Belajar Partisipatif Melalui Wadah Koperasi
By Line: Yoshasrul
Menempuh perjalanan dari Kota Kendari menuju Kabupaten Konawe Selatan bukanlah hal sulit. Kita akan disuguhi jalan mulus berkelok di daerah pegunungunan wolasi yang hutannya masih ‘perawan’. Pohon berukuran besar dan aneka satwa yang berdiam terkadang terlihat bermain di sisi jalan menjadi pemandangan tersendiri ketika dilewati. Jarak menuju konawe selatan tempuhnya relative singkat, hanya butuh satu setengah jam untuk mencapai kabupaten itu. Lepas dari areal hutan, kita kembali disuguhi areal persawahan milik petani nan hijau. Begitu pula areal perkebunan rakyat yang membentang di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan.
Dibanding daerah lain di Sultra kekayaan alam kabupaten yang biasa disebut “Laiwoi Selatan” memang menggiurkan. Terekam jika Kabupaten Konawe Selatan sampai tahun 2003 (berdasarkan data pemerintah setempat) memiliki luas areal tanaman perkebunan rakyat 110.221 hektar, yang terdiri dari jenis tanaman yang belum menghasilkan seluas 9.862 hektar, dan tanaman menghasilkan seluas 37.471 hektar serta tanaman tidak menghasilkan seluas 1.161 hektar.
Tanaman perkebunan rakyat tersebut terdiri dari berbagai jenis; kelapa dalam, kelapa hibrida, kopi, cengkeh, kakao, jambu mete, kapuk, kapas, kemiri, lada, pala, jahe, vanili, pinang, enau, tembakau, asam jawa, dan sagu. Selain itu Kabupaten Konawe Selatan juga sangat potensial dalam bidang kehutanan.
Sebagai gambaran luas kawasan hutan produksi berdasarkan hasil survey dinas terkait memiliki luas 91.628,2 ha, tanaman hutan rakyat seluas 3.669,9 ha, dan lahan kritis 207.798,53 ha, jumlah produksi hutan rakyat vs hasil produksi hutan sebanyak 4% dengan aneka usaha kehutanan.
Awal memasuki gerbang perbatasan antara kota kendari dan kabupaten konawe selatan telah terasa gejolak pembangunan yang dicanangkan pemerintah setempat. Pembanguan ini tentu saja mendapat dukungan penuh masyarakat di sana. Masyarakat bahu membahu berpartisipasi mengisi pembangunan dengan mengembangkan aneka usaha produktif.
Mungkin tak berlebihan jika kekayaan yang melimpah ruah ini yang mendorong semangat warga akan pemekaran, yang kemudian mendorong proses lahirnya Konawe Selatan sebagai salah satu daerah pemekaran di sulawesi tenggara. Kabupaten Kendari terbentuk melalui perjuangan panjang dan melelahkan dari seluruh komponen masyarakat di sana. Berdasarkan UU No. 4 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Konawe Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara, Konawe selatan resmi berdiri pada tanggal 2 Mei 2003 oleh Menteri Dalam Negeri di Kendari atas nama Presiden Republik Indonesia.
Satu setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di lokasi social forestry tepatnya di Desa Lambakara Kecamatan Lainea. Hampir separuh wilayah desa berpenduduk 200 Kepala keluarga ini merupakan areal konsesi perkebunan milik PT Kapas Indah Indonesia.
Di desa ini berdiri sebuah kantor koperasi rakyat yang khusus bergerak pada pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Warga memberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dengan akta nomor 518.15/ DKK/ III / 2004. Pendirian koperasi yang digagas masyarakat di 12 desa dari jumlah total 46 desa yang berada di areal social forestry dengan total luas aral 38 ribu hektar.
Hari menjelang siang saat mobil yang mengantar kami merapat di halaman kantor KHJL yang terletak di poros jalan menuju pelabuhan penyeberangan Torobulu. Kantor yang dibagun atas iuaran anggota seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu. Di halaman rumah berdiri papan nama kantor koperasi.
Saat tiba, sejumlah pengurus koperasi telah bersiap menyambut kehadiran tim. Begitu pula pengurus Lembaga Komunikasi Antar Kelompok (LKAK) ikut hadir. LKAK selama ini menjadi lembaga pemantau manajemen koperasi yang segaja dibentuk warga sebagai wujud transparansi. Selain kedua kedua lembaga, Jaringan Untuk Hutan sebuah konsorsium LSM yang selama ini berjasa memberikan pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan koperasi dan LKAK juga ikut.
Setelah saling memperkenalkan diri sekaligus mndengarkan persentase dari pengurus koperasi, LSM JAUH hingga wakil dari Dinas Kehutanan Sultra, perlahan sejumlah pertanyaan dari tim DFID mulai mengalir. Pertanyaan lebih banyak mengarah pada kesiapan pengurus koperasi baik dari segi manajmen maupun upaya inisaisi lanjutan guna menindaklanjuti jika pemerintah pusat melalui menteri kehutanan benar-benar menerbitkan ijin areal lokasi social forestry di konawe selatan.
Para pengurus bercerita dari 46 desa tersebut sedikitnya 46 kelompok direncanakan akan memperkuat kepengurusan koperasi. “Kami mengharapkan kelompok petani akan segera menggabung dalam koperasi ini,”kata Abd Haris Tamburaka, Ketua Koperasi Hutan Jaya Lestari.
Pendirian koperasi ini membawa berkah tersendiri bagi daerah ini. Betapa tidak semenjak berdiri 2003 lalu, koperasi ini telah menjadi titik awal berkiprah secara nasional sekaligus ‘tiket’ Konawe Selatan melaju menjadi daerah percontohan sertifikasi kayu dunia.
Awalnya tak pernah terpikirkan pemerintah dan masyarakat di sana, bila desa mereka menjadi pusat perhatian International. Bahkan sebagian pengurus KHJL sekalipun. “Kami baru tahu melalui media yang ramai memberitakan bahwa konsel menjadi lokasi percontohan ekolabel kayu dunia,”ujar Abd Haris. Kondisi ini mengundang dcak kagum dan bangga warga setempat.
KHJL sendiri pada bulan Mei 2005 lalu mendapat kehormatan sebagai koperasi pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat kayu dunia dari organisasi Smart wood sebuah organisasi dunia yang menaruh perhatian pada pengelolaan hutan secara lestari.
Diakui para pengurusnya, jika Pembentukan koperasi merupakan hasil diinisiasi Dinas Kehutanan yang dibantu oleh JAUH Sultra dan MFP-DFID.
"Kami sudah dilatih selama 3 tahun tentang pengelolaan hutan secara lestari. Karena Smart Wood mewajibkan penanaman kembali dimana ditekankan tebang 1 jati tanam 10. Semua prasyaratan yang diwajibakan Tropical Forest (TFT) dan Smart Wood dalam pengelolaan kayu jati kami laksanakan, sehingga akhirnya diberikan sertifikasi oleh Smart Wood,"ungkapnya.
Keberhasilan KHJL mendapatkan sertifikasi ekolabel dari Smart Wood itu salah satu bukti bahwa masyarakat bisa melakukan pengelolaan hutan secara lestari sekaligus menepis keraguan pihak Dephut yang pernah meragukan kemampuan masyarakat mengelolah hutan, saat berkunjung di Konsel beberapa waktu lalu.
Diungkapkan, kayu yang diolah masyarakat yang masuk dalam KHJL adalah murni dari lahan masyarakat sendiri, tidak diambil dari hutan milik negara. Luas seluruh kayu yang dioalh ditanah milik seluas 219 Hektar. "Kami mengharapkan agar pemerintah bisa melihat pengamanan hutan yang selama ini dilaksanakan sehingga aktivitas illegal logging bisa dikurangi,"ujarnya.
Sementara Manajer Program JAUH yang selama ini aktif mendampingi masyarakat, Abd Halik mengungkapkan, ada beberapa keberhasilan yang bisa dilihat setelah adanya koperasi yaitu pendapatan masyarakat bisa ditingkatkan.
Dimana pada masyarakat menjual kayu hasil illegal logging hanya memperoleh pendapatan Rp 300 hingga 400 perkubik, tapi setelah ada koperasi dan mendapat sertifikasi dari Smart Wood, pendapatan masyarakat jauh lebih meningkat berkisar tiga sampai empat juta rupiah per kubik. Lebih jauh dari itu masyarakat sangat merima mamfaat dari bergabung di koprasi. “Bila salah satu anggota koprasi maka koprasi bisa mmberikan pinjaman dari cadangan kas uangan yang ada,”katanya.
Baginya pemerintah tidak perlu meragukan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan kayu karena masyarakat yang masuk dalam anggota koperasi tidak dibenarkan mengelola areal hutan milik negara sebelum ada izin dari Menteri Kehutanan.
“Kalau ada anggota koperasi yang ketahuan melakukan pengusahaan kayu di kawasan hutan milik negara akan di keluarkan dari koperasi. Ini merupakan hasil kesepakatan bersama anggota koperasi,”tambahnya.
"Teman-teman JAUH berpikir, bagaimana membangun industri ekolabel disini karena nanti pendapatan masyarakat jauh akan lebih tinggi kalau sudah ada industri pengelolaan kayu disini,"kata Khalik.