By Line: Yoshasrul
Peluh memenuhi tubuh Kariono. Peluh di badan petani asal Desa Aepodu Kecamatan Laeya, Konawe Selatan ini nampak berkilau terkena terik matahari. Ia menggerus sisa tenaganya menggarap lahan kering dengan traktor tangan sewaan. Kariono sebenarnya sudah patah semangat menggarap lahan di sana, namun Ia mengaku 'miris' melihat tanah yang luas itu terlantar begitu saja. Ia lalu mencoba memanfaatkan tanah kosong itu dengan bercocok tanaman palawija seperti cabai merah dan bawang.
"Mudah-mudahan hasilnya bagus,"katanya saat ditemui akhir Januari lalu. Kariono sendiri punya pedoman musim. Ia memanfaatkan musim yang tidak menentu (kadang panas, kadang hujan) untuk bercocok tanam. "Kalau mengandalkan air dari irigasi itu mustahil, jadi tidak ada lain saya berharap dari kemurahan alam saja,"katanya.
Lahan yang digarap Kariono itu hanya sebagian kecil dari ratusan hektar lahan petani yang sudah terlantar. Tumbuhan liar tumbuh subur. Sebagain lahan dulunya merupakan areal persawahan produktif. Kini jadi lokasi gembala sapi petani. "Sudah delapan tahun lima sawah-sawah ini mengalami kekeringan,"kata Kariono. Irigasi di sebelah timur lahan kini sudah tidak lagi dialiri air. Ironisnya irigasi itu kini tak terawat dan dipenuhi rumput liar.
Di Desa Aepodu juga telah dibangun sistem distrubusi air rakyat yang menggunakan air bawah tanah. Diduga pembangunan bak penampunagn air raksasa ini menjadi penyebab berkurangnya air yang mengalir ke persawahan petani. Tak hanya itu perambahan kawasan hutan juga dituding sebagai biang 'hilangnya' jejak air tanah. Karmono tak habis mengerti mengapa pemerintah tak juga memberikan perhatian pada irigasi ini. Padahal ratusan hektar sawah menaruh harapan pada irigasi itu. Parahnya sebagain besar sawah-sawah itu oleh pemiliknya dibiarkan terlantar.
Indonesia seperti juga banyak negara yang lain sudah lama mengalami krisis air, bukan dari segi kuantitas yang dihitung dari jumlah air yang datang sebagai air hujan sepanjang tahun akan tetapi dari segi kuantitas pada suatu kurun waktu pendek di sumber air terutama sungai. Jumlah air yang mengalir sepanjang tahun relatif tetap sama namun penyebarannya sudah jauh berubah. Debit sungai dalam waktu singkat amat besar tiba-tiba menurun sehingga pemanfaatannya tidak sesuai lagi dengan kebutuhan bahkan menimbulkan bencana, bencana banjir dan bencana kekeringan.
Dari segi kualitas juga banyak berubah, air yang dulunya bebas untuk segala keperluan sekarang tidak lagi. Banyak sumber air tercemar sehingga kualitas air jauh berkurang bukan hanya untuk keperluan air minum tetapi juga untuk usaha pertanian dan berbagai keperluan lainnya. Banyak sungai yang dulunya merupakan sumber air minum sekarang tidak lagi.
Sungai Laeya, Kabupaten Konawe Selatan pada tahun 1980-an masih digunakan sebagai sumber air minum imasyarakat Konawe Selatan di bagian timur, sudah lama tidak digunakan karena sekarang debit airnmya yang semakin kecil sehingga tidak lagi digunakan masyarakat secara mayoritas.
Jadi air masih tetap jumlahnya tetapi penyebaran dan kualitasnya sudah berubah sehingga lazim disebut krisis air yang sering cuma diartikan kekurangan air. Pada hal yang terjadi ialah krisis pengelolaan. Disebut krisis pengelolaan karena sesungguhnya kalau diadakan pengelolaan yang tepat krisis belum akan terjadi. Tiap sungai harus mempunyai watershed, yaitu kawasan hutan lindung yang tidak boleh dijamah agar air dari kawasan tersebut mengalir sepanjang tahun, sebab air yang jatuh ke atas pohon akan mengalir perlahan-lahan ke bawah tidak sebagai air permukaan akan tetapi terus menembus tanah yang kelak menjadi mata air di musim kemarau, bahkan akan sampai di kawasan pesisir sebagai air tanah.
Dampak paling besar perubahan pola debit sungai paling diderita petani yang mata pencariannya sangat tergantung dari air sungai. Dari luas daerah irigasi di Indonesia yang 10 juta ha hanya kurang lebih satu juta ha yang mendapat air dari waduk yang berarti dapat terjamin ditanami dua tiga kali setahun. Areal yang biasa ditanami padi makin berkurang karena debit kemarau sungai makin kecil, bahkan yang biasa berhasil tidak jarang kena puso.
Petani yang paling dulu menggunakan sungai sebagai sarana mata pencariannya paling terkena akibatnya, kalau tidak mengalami kekeringan, mereka kekeringan atau kedua-duanya pada tahun yang sama. Irigasi Desa yang kita kenal, merupakan cikal bakal jaringan irigasi yang sudah mencapai 10 juta ha berasal dari pengembangan irigasi tersebut. Anak sungai di pegunungan menjadi sumber air mereka. Mata air yang berasal dari hutan pegunungan merupakan sumber air yang dulu tidak pernah kering. Sekarang sudah berubah semua. Hutan hampir punah air yang mengalir hanya dari mata air yang mengecil debitnya di musim kemarau. Masyarakat yang tidak dapat mengkomsumsi air sungai yang tercemar dan tidak dipercaya sebagai sumber air baku lagi, bahkan kini pindah ke air kemasan.
Tapi nampaknya harapan agar hutan tetap lestari dan air dinikmati rakyat di Kabupaten Konawe Selatan dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara sulit akan pernah terwujud, selama sistem pengawasan pengelolaan hutan dari pemerintah masih setengah hati. Alih-alih melestarikan, tetapi justeru pemerintah lebih asyik berkutat dengan berburu pedapatan asli daerah melalui sektor kehutanan. Berbagai produk kebijakan berkaitan dengan PAD terus dikeluarkan dinas kehutanan setempat, seperti ijin industri kayu (sawmill) dan pemberian ijin pengelolaan lahan hutan seperti lahan sawit pada para investor masih terus saja diberikan. Dan tak kalah pentingnya munculnya ancaman lain yang bukan tidak mungkin membuat aparat pemerintah kita di Sulawesi Tenggara 'tergoda' mendatangkan investor untuk mengelola sumber air untuk dijadikan produk air kemasan.
Sebab dikuatirkan ekspansi para pengusaha yang menangkap peluang memanfaatkan air dari mata air yang relatif bersih dan siap mengeluarkan banyak modal dibanding bila menggunakan air sungai sebagai air baku. Jika ini terjadi bukan saja ancaman bagi kelangsungan hidup petani kita, dimana akan berakibat petani tidak bisa lagi menanam dua tiga kali setahun bahkan sudah kekurangan air minum. Kekurangan air tidak hanya dialami petani di pegunungan akan tetapi sudah merembet ke pesisir.
Dengan semakin meningkatnya jumlah manusia, semakin berkembangnya daerah pemukiman, kebutuhan air makin bertambah. Barangkali di musim hujan air masih mencukupi akan tetapi di musim kemarau di Sulawesi dan beberapa sungai di pulau lainnya tidak berair lagi, bahkan kekurangan air untuk debit pemeliharaan sungai agar fauna dan flora sepanjang aliran sungai tidak punah.
Terjadi persaingan antara kebutuhan air domestik, baik untuk rumah tangga dan industri dengan air untuk pertanian. Karena PDAM dan industri lebih terorganisir dan dekat dengan Pemerintah, mereka dengan bebas menyadap air dari sumbernya yang selama ini dipakai petani. Lebih-lebih dengan pengertian air minum merupakan prioritas pertama. Prioritas yang sebenarnya harus diperlakukan hanya bila ada beberapa permintaan yang bersamaan maka permintaan untuk air minum yang didahulukan itupun juka air di sumbernya masih ada sisa yang tidak dibutuhkan bagi pengguna yang sudah ada.
Bahkan beberapa peraturan yang mendukung adanya swastanisasi air ternmaktub jelas dalam Pasal 45 UU No.7 yang berbunyi: ayait (1) pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup, ayat (2) pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah, ayat (3) pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, tidak mengemukakan kewajiban yang yang harus dipikul oleh mereka. Hal ini juga bertentangan dengan kepemilikan air yang berada di sumbernya yaitu merupaqkan hak publik. Hanya sisa air yang tidak digunakan oleh pengguna yang yang sudah ada, biasanya air banjir yang dapat ditampung oleh suatu badan usaha yang kemudian dapat mereka usahakan.
Pasal 46 yang berbunyi: ayat (1) pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), ayat (2) alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan, ayat (3) alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah, ayat (4) dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi air sementara, tidak jelas bagaimana alokasi ditetapkan , tidak jelas kedudukan perngguna yang telah ada terutama petani yang telah turun temurun menggunakan air untuk mata pencariannya, tidak jelas alokasi sementara yang dimaksuid, sehingga sewaktu-waktu bisa tersepak karena kekutan dan prioritas yang diberikan ke pengguna baru.
Termasuk bagaimana mengadakan konsultasi publik seperti dinyatakan dalam pasal 47 ayat yang berbunyi ( 4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik. Siapa yang dimaksud publik di sini tidak jelas, apakah cukup dengan memangundang beberapa LSM dan Dinas sudahdapat dikatakan konsultasi publik, siapa pula yang akan dianggap mewakili petani pada konsultasi publik. Bukankah ungkapan "water is everybody business" yang telah mendunia seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh pihak dalam pengelolaan air.
Pengguna air di suatu sumber pasti ada urutan senioritasnya, yaitu berdasarkan sejarah mereka mulai mempergunakan air dari sumber tersebut, urutan yang seyogyanya menjadi dasar pemilikan hak guna, artinya siapa lebih dulu menggunakan dia yang mendapat prioritas pertama menggunakan air tampa mengindahkan untuk apa penggunaan itu. Hak guna baru hanya dapat diberikan apabila masih ada sisa debit yang belum dikeluarkan hak gunanya. Kalau tidak pengguna baru hanya diberikan hak guna di musim hujan ketika air melimpah atau pengguna baru baik sendiri-sendiri maupun melaui kelompok mendirikan bendungan untuk menampung air lebih di musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau.
Hak guna yang diperkenalkan Pemerintah di dalam UU No.7 akan mempengaruhi penggunaan air dari sumbernya, sayang UU tersebut tidak cukup menguraikan mekanisme pemberian Hak Guna yang dimaksud. Hampir semua sumber air terutama sungai meskipun tidak mengikuti suatu peranturan tertentu sudah habis teralokasi terutama pada musim kemarau.Tidak jelas bagaimana Pemerintah yang diberi hak untuk mengeluarkan Hak Guna akan mengatur pemberian hak tersebut yang sebenarnya sudah habis teralokasi.
Hak guna dari sumber alamiah harus dibedakan dengan hak guna di sumber air buatan, kalau air di sumber alamiah merupakan kurnia Tuhan adalah milik publik, di waduk air merupakan hasil usaha sehingga hak gunanya menjadi milik pembangun waduk atau bendungan. Hak guna yang dikeluarkan dari sumber alamiah harus ditukar dengan kewajiban, sebab tampa kewajiban dari mana Pemerintah menarik biaya pemeliharaan watershed dan biaya pengawasan kualitas air. Adanya kewajiban juga dapat dipakai sebagai bukti seseorang mempunyai hak.
No comments:
Post a Comment