Biaya kesehatan yang semakin sulit membuat masyarakat miskin terpuruk. Tak heran banyak warga masih memilih berobat dukun ketimbang ke rumah sakit. Tampak kegiatan pengobatan tradisional dukun kampung. Dengan berobat ke dukun kampung, masyarakat berharap untuk sembuh. foto: yoshasrul
By Line: Yoshasrul
Bukan rahasia lagi jika selama ini rumah sakit menjadi barang langka bagi kaum miskin. Meski telah ada kebijakan pemerintah untuk memberikan konpensasi bagi warga miskin tetapi masih ada saja pihak rumah sakit kurang memberikan perhatian terhadap pasien tidak mampu. Berikut kisah Lisar (30 th) seorang warga dari keluarga miskin asal Desa Andaroa, Kecamatan Sampara yang berusaha menyelamatkan nyawa anaknya, namun kurang mendapat pelayanan maksimal dari rumah sakit Sulawsi Tenggara.
Medio maret 2007 silam merupakan hari-hari yang tidak dilupakan oleh Lisar. Ketika itu Lisar tak henti-hentinya menatap wajah Rian anaknya yang terkulai lemas di salah satu ruang perawatan anak rumah sakit sulawesi tenggara.
Suara tangis Rian seolah tak pernah putus menggema di ruangan yang sesak pasien tersebut. Suara tangis Rian berasal dari luka bakar yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya. Tubuh anak berumur empat tahun ini penuh luka bakar yang benar-benar fatal. Rian terbakar di rumahnya saat tengah tertidur. Saat itu obat nyamuk bakar menyulut kasur tempat Rian tidur.
Ketika itu Lisar dan Norma isterinya tidak berada di rumah.”Saya tengah berada di kebun untuk mencari buah durian,”kata Lisar. Jarak kebun dan rumahnya lumayan jauh. ”Saya dapat kabar petaka menimpa anak dari adik ipar saya yang datang memanggil saya di kebun,”ujarnya..
Mendapat kabar Lisar bergegas pulang. Saat tiba Ia mendapati anaknya telah terbaring lemas penuh luka bakar. Wajah Lisar langsung memucat. Norma, isterinya histeris. Keduanya tak sanggup menahan tangis melihat kondisi tubuh anaknya yang telah melepuh.
Dalam ketidak berdayaan keluarga berkategori miskin ini pun berusaha bangkit. Lalu membawa anak keduanya itu ke puskesmas Lepo-Lepo, Kota Kendari guna diberi pertolongan. Namun saat tiba pihak petugas puskesmas mengaku tidak mampu. ”Dari puskesmas kami mendapat rujukan ke rumah sakit umum daerah sulawesi tenggara untuk perawatan. Alasannya luka anak saya sangat parah,”kata Lisar. Sebelum ke rumah sakit pihak puskesmas menyarankan agar Lisar mengurus kartu tidak mampu di desanya. Saran itu dikerjakan Lisar dalam tempo satu hari. ”Hari itu juga semua persyaratan untuk mendapatkan kartu miskin saya dapatkan,”kata Lisar.
Bermodal kartu miskin itulah Rian menperoleh perawatan di rumah sakit daerah sulawesi tenggara. Rrian ditempatkan di ruang khusus perawatan anak.
Hari pertama Rian mendapat perawatan intensif seluruh luka bakar ditubuhnya dibersihkan dan kemudian diberi obat luka serta cairan infus. Namun itu hanya berlaku selama seminggu saja. Hari-hari berikutnya mulailah penderitaan batin dialami keluarga Lisar. Perawatan tubuh Rian yang mstinya dikerjakan oleh perawat profesional tidak lagi diperolehnya. Lisar dan isterinya terpaksa menggantikan tugas perawat, mulai dari membersihkan luka bakar dengan cairan infus hingga mmberi olesan salep ditubuh Rian.
Ironisnya kata Lisar, dokter di rumah sakit itu hanya sesekali saja menengok Rian , itu pun hanya memeriksa luka ditubuh lalu pergi lagi.
Lisar tidak mengetahui apakah yang dilakuka dokter sudah sesuai standar perawatan ata tidak. Yang jelas ia hanya mengerjakan demi menolong anaknya. Bahkan sudah hampir sebulan di rumah sakit lisar tidak melihat tanda-tanda kondisi anaknya akan membaik. bahkan dibeberapa bagian tubuh seperti tangan tampak sudah mulai membusuk. Hal ini kian menambah hatinya cemas melihat kondisi anaknya.
Belum lagi dana untuk biaya hidup ia dan isterinya selama di rumah sakit kian menipis membuat lisar putus asa. Tepat sebulan anaknya menjalani perawatan Lisar dengan berat hati membawa pulang anaknya. Ia mengaku tidak sanggup lagi melihat perlakukan rumah sakit yang dinilainya tidak memberi perhatian .
Ya kisah lisar ini menjadi potret buram pengelolaan rumah sakit di daerah ini. Bukan saja karena ketidak profesional pengelola rumah sakit tetapi seolah motto rumah sakit sebagai penyedia layanan dan mengutamakan keselamatan telah tergantikan dengan motto uang adalah segala-galanya.
Kondisi ini menapat perhatian dari yayasan pengembangan studi hukum dan kebijakan (YPSHK)) sulawesi tenggara.
Menurut Yusuf Talamma, Direktur YPSHK Sulawesi Tenggara porsi anggaran untuk masyarakat miskin masih sangat kecil. Padahal pada filosofinya anggaran merupakan milik rakyat. Sehingga harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
”Keberpihakan suatu negara atau daerah terhadap rakyatnya dapat dilihat dari arah kebijakan anggarannya,”kata Yusuf.
Bagi dia anggaran sebagai proses politik adalah bentuk komitmen rezim yang dipilih oleh rakyatnya.
”Anehnya daerah pun terkesan lepas tangan terhadap dampak kebijakan ini,”katanya. ”Anggaran untuk sektor kesehatan masih bertumpu pada anggaran yang menggemukkan kantong-kantong para pejabat di daerah yang kesemuanya itu tentu saja jauh dari harapan masyarakat yang mendambakan adanya pengelolaan pemerintahan yang bersih,”tegas Yusuf Talamma/ Direktur YPSHK Sulawesi Tenggara//)
Padahal jika melihat porsi anggaran kesehatan setiap anggaran porsinya lumayan besar.
Anggaran sektor kesehatan kota kendari pada APBD 2007 misalnya. Alokasi anggaran sebesar 28.1 miliar rupiah atau sebesar 7.44 persen dari total APBD tahun 2007 Rp 378.9 miliar rupiah.
Jumlah ini dibagi menjadi dua yaitu biaya tidak langsung sebesar 14.5 miliar rupiah atau sebesar 51,28 persen dan biaya langsung sebesar 13.7 miliar atau sebesar 48,72 persen dari total anggaran dinas kesehatan kota kendari.
Dari program-program tersebut perlu dikritisi lebih lanjut sebab jika dilihat dari komponen-komponen kegiatan yang dibiayai. Masih banyak komponen pembiayaan yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan pegewai negeri sipil yang menumpang pada belanja langsung belanja-belanja tersebut antara lain pada belanja program pelayanan adnistrasi perkantoran yakni penyediaan jasa administrasi dan anggaran belanja rapat-rapat koordinasi dan perjalanan dinas yang cukup besar/ dan merupakan bentuk pemborosan anggaran karena setiap perjalanan dinas baik di dalam dan di luar daerah dianggarkan tanpa ada laporan kegiatan perjalanan yang jelas.
Jika dilihat kegiatannya seolah-olah kegiatan ini berpihak pada pemenuhan hak masyarakat miskin namun setelah dilihat pada item belanja pada kegiatan tersebut tidak menunjukkan sama sekali keberpihakan pada masyarakat miskin. Bahkan biaya perjalanan dinas dalam daerah dan perjalanan dinas luar daerah yang menggunakan anggaran jutaan rupiah.
Perjalanan dinas dalam daerah mungkin bisa diasumsikan sebagai biaya mendistribusikan obat-obatan pada kantung penduduk miskin. Namun untuk perjalanan dinas luar daerah menjadi tanda tanya besar???
Sehingga dapat dikatakan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh PNS hampir semua dibiayai dalam APBD padahal mereka sudah menerima gaji setiap bulan.
Sementara itu penomena gizi buruk (kurang gizi), penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit menular (terutama malaria dan diare) di Kota Kendari juga masih menjadi kegiatan yang rutin terjad setiap tahunnya. Angka gizi buruk di Sulawesi Tenggara pada tahun 2006 sebanyak 1663 kasus. Kasus terbanyak terdapat di kota kendari sebanyak 340 kasus.
No comments:
Post a Comment