Saturday, January 17, 2009

Nasib Hutan Sultra Dalam Kepungan HPH dan Perusahaan Sawit

By Line: Yoshasrul
Sejauh mata memandang hijau perkebunan sawit di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara menghampar luas, berjajar dibelah gundukan petak tanah yang rapi. Ya, inilah lahan sawit seluas 5506 ribu hektar yang membentang dari perbatasan Kecamatan Asera, Kecamatan Wiwirano hingga keperbatasan provinsi sulawesi tenggara dan sulawesi tengah.
Lahan sawit ini hampir seluruhnya telah menghasilkan buah. Tinggal dua ratusan hektar lagi yang sedang masa belajar berbuah. Buah sawit yang ranum menjadi daya tarik bagi siapa saja yang melintas jalan provinsi tersebut. Namun jangan salah, ranumnya buah sawit tak semanis nasib petani di daerah itu kini. Justeru warga tengah diperhadapkan dengan dilema yang cukup besar.
Hari-hari sepanjang sepuluh tahun terakhir harus dilalui dengan kepiluan membakar buah-buah sawit tersebut. Sebuah rentang waktu yang tak sedikit dimulai era kepemimpinan gubernur Kaimuddin kala itu.
Buah sawit yang selayaknya diproduksi menjadi minyak, sama sekali tak dirasakan warga. Justeru sebaliknya warga diperhadapkan dengan kondisi membakar buah sawit. Kondisi memilukan ini lain menambah ‘pekerjaan baru’ buat warga. "Beginilah, setiap hari sepanjang 10 tahun ini, kami harus membersihkan dan membakar buah sawit,"kata Yusuf, warga Desa Tetwatu, Kecamatan Wiwirano.
Penantian panjang itu terkadang membuat masyarakat prustasi, sebagian warga bahkan berinisiatif untuk ‘membumihanguskan’ pohon-pohon-sawit yang harusnya diproduksi tersebut. Bukan saja karena diperhadapkan dengan kondisi ekonomi yang serba ‘terjepit’, tetapi juga warga tidak lagi bisa memamfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam, karena hampir seluruh lahan dimana tempat warga berdiam telah tumbuh pohon sawit besar. "Jadi, tidak ada lagi lahan yang bisa kami tanami,"kata Iskandar, warga Wiwirano.
Pernah suatu ketika Iskandar berinisiatif menanam palawija di dua bedeng tanah dekat rumahnya. Tapi yang terjadi, buah tanaman kacang yang dirawat penuh kasih sayang itu habis disikat hama tikus, yang selama ini menyerang buah sawit. "Entah musibah apa yang kami terima ini, sehingga kami benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa,"kata Iskandar dengan nada pasrah.
Sungguh mubasir jadinya, ribuan hektar lahan sawit sama sekali tidak diproduksi. Masalahnya pihak perusahaan (PTPN) sejak menanamkan investasinya tahun 1997 lalu sama sekali tidak menyediakan mesin produksi buat sawit.
Berbeda ketika pertama kali perusahaan PTPN datang dan menjanjikan warga (asera ketika, Red) itu akan memproduksi setidaknya 100 ton perhari minyak sawit. Malah dengan janji yang cukup muluk perusahaan akan mempekerjakaan sekitar 10 ribu tenaga kerja bahkan akan memprioritaskan warga setempat. Terbukti saat itu lowongan tenaga kerja dibuka secara besar-besaran bahkan informasi disebar ke seluruh media cetak dan elektronik di Sultra. Sayangnya, rencana itu tak benar.
Menurut Mananger PT Perkebunan Nusatara XIV Asera Ir Joko Purwato dirinya sudah berusaha melobi mesin tapi pihak perushaan di Jakarta belum menyediakannya. "Keinginan kami sih mesin itu segera tiba, dan kami telah mengusulkan itu di pimpinan kami di jakarta,"kata Joko, berapa waktu lalu.
Dalih perusahaan boleh saja seperti itu, tapi faktanya warga yang terkena imbas. Selain diperhadapkan dengan pekerjaan membersihkan lahan dan membakar buah sawit, warga juga terlanjur menyerahkan lahan milik mereka ke perusahaan sebagai mitra. Ini disebabkan adanya pola intensifikasi dengan system plasma yang telah terlanjur disepakati oleh warga dan pihak perusahaan.
Selama ini dari 5506 Hektar lahan olahan sawit wiwirano, pihak perusahaan memecah menjadikan dua pola intnsifikasi yakni lahan sawit inti seluas 2506 ha dan 3000 Ha lahan plasma, yang seluruhnya telah disertifikasi.
Konon lahan-lahan warga yang telah sertifikasi tersebut telah pula diagunkan oleh perusahaan ke berbagai bank sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman lunak dana dari perbankan. Paling tidak ini menjadi analisis para aktifis lingkungan di kendari. "Masyarakat memang selalu menjadi objek dan kelemahan ini dimanfaatkan para pengusaha sawit untuk mendapatkan pinjaman uang di bank dan mengagunkan tanah tanah rakyat ke perbankan,"kata Tono, aktifis Suluh Indonesia.
"Saat datang mereka paling pandai dengan berdalih mereka datang untuk mensejahterakan rakyat, tetapi sesungguhnya itu hanya slogan dan ujung-ujungnya rakyat semakin miskin,"tambahnya.
Ini belum dihitung dengan hak masyarakat atas perusahaan sawit. Selama ini kata Tono, warga pemlik lahan hanya menjadi obyek pelengkap saja, "Artinya masyarakat hanya berhak atas pengelolaan lahan, tetapi tidak sedikit pun memiliki hak di perusahaan,"katanya.
Seharusnya lanjut Tono, hak masyarakat atas aset perusahaan mutlak ada , karena selain memiliki lahan, juga sekaligus memiliki peran menjaga dan bekerja. Nah, di perusahaan sawit yang ada selama ini posisi masyarakat sangat termarginalkan.
Ironisnya pemerintah yang diharapkan menjadi mediator komunikasi antara perusahaan dan warga juga tak mengambil peran. Justeru cenderung menjadi pihak yang yang ikut berkolaborasi dengan perusahaan. Ini dapat dilihat dari perjalanan sawit di asera, berkali-kali masyarakat meminta pemerintah menjembatani permasalahan, tapi tidak pernah mendapat tanggapan serius, bahkan terkesan tidak peduli.
Padahal awal-awalnya antusias pemerintah mendatang investor sawit cukup menggebu-gebu, bahkan dalam berbagai kesempatan pemerintah kerap mengelu-elukan kehadiran investor yang akan mensejahterakan rakyat. Sederat rencana pemerintah setidaknya daerah akan memperoleh pemasukan PAD dari perusahaan –perusahaan sawit sebesar 200 miliar pertahun dan ada lapangan kerja buat ribuan orang. Soal kerusakan lingkungan masih dapat dihindari.
Terlihat jika selama ini pemerintah hanya mengejar PAD atau keuntungan semata, tanpa lagi memperhatikan aspek lainnya seperti hak-hak masyarakat dan aspek ekologi. Semisal pembukaan 12 ribu areal sawit di kecamatan Wiwirano telah berdampak luas pada lingkungan hidup. Tak hanya persoalan hilangnya akses masyarakat terhadap lingkungan mereka, tetapi jauh dari itu pembukaan lahan telah menyebabkan hilangkan keseimbangan ekosistem di dalamnya.
"Bisa dibayangkan berapa banyak jenis kayu kayu yang hilang dan berapa ribu jenis flora fauna yang musnah saat pembukaan areal sawit. Sebab pembukaan areal sawit tidak seperti membuka areal HPH yang menggunakan pola tebang pilih dan melakukan proses reboisasi. Tetapi membuka areal sawit sama dengan menggunduli hutan alias menggunakan system babat habis,"kata Tono.
Catatan Dinas Kehutanan Sultra dari sekitar 296 ribu hektar penguasaan HPH PT intisixta hampir seluruhnya telah dikapling untuk pembukaan areal pencadangan termasuk untuk lahan sawit. Pihak dinas kehutanan sendiri merasa tidak setuju dengan pembukaan lahan sawit yang tidak memperhatikan aspek ekologi.
Sebab saat ini ada kecenderungan pembukaan lahan sawit tak mengenal batas areal. Artinya pembukaan areal sawit tidak hanya berada di dataran dengan kemiringan lebih dari 35 derajat tetapi juga telah memasuki areka kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Karena itu juga pihak kehutanan mencurigai dari sekitar 500 ribu hektar rencana pembukaan lahan sawit di sultra hanya separuhnya yang benar-benar kebun sawit. Sisanya, pohon-pohonnya ditebang dan lahannya dibiarkan terlantar. Dan tentu tak usah mengambil contoh yang jauh, contoh paling kongkrit adalah lahan sawit wiwirano yang kini terlantar tanpa hasil.
Tak Mematuhi Tata Cara Pelepasan Sawit
Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang tata cara pelepasan lahan maka seharunya dimulai dengan tahapan pengusulan investor sawit yang diajukan bupati selaku kepala daerah kabupaten, yang selanjutnya direkomendasikan oleh gubernur dan diteruskan ke menteri terkait untuk pelepasan lahan kelola. "Bila mengacu mekanisme tersebut, maka dipastikan hampir seluruh perusahaan sawit yang saat ini beramai-ramai melirik Sultra untuk menanamkan investasi tidak ada yang memenuhi standar,"kata Suhendro Bashori, Kepala Seksi Perencanaan Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara.
Ironisnya pemerintah kabupaten berusaha memaksakan kehendak mereka untuk tetap memberi ijin pembukaan lahan sawit, tanpa melakukan control lebih mendalam terhadap apa yang sementara dilakukan perusahaan di lapangan.
Tak hanya lahan sawit yang kini mencengkram hutan Koanwe Utara. Perusaahaan HPH juga dinilai telah sebagai biang kerusakan lingkungan di daerah itu. HPH merupakan bentuk kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk pemafaatan hutan melalui pengolahan kayu dengan prasyarat tertentu. HPH PT Intisxta merupakan satu-satunya perusahaan sektor perkayuan yang ada di daerah itu. Melalui SK HPH 1035/KPTS-II/1992, HPH dengan luas konsesi sebesar 296.000 hektar pada November 1992 resmi beroperasi. Dengan luas lahan tersebut HPH PT Intisixta memperoleh jatah tebangan minimum sebanyak 84.000 M3 per tahun dan jatah tebangan maksimum sebanyak 140.300 M3/tahun.
Selama beroperasi PT intisxta berdasarkan peraturan pemerintah telah membayar iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) serta kewajiban lain. Namun meskipun begitu, perusahaan ini memiliki tunggakan atas PSDH hingga maret 2006 sebesar Rp 706.043.588 dan dana reboisasi sebesar US 225.581,01,-
Iuran maupun pembayaran PT intisixta tidak diterima langsung oleh pemerintah daerah, melainkan pembayaran tersebut masuk ke rekening menteri kehutanan dan rekening negara, baru pada tahap berikutnya di turunkan ke daerah. Pertanyaannya apakah dana tersebut juga dinikmati warga dalam recovery hutan yang telah diambil kayunya?
Selain itu PT intisixta juga melakukan pelanggaran seperti tidak sepenuhnya melindungi dan mengamankan hutan pada areal kerjanya bahkan dalam hasil investigasi Yayasan Cinta Alam, PT intisixta telah mengambil kayu jauh di areal konsesi yang berbatasan langsung dengan wilayah sulawesi tengah. Juga pembukaan hutan di desa linomoiyo, desa aseradan mopute terus menerus terjadi.
Hasil penelitian tim independen pemerintah daerah provinsi sulawesi tenggara tahun 2000 menunjukkan bahwa PT Intisixta belum sepenuhnya konsisten dengan pelaksanaan amdal (RKL) padsa pengelolaan lingkungan fisik.
Kehadiran PT Intisixta di wilayah ini tidak lain karena didasari oleh kepentingan pemerintah untuk mendorong usaha disektor kehutanan yang kemudian akan berkontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Namun harapan tidak selamanya menjadi kenyataan, terbukti sejak mulai beroperasinya HPH PT Intisxta sejak saat itu pula hutan asera berada di bawah tekanan luar biasa, kehancuran ekosistem mulai nampak.
"Kerusakan lingkungan di asera telah membawa dampak buruk bagi ekonomi masyarakat,"kata Arief Rachman, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara. Dampak ekonomi cukup nampak dengan menonjolnya angka kemiskinan yang benar-benar melilit kehidupan warga asera dan wiwirano.
Selain itu membawa dampak bencana yang tidak sedikit. Hal ini, lanjut Arief, terlihat dari banyaknya bencana yang silih berganti diderita masyarakat. Banjir bandang pertama terjadi pada tahun 1996 ketika itu HPH PT Intisixta baru beroperasi selama empat tahun hasilnya adalah masyarakat menelan kerugian material ratusan juta rupiah, karena banjir ini pula jalur transportasi masyarakat terputus disebabkan satu-satunya jembatan permanen bernilai miliaran rupiah ikut rusak dan hanyut terbawa arus.
Sedangkan banjir bandang ke dua terjadi pada bulan juni 2006 lalu dan memporakporandakan 9 desa di konawe, diantaranya desa asera tua, desa linomoyo, dll. Banjir bandang ini terjadi setelah 14 tahun HPH PT intisixta beroperasi.
Kehadiran PT Intisixta telah lama menuai kritik, bukan saja oleh masyarakat setemapt tetapi hampir seluruh LSM di tingkat lokal bahkan nasional yang memiliki visi pengelolaan sumber daya alam hayati yang adil dan berkelanjutan. Berbagai bentuk perlawanan telah dilakukan, mulai tingkat lokal hingga nasional, kegiatannya pun beragam mulai dari diskusi, aksi lapangan hingga intervensi kebijakan. Namun kesemuanya itu belum membuahkan hasil apa-apa.
Ironisnya ada level pengambil kebijakan juga terjadi gontok-gontokan, di satu sisi mereka tidak memiliki pemahaman lingkungan dan sempat menikmati hasilnya lebih memilih diam. Sementara yang benar-benar serius memikirkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat secara tegas menolak keberadaan perusahaan ini.

1 comment:

the opportunity said...

tambah bagusmi blogta bos.., bagus juga kalo ada gambar calegta disini...