Friday, January 9, 2009

Jika Pengelola SCF Dituding KKN

By Line: Yoshasrul

Aroma Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) tidak hanya terjadi di lingkup pemerintah saja, tetapi juga mengalir hingga ke komunitas LSM. Inilah yang menjadi bahan perbincangan hangat para penggiat LSM di Sulawesi belakangan ini. Sulawesi Community Fund, sebuah lembaga donor yang menyalurkan dana hibah dan bermarkas Makassar Sulawesi Selatan oleh kelompok NGO dituding mempraktekkan KKN dalam pengelolaan dana hibah mereka.

Semula, lahirnya Sulawesi Community Fund tentu saja "angin segar" bagi para penggiat lingkungan (khususnya kaum LSM /NGO ) di Sulawesi. Bayangkan saja selama berpuluh tahun markas lembaga-lembaga donor terus bercokol di Jakarta, sehingga tak jarang usulan program kawasan timur terkadang dipandang sebelah mata.

Sayang harapan itu hanya sebatas wacana semata. Seiring perjalanan waktu SCF justeru oleh sebagian lembaga NGO di Sulawesi menjadi sangat ekslusif tak ubahnya lembaga donor di Jakarta. Oleh sebagain penggiat LSM, SCF dituding tidak transparan dalam mengelola dana hibah.

Tudingan ini tentu cukup beralasan. Setidaknya inilah yang terlihat saat SCF membuka ruang usulan program bagi para penggiat PSDA dan kehutanan di Sulawesi. Pengumuman mulai dari usulan hingga penetapan lembaga yang concept note lolos hanya dikirim melalui dua alat informasi yakni melalui pengiriman email per lembaga yang dikirim pihak SCF dan website SCF. Dua alat informasi ini oleh sebagian lembaga tidak cukup menunjukkan terbukannya ruang informasi bagi publik.

"Mestinya jika mau terbuka, SCF membuka seluas-luasnya informasi itu melalui media massa seperti koran harian, TV dan radio agar masyarakat dapat mengakses lebih luas,"kata Yusuf, penggiat LSM di Kendari.

Sifat ekslusif dari pengelola SCF juga dirasakan penggiat LSM di berbagai daerah di Sulawesi. "Kami telah berakali-kali mengusulkan usulan program, tapi pengelola SCF tidak pernah memberitahukan kepada kami hasil penilaian mereka. Kami tau setelah mendapat email balasan, bahwa kami belum dapat didanai,"kata Yusuf.

Jika selama ini para donor alias funding luar negeri dapat memberikan penilaian secara fair atas berbagai usulan inisiatif masyarakat (concept note), namun para pengelola Sulawesi Community Fund (SCF) nampaknya belum sepenuhnya mau menerapkan penilaian fair itu.

Sebagian LSM bahkan mulai mencurigai "aroma tak sedap" dimana para pengelola SCF dituding mulai ‘bermain mata’ dengan lembaga pengusul. Aroma Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) berhembus kencang dan tercium oleh sebagian LSM di Sulawesi.

Ini tak lain adanya ‘keanehan’ lolosnya empat lembaga dari Kendari masing-masing LSM Lepmil, Cides, Jamasda dan Komda Social Forestry yang dinyatakan lolos dalam pengajuan usulan dana hibah SCF pada pengelolaan anggaran November 2008 lalu.

Oleh para penggiat LSM yang nota bene ikut memasukkan usulan program, menganggap sikap pengelola SCF meloloskan empat lembaga ini secara bersamaan tidak fair dan sarat KKN. Ini didasari empat lembaga yang lolos tersebut masih memiliki kaitan kerja, satu sama lainnya. "Para aktifis empat lembaga ini juga masih tercatat bekerja di Lepmil,"kata Abd Halik, Jaringan untuk Hutan (JAuH) Sultra.

Dari penelusuran berhasil mendapati kaitan keempat lembaga ini, baik personal/individu pengelolanya maupun kaitan kerja kelembagaannya masih dalam satu paket.

LSM Lepmil sendiri dikenal selama ini sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada pelestarian hutan dan pesisir di sulawesi tenggara. Lembaga yang terbentuk sejak 1999 silam telah banyak bekerja sama dengan berbagai pihak., baik pihak donor maupun pemerintah. Tahun 2005- 2006 Lepmil telah terlibat dalam advokasi masyarakat Tahura Murhum untuk tata kelola kawasan bukit tahura Murhum. Lepmil yang ketika itu dikomadoi oleh Rustanto behasil mendapat dana hibah MFP sebesar dua miliar rupiah untuk bekerja di kawasan ini.

Cides lembaga yang baru terbentuk 2007. Lembaga ini bekerja untuk misi pemberdayaan masyarakat petani lahan kering di empat desa di Konawe Selatan. Direktur lembaga ini awalnya adalah Nur kemudian dipimpin Harun. Kedua orang tersebut semasa MFP adalah tercatat sebagai staf dalam Lembaga Lepmil hingga kini. Salah satu sumber menyebut jika proposal Cides sempat didongkak untuk diloloskan. Namun dengan catatan harus ada pembagian fee dengan salah satu pengurus SCF. "Cides bisa lolos karena sudah ikat komitmen dengan salah satu petinggi SCF agar diberi fee/ persenan dari dana CIDES yang cair.,"kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya tersebut

Jamasda alias Jaringan masyarakat pelestari sumber daya alam (Jamasda). Lembaga ini merupakan lembaga bentukan petani Tahura Murhum Kendari. Jamasda lahir setelah difasilitasi oleh Lepmil melalui program MFP. Dan terakhir Momisi Daerah (Komda) Social Forestry juga tak lepas dari bentukan lembaga yang difasilitasi Lepmil. Direktur Komda sendiri dipimpin Suhendro Bashori yang juga staf Dinas Kehutanan Sultra.

Menanggapi berbagai tudingan ‘miring’ terkait pengelolaan dana hibah SCF, Direktur SCF Muhammad Rivai menganggap tudingan itu tidak berdasar. Pasalnya penilaian seluruh usulan yang masuk berlaku dengan standarisasi penilaian yang sama. Lagi pula tim penilai usulan tidak hanya berasal dari SCF tetapi juga melibatkan penilai independen. "Sama sekali tidak ada intervensi terhadap hasil penilaian usulan program itu,"tegas Rivai.

Concept note yang dinilai, menurut Rivai adalah sesuai standar kriteria dan syarat SCF. Diantaranya lembaga yang dapat mengakses dan mengajukan Project definition ini adalah Organisasi Non Pemerintah (non governmental organization/NGO), Organisasi rakyat (community-based organization/CBO), Perguruan Tinggi dan Kelompok Kerja Multipihak (multistakeholder working group/WG). Lembaga pengusul berdomisili dan beraktifitas di Sulawesi, lembaga pengusul memiliki pengalaman di bidang pengelolaan sumberdaya alam, khususnya kehutanan dan penguatan masyarakat sipil. Lembaga pengusul bersedia menyediakan kontribusi lokal (baik dalam bentuk dana maupun non dana).

"Project definition yang telah diputuskan dalam PAC meeting disampaikan secara resmi secara tertulis kepada lembaga pengusul melalui email dan atau dikirimkan langsung," tegas Rivai.
SCF sendiri bermarkas di Jalan Sungai Saddang, Makassar, Sulawesi Selatan. Di kelembagaan SCF kini dinakodai dua petinggi masing-masing Muhammad Rivai dengan jabatan Direktur dan Rustanto sebagai Manajer Program. Kedua orang inilah yang dimandatkan oleh seluruh stkaholder di program MFP untuk menjalankan program SCF dan membuka jaringan para berbagai pihak , termasuk membuka akses kerja sama dengan berbagai funding di negara-negara maju.

Informasi yang berhasil dihimpun, untuk menggerakkan SCF dana awal telah disediakan MFP sebesar satu miliar rupiah. Anggaran ini digunakan untuk mendanai keberlanjutan dari program MFP transisi yang diinisiasi para penggiat kehutanan di regio sulawesi. Pemberian hibah kecil ini tentu menjadi injeksi dan motivasi baru para penggiat kehutanan pasca MFP. "Adil dan transparan pengelolaan anggaran ini menjadi harapan kami,"kata Marwan Azis dari Green Prees.

Dalam perjalanannya, dua tahun kemudian SCF telah mendapat injeksi berbagai lembaga donor luar negeri, diantaranya MFP Pase 2. Total dana yang kini dikelola SCF telah mencapai miliaran rupiah.


Sejarah SCF

Selama berpuluh tahun markas lembaga-lembaga donor untuk perbaikan lingkungan terus bercokol di Jakarta. Belakangan kuat desakan dari berbagai elemen NGO agar lembaga donor atau funding mendekatkan layanan mereka ke Indonesia Timur. Bahkan langkah berani ini telah dijemput oleh sejumlah pengelola program. Salah satunya adalah para pengelola Program Multistakholder Forestry Program (MFP). Bahkan sejak akhir 2007 MFP telah memulai membentuk satu lembaga dana hibah yang diberi nama Sulawesi Community Fund (SCF).
Lahirnya SCF telah ikut memotong paradigma Jakarta adalah muara perputaran dana hibah dunia bagi Indonesia. Setidaknya para penggiat PSDA lestari tidak lagi mengirim proposal inisitif mereka ke Jakarta melainkan cukup ke Makassar.

SCF sendiri terbentuk Tahun 2006 silam. Tepatnya saat program Multistakholder Forestry Program (MFP) berakhir Desember 2006. Para petinggi MFP yang bermarkas di Departemen Kehutanan Republik Indonesia bersama fasilitator daerah (Fasda) di enam regio di Indonerdia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua) berkumpul membahas pasca berakhirnya MFP. Singkatnya pertemuan yang berlangsung di salah satu Hotel di Jakarta itu sepakat untuk melanjutkan program MFP demi mewujudkan keberlangsungan pengelolaan hutan lestari yang diinisiasi berbagai pihak selama tiga tahun berlangsungnya program. Para petinggi MFP menganggap keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang kini subur tumbuh di enam regio di Indonesia dianggap sayang untuk hilang begitu saja.

Tak hanya itu, perubahan yang cukup pesat berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management/CBFM) di tahun 2005/2006 ditandai dengan bergulirnya proses revisi PP34, inisiasi berbagai peraturan menteri untuk pengaturan CBFM dan pembentukan kelompok kerja (working group) untuk percepatan CBFM menjadi begitu penting untuk tetap mempertahankan keberadaan program MFP di masyarakat.
Para penggiat MFP menganggap perubahan-perubahan ini tidak saja didukung dengan komitmen yang semakin tinggi dan terbukanya pihak Departemen Kehutanan tehadap berbagai inisiasi pengembangan CBFM, tetapi juga disertai munculnya inisiatif praktek dan pengembangan model CBFM di berbagai tempat yang dilakukan berbagai pihak :LSM, Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok-kelompok masyarakat.

Program MFP (kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggeris) yang berakhir pada 31 Desember 2006, telah menghasilkan berbagai capaian signifikan khususnya terhadap perkembangan kebijakan dan praktek CBFM di Indonesia. Perkembangan perubahan/revisi PP34 yang hampir selesai pada akhir tahun 2006, merupakan momentum dan landasan penting untuk pengembangan CBFM terutama yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu program prioritas Departemen Kehutanan.
"Berbagai kemajuan dan capaian yang telah diraih oleh mitra-mitra MFP merupakan hasil-hasil penting bagi upaya penguatan CBFM atau pemberdayaan masyarakat ke depan,"kata Nonnette Arroyo ketika itu. Karena itu pula upaya fasilitasi lanjutan melalui fase transisi (MFP transisi) yang resmi mulai berlaku Januari-Juni 2007.

MFP Transisi dipandang akan memberi kontribusi besar dalam percepatan terwujudnya pemberdayaan masyarakat melalui CBFM. Dalam diskusi fasilitasi (lanjutan) CBFM antar regional yang dimulai pada pertengahan November 2006 oleh mitra-mitra kunci MFP sejumlah rumusan agenda jangka pendek dan jangka menengah telah disepakati, termasuk perumusan kegiatan pokok, pembagian peran mitra di nasional dan daerah serta penetapan wilayah-wilayah prioritas (pilot) di masing-masing regional. Diskusi intensif ini juga melibatkan beberapa personal jaringan MFP di dalam Pokja Pemberdayaan Masyarakat yang akan merupakan peluang bagi semakin kuatnya peran masyarakat sipil dalam pengawalan berbagai kebijakan tersebut.

No comments: