralih menjadi pembalak kayu di areal tanah negara yang dipasarkan kepada para cukong liar dengan tawaran harga yang tidak menjanjikan untuk keberlanjutan ekonomi secara jangka panjang.

Padahal, masyarakat yang terlibat dalam bisnis illegal itu dalam kenyataannya tidak mendapat proteksi sosial baik dari pemerintah terlebih dari para pengusaha/cukong. Jika ditabulasi eksistensi pengusaha kayu di konsel tetap berlangsung karena besarnya suplay kayu yang bersumber dari masyarakat dalam setiap hari.

Penelusuran Green Press sebuah lembaga perkumpulan wartawan lingkungan Sulawesi Tenggara yang dikumpulkan dari berbagai sumber, aktivitas pembalakan kayu yang diperankan oleh pengusaha kayu diwilayah konawe telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak tahun 1999 hingga sekarang (tahun 2009).

Kejahatan itu paling merajalela sebelum terjadi peralihan (pemekaran) kabupaten konawe selatan dari kabupaten induk (konawe). Dalam kurun waktu itu, kontrol terhadap aktivitas pembalakan liar diwilayah itu bukannya semakin ketat, justru aktivitas illegal itu nyaris tidak pernah mendapat sentuhan hukum, demikian catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara.

Dan ironisnya ketika itu tidak sedikit lembaga yang memprotes kebijakan pemerintah daerah yang cenderung menutup mata pada persoalan tersebut. Melihat eskalasi perusakan hutan di daerah ini maka butuh gerakan ekstra untuk menahan laju perusakan hutan.

Inisiatif Hutan Rakyat

Dalam proses berjalan, masyarakat konawe selatan secara perlahan mulai tergugah melihat realitas kerusakan hutan yang telah mendekati ambang batas dan menunjukkan kondisi yang semakin kritis. Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai mendapat sentuhan pemahaman dari beberapa kalangan NGO pro-lingkungan.

Gagasan untuk menekan aktivitas illegal logging yang dimainkan oleh para ”pengusaha hitam” yang melibatkan masyarakat miskin di wilayah konsel, kemudian mengkristal dimemori masyarakat.

Pilihan strategis yang paling awal dilakukan, masyarakat mulai melakukan pemetaan areal hutan tanah miliknya yang secara notabene didalamnya ditumbuhi kayu jati yang siap untuk dipanen/diproduksi. Pilihan ini dilakukan dengan metode dan stretagi tersendiri dan prosesnya tidak bersinggungan apalagi sampai berkolaborasi dengan para pengusaha kayu di konsel.

Dalam prosesnya kemudian, inisiatif untuk mengelola hasil hutan ditanah milik sendiri kemudian berjalan. Hal itu terjadi setelah masyarakat mendapat dukungan dari sejumlah lembaga pro-lingkungan bahkan kayu-kayu yang diolah oleh masyarakat terlebih dahulu harus mendapat pengakuan dari badan dunia dalam bentuk sertifikasi.

Pendek kata, kayu-kayu hasil olahan masyarakat ditanah miliknya akan dibeli oleh buyer resmi dengan harga yang cukup menjanjikan secara jangka panjang, apalagi para buyer kayu tidak menghendaki kayu yang bersumber dari hasil illegal logging.

Pengolahan kayu ditanah milik sendiri, secara perlahan terus dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah bersama dalam bentuk koperasi. bahkan, inisiatif untuk menjadikan model pengelolaan kayu ditanah milik ini sebagai daerah percontohan sosial forestry (sosfor) kemudian terus didorong oleh berbagai kalangan.

Hadirnya model pengolahan hutan ini, secara langsung maupun tidak langsung telah memutus suplay kayu ditingkat pengusaha hitam/cukong, sebab banyak masyarakat yang semula bekerja dengan para pengusaha kemudian beralih mengolah hasil hutan ditanah miliknya sendiri.

Dalam kurun waktu setelah proses ini berjalan, laju kerusakan hutan diareal tanah negara mulai dapat ditekan, sebab para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu dari areal tana negara tidak lagi bisa memanfaatkan jasa masyarakat setempat. akibatnya, banyak perusahaan dan sawmil yang akhirnya tutup alias gulung tikar.

Fakta ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa hadirnya insiatif masyarakat untuk mengolah hasil hutan ditanah miliknya turut pula memutus bahkan mematikan langkah para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu secara illegal diareal tanah negara.

Namun demikian, kedua hal ini masih perlu mendapat berbagai pemikiran, utamanya dalam mendorong agar aktivitas illegal logging diwilayah konsel bisa ditekan bahkan dihentikan. satu-satunya cara yang paling efektif dapat dilakukan tidak lain, pengolahan hutan musti dikembalikan kepada masyarakat secara langsung.

No comments: