Sunday, January 11, 2009

Bila Orang Miskin Bicara Tentang Kemiskinan

By Line: Yoshasrul

Fenomena kemiskinan telah menjadi wajah buram bangsa ini. Betapa tidak, kemiskinan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan warga hampir disemua lapisan. Fenomena ini bukan hanya berupa angka-angka yang tiba-tiba melonjak, tetapi juga telah menjadikan moral warga berada diambang mengkhawatirkan. Namun bagaimanakah orang miskin memandang tentang kemiskinan itu sendiri?

"Sesungguhnya apa itu kemiskinan?," "Kenapa masih ada saja diantara kita yang mau mengaku miskin?," Ragam pertanyaan yang bernada mengkritisi diri sendiri ini mengalir begitu saja dari mulut para "kaum papa" tanpa malu-malu, dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Green Press sebuah organisasi perkumpulan wartawan lingkungan kendari, di balai kelompok petani Mangga Dua.

Jawaban muncul pun beragam, walau penggambarannya sedikit ‘samar-samar’ dan terdengar kocak. Said misalnya memandang definisi kemiskinan itu ibarat pertemuan air laut dengan air sungai, sudah sulit membedakan mana miskin dan tidak miskin. Terlebih dalam upaya penanganan kemiskinan itu sendiri yang berujung pada ‘kaburnya’ nilai-nilai moral di masyarakat.

Ia pun mencontohkan program bantuan kompensasi BBM, banyak hal yang janggal karena criteria miskin yang ditetapkan pemerintah tidak jelas, sehingga yang muncul kemudian adalah banyak ‘orang’ yang tiba-tiba mengaku miskin, padahal sebetulnya tidak miskin. "Paling parah lagi program bantuan ini dalam implementasinya menjadi ladang korupsi bagi pihak-pihak lain,"kata Said, Ketua Kelompok Tani Mangga Dua, Tahura Nipa-nipa Kendari.

Lain pula yang dikatakan, Munir. Miskin kata dia bisa diplesetkan dengan arti "Makan mie instant dan ikan asin". Harusnya pemerintah dalam menangani kemiskinan tidak usah repot-repot mencari kritria yang berbelit-belit, cukup melihat warga itu makan mie instant dan ikan asin sudah menggambarkan keberadaan seseorang yang berkategori miskin.

"Petugas BPS tidak usah repot keliling mendata itu orang miskin. Cukup melihat apakah dia mampu membeli makanan atau tidak. Sebab fakta yang ada selama ini para penerima bantuan justeri punya handphone. Dan dana BLT yang mereka terima dipakai untuk beli pulsa. Inikah tidak benar,"kata Munir yang pernah menjadi korban PHK Tahun 1997 dari sebuah perusahaan di Kendari.

Ia melihat hingga kini pembodohan orang miskin yang dilakukan orang pintar yang punya kedudukan masih sangat dominan. "orang miskin condong tidak punya wawasan sebab mereka telah miskin ilmu, miskin etika, miskin moral. Karena itu pula orang miskin kerap menjadi kambing hitam.

Bagi Munir, pendapatan tidak tetap, tidak ada KTP, tidak diakui sebagai warga kota ( karena tidak punya tempat tinggal / tidak punya lahan, tidak bisa menyekolahkan anak,
Tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak punya kekuatan untuk menyentuh program pemerintah merupakan rangkaian dari criteria orang miskin. "Alat ukur inilah yang harus dipakai pemerintah, sebelum menetapkan sebuah criteria yang lagi-lagi cenderung tidak dipahami masyarakat,"ujarnya.

Diskusi ala petani ini tak hanya ‘menyentuh’ kemiskinan secara umum. Tetapi membedah sejumlah pandangan tentang kemiskinan disekitar kawasan hutan. Dua petani Muasri dan Naim mematok criteria orang miskin disekitar kawasan hutan yakni warga yang kebutuhan sehari-harinya tidak lagi terpenuhi, pendapatan tidak tetap, sehingga ketidakmampuan menyekolahkan anak-anak.

"Memandang sebuah kemiskin itu relative, artinya tiap orang mungkin berbeda pandangan. Bagi saya yang masuk dalam kelompok pelestari hutan sudah pasti miskin, karena buat apa mereka mencari tambahan pendapatan dengan ‘masuk’ hutan bila kebutuhan hidupnya terjamin,’kata Naim, Ketua Kelompok tani Sarungga, Kelurahan Kemaraya, Kendari.

Lain pula pandangan Jayawati, perempuan berjilbab ini memandang kemiskinan sekitar hutan itu karena musiman. "Artinya Jika musim jambu dapat uang, kalau tidak mencari tambahan di pasar,"ujarnya.

Baginya kemiskinan leih banyak terjadi di pinggiran hutan, karena warga tidak lagi bisa mengakses kebutuhan hidup baik kebutuhan sandang dan pangan.
Ia pun membandingkan orang-orang yang tinggal dalam kota adalah orang-orang mampu, karena sudah punya tempat. Sedangkan masyarakat sekitar hutan adalah orang yang tidak mampu membeli membali tanah dalam kota.

Namun pendapat Jayawati ini agaknya berbeda dengan pendapat Said. "Tidak ada beda, miskin orang kota dan orang yang tinggal di sekitar hutan. Hanya faktor gaya hidup dan sosial yg membedakan. Said mengaku ada komunitas tertentu yang menyebabkan kemiskinan terjadi, sebab tidak lebih pada masalah kultur atau budaya yang terbangun selama ini agak keliru.

Lalu apa penyebab masyarakat miskin sekitar hutan? Menurut analisa Said, penyebab kemiskinan itu sendiri terdiri dari sejumlah kriteria misalnya sektor lapangan kerja kurang. Tahun 2000-2003 pekerjaan di pelabuhan kurang, tapi setelah ada pelabuhan kontainer sedikit tertolong. Selain itu akibat buruh toko sering di PHK.

Dalam konteks kemiskinan warga yang bermukim di sekitar kawasan hutan itu disebabkan beragam faktor. Terutama latar belakang para pemukim itu sendiri. Di Kelurahan Gunung Jati misalnya, warga yang bermukim disekitar kawasan hutan berasal dari berbagai latar belakang,s eperti buruh pelabuhan 60 persen, buruh toko 15 persen , pedagang kaki lima serta dari sektor pekerjaan lainnya. Ini dapat pula dibagi lagi terdiri buruh pelabuhan ada dua kelompok, ada anggota dan lepas.

Beragam cerita tentang kemiskinan, baik yang dialami sendiri oleh para petani maupun potret cerita sanak familiy petani tahura juga muncul dalam sesi diskusi itu. Ibu Siti Suryana misalnya, semenjak suaminya sakit, Ia tidak bisa lagi memenuhi kewajiban sebagai suami.

Ia terpaksa keliling ke tetangga untuk meminjam beras. Saat ini praktis kelurga Siti Suryana sangat tergantung pada bantuan beras miskin (raskin). Termasuk pula bergantung pada dana bergulir yang dilayangkan pemerintah. "Pernah saya berharap dapat bantuan dana bantuan tapi tidak dilayani,"ungkap wanita parobaya ini.

Meski semua serba terbatas, Siti Suryana masih bertekat menyekolahkan ketiga anaknya. "Tiga anak saya masih bersekolah. Tapi terpaksa saya harus gilir jadwal sekolah mereka. Jika hari ini dua orang yang masuk sekolah, terpaksa anak saya yang satunya tidak masuk sekolah. Semua ini karena kami kekurangan biaya,"kata Siti Suryana dengan mata-berkaca-kaca. Kondisi serba kekurangan ini telah dirasakan sejak 18 tahun silam, sejak suaminya tidak lagi bekerja.

Diskusi kemiskinan yang dihadiri kaum miskin kota dan warga miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan ini berbeda dengan diskusi yang ada selama ini. Dimana undangan diskusi yang kerap digelar selama ini lebih didominasi para penggiat kemiskinan seperti LSM atau pemerintah ketimbang warga miskin itu sendiri.

Padahal kata Midwan penanggung jawab diskusi yang juga anggota Green Press, bahwa titik letak kemiskinan dan ukuran kriteria kemiskinan sedapatnya mendengarkan pendapat para kaum miskin itu sendiri. "Saatnya diubah model diskusi, tidak hanya melulu mengundang orang-orang yang justeru tidak merasakan kemiskinan dan hanya tau merusmukan di atas kertas,"katanya.***

No comments: