Wednesday, July 22, 2009
Aksi Penembakan Menuai Reaksi, Terungkap Kebiadaban Aparat
By Line: Yoshasrul
Aksi penembakan dua penambang emas di kabupoten Bombana menuai protes keras dari elemen masyarakat dan mahasiswa di Kendari. Massa Kantor Polda Sulawesi Tenggara. Mereka meminta bertemu Kapolda Brigjend Pol Djoko Satriyo. Dalam aksinya massa membentangkan baliho yang memuat foto korban penembakan, mereka juga meneriakkan yel-yel agar oknum polisi yang menembak warga ditangkap, diperiksa dan diadili. Bukan cuma itu, sejumlah oknum polisi lainnya yang melakukan tindakan kekerasan juga diproses hukum. Untuk meyakinkan Kapolda, mereka sengaja menampilkan foto luka menganga yang dialami korban.
Sejumlah kalimat yang menyudutkan polisi pun turut diperlihatkan dalam bentuk baliho. Sayangnya, para pengunjukrasa ini tak berhasil bertemu Kapolda. Mereka hanya ditemui Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Fahrurrozi.
Sejumlah elemen masyarakat yang menyoroti tindakan polisi di lokasi tambang emas tersebut di antaranya, Komite untuk Demokrasi Keadilan dan transparansi Anggaran (Kudeta) Bombana-Sultra, Konsorsium Masyarakat Pemerhati Bombana, HMI, Kammi dan Hippelwana. Perwakilan LSM Garda Pemuda Sultra dan Forum Pemuda Pemerhati Daerah juga ada dalam barisan pengunjukrasa. Ampuh Sultra, MPM Unhalu dan Canel HAM Indonesia juga menggabungkan diri demi korban kekerasan.
Tak ada aksi anarkis, tapi kedatangan 11 elemen tersebut cukup menyita perhatian polisi. Bahkan, sedikitnya 20 anggota Brimob lengkap dengan pakaian anti huru hara disiapkan.
Seorang orator dengan nada keras meminta agar Kapolda melakukan penyelidikan dan penyidikan atas insiden yang terjadi di lokasi tambang serta menangkap pelaku penembakan, penculikan, penyiksaan dan penganiayaan, termasuk dugaan perampokan yang dilakukan aparat kepolisian, oknum Brimob dan memeriksa sekurity PT Panca Logam.
Mahasiswa membeberkan peristiwa yang terjadi Kamis (16/7) malam lalu. Dalam kronologis kejadian terungkap jika tenda rakyat dibakar oleh aparat keamanan, hingga berujung pada penembakan, karena adanya keluhan investor PT Panca Logam bahwa rakyat melakukan penyerangan.
Insiden penyisiran yang dilakukan polisi tentu sangat merugikan rakyat yang berada di wilayah tambang, baik itu di satuan pemikiman transmigrasi (SP 8 dan SP 9) maupun yang ada di luar wilayah konsensi milik PT Panca Logam.
Ketika aparat kepolisian, Brimob dan sekurity PT Panca Logam melakukan penyisiran tanpa ada informasi lebih dahulu. Akibatnya, ada masyarakat yang tertembak bernama Karianto yang kini tengah dirawat di RS Bhayangkara. Kata orator demo, hingga kini belum diketahui perkembangan kesehatan Karianto karena aparat melakukan penjagaan ketat.
’’69 orang ditangkap pukul 2 malam. Mereka ditendang, dipukuli, disiksa, diseret dan ditelanjangi. Bahkan, mereka dipaksa makan makanan yang sudah dimuntahkan. Ini terjadi mulai jam 2 malam (Kamis malam-red) sampai jam 12 hari Jumat, yang dilakukan oknum anggota polisi, Brimob dan sekurity Panca Logam. Ini adalah tindakan sangat biadab dan tidak manusiawi," teriaknya.
Dengan kejadian itu, mahasiswa yang tergabung dalam Hippelwana itu mengatakan, atas nama rakyat, konsorsium masyarakat pemerhati Bombana sangat menyayangkan insiden itu. Anggota konsorsium, juga menyayangkan pernyataan Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Fahrurrozi, yang membuat pernyataan di koran bahwa rakyatlah yang melakukan penyerangan.
Saat anggota Konsorsium masih berorasi, MPM Unhalu dan Canel HAM Indonesia tiba-tiba bergabung. Mereka datang dengan tuntutan yang sama. Namun, gabungan beberapa elemen mahasiswa itu, lebih menyinggung pelanggaran HAM yang sudah terjadi di Bombana, atas perilaku anggota yang tidak bermental pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Massa yang semula datang terpisah itu, kemudian menggabungkan diri, dengan satu tujuan, meminta polisi untuk menyelidiki dan menyidik kasus itu serta mengadili pelaku penembakan. "Kami mengutuk penembakan terhadap warga yang dilakukan oknum anggota polisi dari Brimob di lokasi tambang dan mendesak Kapolda untuk melakukan proses hukum terhadap anggotanya yang secara sengaja melawan hukum dan merusak citra kepolisian. Kami juga men-deadline Kapolda selama 2x24 jam, untuk segera mengambil tindakan tegas. Jika dalam waktu yang ditentukan Kapolda tidak bertindak tegas, maka akan dilakukan aksi yang lebih besar lagi," jelasnya.
Menanggapi ini, Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Fahrurrozi memberi garansi. Kalau cukup bukti, katanya, siapapun akan ditindak. Menurut dia, polisi akan mengusut tuntas kasus tersebut, tanpa pandang bulu. Siapapun dia, apalagi anggota yang terlibat, maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Kalau cukup bukti, polisi akan tangani dan lakukan pengkajian, penyelidikan dan penyidikan, termasuk penembakan. Tapi, kalau untuk menarik anggota agar tidak melakukan pengamanan di sana (lokasi tambang-red), itu salah juga. Karena kalau tidak diamankan, akan terjadi situasi yanglebih rumit lagi," tandasnya.
Dalam aksi unjuk rasa tersebut empat korban penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian juga nampak ikut bergabung dalam massa.
Empat pria itu adalah Toni, Yoyo, Purwanto dan Purnomo. Mereka adalah pendulang asal Pulau Jawa, yang bermaksud mengais rezeki di lokasi tambang emas. Di depan polisi, keempatnya menceritakan kronologis penyiksaan yang mereka alami.
Pengakuan Yoyo, Pada Kamis (16/7) sekitar pukul 03.00 Wita dini hari, Ia dijemput oleh beberapa orang polisi saat tengah tertidur di tenda. Malam itu, polisi langsung menodongkan senjata di badannya "Saya disiksa, ditelanjangi seperti binatang dan kepalaku dibungkus plastik lalu dipaksa mengakui kesalahan yang saya tidak perbuat,"kata Yoyo.
"Saya juga dipaksa untuk akui, kalau saya yang merusak barang-barang PT Panca Logam. Padahal, saya tidak merusak. Makanya, saya nggak mau ngaku, karena memang bukan saya pelakunya. Dari kampung yang disiksa, 69 orang pak. Leher saya dicekik, sampai sekarang tak bisa berbicara keras,"tambahnya.
Saat dijemput, korban sempat mengenali identitas 2 pelaku. Ada dari Brimob namanya Munir dan polisi berkepala plontos yang bernama Singgih. Sedangkan yang lainnya, saya tidak tahu.
Korban lainnya bernama Sudarno. "Waktu dijemput, aparat menodongkan senjata di kepalaku dan diberitahu agar jangan bergerak. Kalau tidak, akan mati. Saya disuruh tiarap, perutku ditendang lalu diikat di pohon akasia. Kemudian, ikatannya dilepas, tapi tanganku yang kembali diikat, lalu dibawa ke Panca Logam,"ungkap Sudarno.
Ia mencoba jujur dengan menjelaskan kedatangannya dari Jawa hanya untuk cari uang. Bukan cari gara-gara. Bukannya dikasihani malah pria dua anak ini terus dipukuli. "Saya tidak terhitung lagi berapa banyak pukulan di dada dan perut saya. Malah, polisi yang bernama pak Singgih itu, mengambil STNK mobil motor, HP dan uang saya,"katanya.
Korban lainnya bernama Toni mengaku diculik polisi. "Semua barang yang saya bawa dari Jawa dirampas. Saya juga diikat di pohon bersama 69 warga lainnya. Jam 3 subuh, saya diikat di pohon, sampai nggak bisa bernafas. Kita ini bukan PKI, tapi kenapa kita diperlakukan seperti hewan. Kita ini manusia, yang datang mencari uang. Tolong pak Kapolda tuntaskan masalah ini"katanya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment