Selama kurun waktu 12 tahun (1985-1997) wilayah sulawesi telah kehilangan luasan hutan sebesar 3.242.050 Ha atau rata-rata 270.171 ha per tahun. Sesuai data Forest Watch Indonesia (FWI) dan GFW tahun 2001, luas hutan sulawesi Tahun 1985 sebesar 11.192.950 ha, menurun menjadi 7.950.900 ha pada 1997.
Data Susesnas Tahun 2002, menunjukkan sekitar 20 persen jumlah penduduk sulawesi berada di bawah garis kemiskinan. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka rata-rata nasional yang besarannya sekitar 18 persen. Pada Tahun 2003 secara nasional menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga miskin di desa-desa yang terletak di dalam dan tepi hutan lebih tinggi bila dibandingkan dengan desa-desa di luar hutan yaitu masing-masing, 50,14 persen dan 40,05 persen. Begitu pula di wilayah sulawesi, persentase rumah tangga miskin perdesa yang letaknya di dalam dan sekitar kawasan hutan mencapai 46,29 persen. Sementara di luar kawasan sebesar 39,40 persen.
Meski presentase jumlah rumah tangga miskin di dalam dan tepi hutan lebih tinggi, namun selama ini kurang mendapat perhatian dan penanganan yang memadai. Hal ini dimungkinkan selain ketidaktersediaan data, pemerintah juga menghadapi ksulitan karena lokasi yang terpencil, minimnya infrastruktur serta terbatasnya akses informasi pasar.
Tingginya tingkat kerusakan hutan terutama yang disebabkan praktek ilegal logging serta pengabaian keterlibatan masyarakat sekitar pengelolaan hutan menjadi konsentrasi program donor dunia seperti DFID di wilayah sulawesi.
Melalui program Multipihak Forestry Programme (MFP) bersama Departemen Kehutanan, DFID mengawal Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Melihat tingginya angka kerusakan hutan dari tahun ke tahun itu, patutlah menjadi kekhawatiran dari para penggiat lingkungan. Tak heran banyak pihak terutama dari kalangan LSM terus mengkampanyekan agar pemerintah segera menindak tegas pelaku perusakan hutan dan segera menata PSDH secara lestari dan berbasis masyarakat. Ironisnya, tingginya tingkat kerusakan hutan yang disebabkan praktek ilegal logging berujung pada pengabaian keterlibatan masyarakat sekitar pengelolaan hutan. Dan menyebabkan laju tingkat kemiskinan terus meningkat.
Melihat permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan memang sangat kompleks. Salah satu factor kurang berhasilnya pengelolaan hutan lestari di Indonedia adalah kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ni disebabkan karena financial , tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat minim. Di tambah lagi masih banyaknya produk kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, hingga membuka ruang yang cukup leluasa untuk para cukong/ pemodal dalam melegalkan aktifitas ilegalnya.
Di tengah keprihatinan ini, beberapa kelompok masyarakat di sulawesi mulai berhimpun da bangkit untuk mengambil peran dalam pengelolaan hutan meski dengan kemampuan dan luasan garapan yang sangat terbatas, masyatakat konawe selatan misalnya, dengan kelembagaan dan aturan yang cukup sederhana, melalui wadah koperasi berhasil menciptakan sebuah sistem pengelolaan hutan lestari dengan standar sertifikasi ekolabel FSC (forest stewardship council) seperti yang diperoleh Koperasi Hutan Jaya Lestari di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak antara lain jaringan untuk hutan (JAUH) sultra, konsorsium LSM yan berkosentrasi dalam pemberdayaan masyarakat dan pelestarian hutan. Hutan di Indonesia mempunyai berbagai macam bentuk pengelolaan baik ditinjau dari aspek produksi mapun aspek legalitas wilayah kelola. Sehingga kita mengenal adanya istilah hutan Negara, hutan adat dan hutan rakyat.
Apabila dalam aspek legal penunjukkan suatu kawasan kita mengenal beberapa istilah di atas, maka dari aspek pemamfaatan dan pengelolaan hutan, kita mengenal berbagai istilah seperti tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), tebang jalur tanam indonesia, hak pengusahaan hutan (HPH), hutan kemasyarakatan, agroforestry hingga community logging. Dari beberapa istilah di atas community logging bisa dikatakan sebagai sebauh kosa kata baru dalama pemamfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.
Munculnya model community logging pada prinsipnya di dasari oleh potensi dan keadaan kawasa hutan yang secara terus menerus mengalami penurunan kualitas serta mengalami kerusakan yang cukup parah. Kondisi ini diawali sejak pihak swasta padat modal awal 70-an diberi kesempatan utama oleh emerintah dalam konteks pemamfaatan dan pengelolaan hutan. Terjadi eksploitasi hutan yang berlebihan, penebangan ilegal, konversi hutan, serta konflik yang berkepanjangan atas kepemilikan dan pemafaatan hutan hutan merupakan bagian realita yang kita hadapi. Di satu sisi masyarakat di dalam dan sekitar hutan jarang sekali mendapat manfaat dan diberikan ruang mengelola sumber daya hutan, walaupun kehidupan mereka selalu bersinggungan langsung dengan hutan yang ada di wilayah mereka.
Community mengacu pada pengertian komunitas, sedangkan logging bisa diartikan sebuah aktifitas pemafaatan hasil hutan berupa kayu yang dilakukan komunitas berdasarkan nilai dan norma yang berlaku pada komunitas tersebut serta tetap menjaga kelestarianm hutan dan keberlanjutan pengelolaannya. Sedangkan konteks kelembagaan yang melaksanakan dengan mempertimbangkan kepentingan sekumpulan orang yang bernaung di dalam sebuah komunitas, maka koperasi dapat digunakan sebagai basis dalam mengelola maupun pengontrol manajemen keuangan.
Community logging yang dilontarkan oleh berbagai pihak sebenarnya bertujuan unuk memberikan sebuah alternatif dalam model pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia yang lestari dan berkelanjutan, dan benar-benar memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kita juga harus paham bahwa pendekatan model ini prinsipnya hanya sebagai sebuah tujuan antara saja. Yang pada akhinrnya ingin mencapai sebuah model community forestry yang dikelola secara lestari dan berkelanjutan dan berbasis peran serta masyarakat. Dapatkan community logging menjadi solusi alternatif dalam pengelolaan hutan lestari d Indonesia? Fakta informasi dan opini bisa menjadi solusi pada kelayakan dari community logging sebagai alternatif dalam model pengelolaan hutan lestari di indonesia.
Lembaga masyarakat yang diberi nama Koperasi Hutan Jaya Lestari yang didirikan pada tanggal 4 maret 2004 dalam menjalankan aktifitasnya lebih mengedepankan beberapa aspek yang selama ini menjadi permasalahan di berbagai daerah di indonesia antara lain;
Aspek Sosial
Koperasi merupakan bentuk kelembagaan yang dianggap sangat tepat untuk berhimpun, karena masyarakat konawe selatan terdiri dari berbagai komunitas yang berbeda, dengan beberapa aturan yang telah disepakati bersama tercipta sistem hubungan antara komunitas yang harmonis, sehingga melalui koperasi ini pula diharapkan dapat merdam isu konflik antar komunitas. Selain itu koperasi ini menjadi jembatan dengan para pihak untuk menjalin komunikasi tentang bebagai kepentingan, tentunya dengan posisi tawar yang berpihak pada masyarakat secara umum.
Aspek Ekonomi
Peningkatan ekonomi anggita menjadi tujuan penting dalam setiap berkoperasi. Untuk tujuan tersebut KHJL telah melakukan beberapa langkah strategis antara lain; meningkatkan kualitas hasil produksi hingga dapat diterimaoleh pasar domestik maupun internasional, mensertifikasi kelembgaan maupun produk yang dihasilkan sebagai bentuk pengakuan terhadap sistem pengelolaan hutan yang lestari. Transtaparan dalam mendistribusikan SHU (sisa hasil usaha) pada setiap tahun buku. Pemberian bibit secara gratis sebagai bentuk kepedulian dalam pengkaayaan vegetasi. Melalui langkah tersebut khjl telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan ekonomi anggota, terutama peningkatan harga jual kayu jati, yang semula hanya berharga Rp 500.000/m3 eningkat menjadi 5.300.000,-/m3, ditambah lagi adanya SHU yang dibagikan setiap akhir tahun buku.
Melihat kenyataan ini, makin banyak masyarakat yang mendaftarkan potensi kayu jati miliknya ke koperasi hutan jaya lestari yang selama ini hanya dijadikan jaminan pasokan bahan bakuindustri lain, namun tidak pernah dibeli oleh industri kayu yang ada di konawe selatan mendapatkan bahan baku hasil curian dari HTI swakelola milik negara.
Aspek Ekologi
Hal ini menjadi sebuah tuntutan mutlak dalam sistem pengelolaan hutan. Bagi anggota KHJL menjaga keseimbangan ekologi merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan, bberaa komitmen yang disepakati dan dilaksanakan adalah masyarakat atau anggita dalam memanen hasil hutannya harus berdasarkan hasil verifikasi kelayakan panen yang ditetapkan dalam jatah tebangan. Setiap pohon yang dipanen harus digantikan dengan tanaman baru, minimal sepuluh pohon yang sejenis dengan yang telah di tebang dan bibitnya dapat diperoleh dari koperasi hutan jaya lestari secara gratis. Bersedia menjaga mata air yang ada disekitar lahan miliknya, dengan cara tidak menebang pohon yang ada diseskitarnya. Bersedia untuk tidak mengadakan perburuan hewan liar yang dilindungi. Anggota tidak diperkenankan menggunakan pertsida dan hesbisida kimia atau sejenisnya yang dikhawatirkan dapat mencemari aliran sungai atau mata air disekitarnya.
Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan merupakan isu yang cukup menonjol dalam setiap pembicaraan, baik lokal maupun nasional. Koperasi huan jaya lestari menganggap perempuan sebagai salah satu sumber daya yang harus terakomodir dalam setiap kegiatannya. Beberapa hal penting yang telah dilakukan oelh kelompok perempuan anggota koparasi adalah; kebun benih desa (KBD) perempuan yang memproduksi bibit jati yang tersebar di enam desa. Kelompok perempuan pembuat tungku bakar sebanyak satu kelompok, kelompok perempuan pembuat terasi udang ada dua kelompok dan kelompok perempuan penanam sayuran organik ada 35 kelompok.